REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami
Tahun lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla berkisah soal pertemuannya dengan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz. Saat itu, dalam upaya mengesankan Sang Raja, Jusuf Kalla yang juga ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) memaparkan soal jumlah masjid di Indonesia yang setidaknya mencapai 800 ribu bangunan.
Jusuf Kalla kemudian berhitung, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, berarti ada sekitar satu masjid untuk 200 orang. Sementara masjid-masjid di Indonesia, jarak satu sama lain kerap tak sampai 500 meter saja.
Statistika dari hitung-hitungan kasar itu barangkali terasa wajar saja mengingat Indonesia memang negara mayoritas Muslim yang jumlahnya terbanyak di dunia. Tapi mari tengok satu dari ratusan ribu masjid itu yang berdiri di Yogyakarta.
Ketua majelis syura takmir masjid tersebut, Ustaz Muhammad Jazir, baru saja didapuk sebagai salah satu Tokoh Perubahan Republika 2018, pada Rabu (24/4) malam. Peran tak biasa masjid yang ia kelola bersama takmir-takmir lain jadi alasan penganugerahaan itu.
Masjid Jogokariyan yang ia kelola dahulu berdiri di "lahan panas", lokasi yang pernah ditinggali simpatisan komunis. Perlahan, seturut pergeseran keagamaan warga sekitar, masjid itu jadi pusat pemberdayaan.
Sebulan dua kali, sebanyak 380 KK warga miskin di sekitar masjid disantuni sembako. Mereka juga dapat kartu ATM beras yang bisa "dicairkan" kapan saja butuh dari ATM beras di masjid yang buka 24 jam. Pengurus RT-RW setempat, terlepas dari agama yang mereka peluk, dibayarkan premi asuransi kesehatan dari kas masjid itu.
Puluhan rumah warga miskin di sekitar masjid direnovasi tiap tahunnya. Usaha kecil seperti angkringan, didukung modalnya dan mampu menambah penghasilan puluhan keluarga. Warga yang terjerat rentenir dibebaskan dari hutang. Ada poliklinik gratis yang memberi layanan kesehatan kepada lebih dari 1.830 KK. Sebentar lagi, melalui program lantai dua, warga miskin akan ditampung dan diberdayakan.
Masjid Jogokariyan di Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta
Dengan rupa-rupa program pemberdayaan itu, kas masjid justru terus melonjak jumlahnya. Mulanya hanya puluhan juta per tahun, kini mencapai hampir Rp 2 miliar. Wajar saja, meski tak sebegitu mewah bangunannya, jamaah masjid tersebut membeludak hampir di semua waktu shalat. Kajian lintas mazhab tak jarang digelar di masjid yang memang tak dikhususkan untuk satu aliran Islam tertentu itu.
Masjid Jogokariyan menunjukkan sejatinya potensi masjid di Indonesia. Ia bisa jadi sarana pemberdayaan, pengentasan, bahkan layanan kesehatan dan pendidikan gratis.
Yang dilakukan di Masjid Jogokariyan tersebut bukannya tanpa preseden. Bahkan, demikianlah juga Masjid Nabawi pada masa Rasulullah. Saat itu, di bagian utara (belakangan dipindah setelah kiblat berganti) Masjid Nabawi ada sekutip wilayah yang diatapi pelepah kurma. Di bawah atap itu, sehari-hari tinggal puluhan kaum papa dan para pencari ilmu.
Mereka hidup dari sedekah makanan warga Madinah yang lebih banyak rezeki. Rasulullah kerap terlihat duduk-duduk dan mengobrol dengan mereka. Sebab hidup di bawah bayang-bayang pelepah kurma, mereka dipanggil Ahlul Suffah. Sahabat Rasulullah, Abu Hurairah --salah satu yang terbanyak merawikan hadits-- adalah salah satu penghuni Suffah tersebut. Saat ini lokasi tersebut ditandai pagar keemasan tak jauh dari Rawdhah di Masjid Nabawi.
Nah, sekarang bayangkan jika sebagian saja, apalagi seluruh masjid dari 800 ribu yang berdiri di Indonesia bisa seperti itu. Tak hanya jadi rumah ibadah, tapi juga pusat-pusat pemberdayaan. Tempat kaum papa bisa membawa diri mereka keluar dari hidup yang tak mudah. Tempat yang tak berpunya bisa mendapatkan pengobatan cuma-cuma. Tempat seluruh garis pemikiran umat, bahkan dari luar agama Islam, bisa merasa nyaman di dalamnya.
Tentu ada masjid-masjid lain di Indonesia yang menempuh jalan Jogokariyan. Tapi kita paham tak sedikit juga yang sekadar mewah bangunannya. Dapat sumbangan dalam jumlah besar dari donatur dalam negeri maupun mancanegara, tetapi kerap hanya untuk memperindah dan meninggikan bangunan. Sementara kaum papa di sekitar tetap tak mendapat perhatian.
Tak bisa begitu lagi. Tak perlu menunggu rezim berganti, kebaikan bisa disebar dengan berpusat di masjid-masjid. Tak perlu menunggu program dan rerupa kartu yang dibagikan pemerintah, umat Islam punya segala kemampuan untuk secara mandiri mengangkat saudara-saudara mereka yang ditimpa kemalangan. Masjid Jogokariyan sudah membuktikan, hal itu bisa dilakukan secara berkesinambungan. Sudah saatnya masjid-masjid lain menjawab panggilan yang diserukan dari Jogokariyan.