REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nuraini*
Saya ingin berterima kasih kepada Perdana Menteri Jacinda Ardern tapi bukan hanya karena empatinya terhadap warga beragama Muslim yang menjadi korban penembakan teroris di dua masjid Kota Christchurch. Bagi saya, Jacinda Ardern tidak sedang mempertontonkan bagaimana seharusnya bersikap terhadap umat Muslim. Saya ingin berterima kasih kepada Perdana Menteri Jacinda Ardern karena telah menjadi pemimpin.
Bagi saya, Jacinda Ardern adalah sosok yang memiliki kualitas pemimpin yang saya cari di Indonesia. Pertama, Jacinda Ardern adalah perempuan pemimpin pemerintahan berkualitas yang tidak akan Indonesia miliki setidaknya dalam lima tahun ke depan. Ya, perempuan juga bisa memimpin sebuah pemerintahan. Jacinda Ardern adalah pemimpin Partai Buruh Selandia Baru yang berusia 37 tahun saat terpilih menjadi perdana menteri. Dia menjadi perdana menteri termuda dan perempuan ketiga bagi Selandia Baru.
Saat masih ada yang memperdebatkan perempuan bekerja sulit mengurus anak, Jacinda Ardern membungkam kritik jadul itu dengan membawa bayinya berusia 3 bulan di Sidang Umum PBB pada September 2018. Ardern menjadi ibu pada saat usianya 37 tahun dan saat menjadi perdana menteri. Dia membawa putrinya saat bertugas ke luar negeri karena ingin memberi ASI. Jadi jika ada yang meragukan seorang perempuan bekerja, seorang perempuan menjadi pemimpin akan sulit mengurus anak dan keluarga, coba kalian melihat Jacinda Ardern. Sementara jika ada yang mempertanyakan laki-laki macam apa yang mau menikah dengan perempuan sibuk bekerja dan menjadi pemimpin, coba lihat Clarke Gayford. Suami Ardern itu menemani istrinya di sidang PBB untuk bersama mengasuh bayinya. Ini baru relationship goals!!
Pemimpin perempuan yang ditunjukkan oleh Jacinda Ardern adalah yang berkualitas. Saya membicarakan lebih dari sekadar memastikan perempuan memiliki kesempatan yang setara untuk memimpin. Saya juga ingin memilih pemimpin perempuan yang memiliki kapasitas dan berkualitas.
Kualitas kepemimpinan Jacinda Ardern sangat menonjol dalam menghadapi peristiwa teror yang mengguncang Selandia Baru, saat dua masjid di Kota Christchurch ditembaki teroris pengagum supremasi kulit putih, dan menewaskan 50 orang dengan puluhan orang lainnya terluka pada Maret 2019. Ardern menyebut pelaku penembakan sebagai teroris, bukan pria bersenjata atau pria tidak dikenal. Dia juga enggan memberi pelaku teror panggung untuk dikenal dengan tidak mau menyebut namanya. Teroris adalah teroris, siapapun pelakunya.
Selain itu, Ardern bergerak cepat dengan merevisi undang-undang senjata setempat hanya dalam 10 hari untuk memastikan pengaturan penggunaan senjata. Sehari setelah penembakan, empati ditunjukkan Ardern dengan langsung mengunjungi rumah keluarga korban penembakan masjid di Christchurch. Dia memeluk keluarga korban. Dia juga mengenakan jilbab.
Apakah itu berarti Ardern membela Umat Islam? Iya, Ardern membela umat Islam sebagai komunitas minoritas di Selandia Baru. Umat Islam hanya 1 persen dari seluruh populasi Selandia Baru. Pemeluk Islam di negara itu termasuk para imigran. Bagi Ardern, Selandia Baru adalah rumah bagi yang memilih tinggal di negara itu, termasuk para imigran Muslim.
Ardern bahkan mengutip hadist Nabi Muhammad tentang ketika ada bagian tubuh menderita maka seluruh tubuh akan sakit. Itu untuk menggambarkan bahwa Selandia Baru juga merasakan sakit saat umat Islam yang menjadi bagian dari negara meski jumlahnya minoritas.
Ardern menekankan persatuan. Selandia Baru berduka bersama umat Islam yang kehilangan. Berkaca dari sikap Jacinda Ardern, betapa adem Indonesia jika memiliki pemimpin yang melindungi kelompok minoritas, tentu tidak hanya minoritas dalam agama tapi lainnya.
Sikap empati terhadap kelompok minoritas juga ditunjukkan oleh masyarakat Selandia Baru. Hingga dua pekan setelah peristiwa penembakan, perkabungan nasional digelar di Selandia Baru yang diikuti oleh puluhan ribu warga setempat. Perempuan Selandia Baru mengenakan jilbab dalam perkabungan nasional itu, untuk menunjukkan empati mereka. Tentu saja, perempuan Selandia Baru yang mengenakan jilbab itu tidak seluruhnya beragama Islam.
Melihat hal itu saya menjadi bertanya, mampukah kita bersikap empati sedemikian besar tanpa perlu mempersoalkan simbol agama yang berbeda dengan kita? Sebuah refleksi yang perlu direnungi, setidaknya bagi saya yang ingin selalu melihat Indonesia dalam persatuan, aman, dan damai sebagai sebuah rumah untuk seluruh manusia tinggal di dalamnya.
Kepemimpinan Jacinda Ardern itu seharusnya menjadi hal yang biasa saja dilakukan oleh seorang pemimpin. Namun, karena jarang, kepemimpinan Jacinda Ardern tidak berlebihan jika tetap dianggap sebagai standar minimal kualitas pemimpin negara.
Pemimpin berkualitas bersama warga yang bersatu membuat Selandia Baru memang layak mendapat predikat negara paling bahagia di dunia. Dalam survei terbaru, Selandia Baru menduduki posisi 8 dalam 10 besar negara paling bahagia di dunia.
Sederhananya, kalau mau menjadikan Indonesia sebagai negara paling bahagia carilah pemimpin berkualitas minimal seperti Jacinda Ardern dan jadilah warga bahagia seperti warga Selandia Baru.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id