Selasa 12 Nov 2019 12:34 WIB

Kerawanan Daulat Rakyat dan Ancaman Neo Orba

Mendagri Tito Karnavian melempar wacana evaluasi pilkada langsung.

Demokrasi Indonesia (ilustrasi)
Foto: republika
Demokrasi Indonesia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*

Sebagai menteri dalam negeri (mendagri) yang baru, Tito Karnavian menjalani rapat kerja pertama bersama counterpart-nya di DPR yakni Komisi II, pada Rabu pekan lalu. Selain memaparkan visi, misi, anggaran, dan rencana kerja Kemendagri lima tahun ke depan, Tito menyinggung evaluasi terhadap pelaksaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung.

Tito memiliki pandangan sendiri terkait pilkada langsung yang menurutnya, lebih banyak mudharat ketimbang manfaat. Kemudharatan yang ia maksud khususnya politik biaya tinggi dalam praktik pilkada langsung. Ia mencontohkan, seorang calon kepala daerah setidaknya memerlukan biaya hingga Rp 30 miliar.

Dengan ongkos politik yang sangat mahal, menurut Tito, seorang kepala daerah terpilih kemudian berusaha mengembalikan modal politik yang pernah habis pada masa pilkada. Tito yakin, tidak ada calon kepala daerah yang mau merugi. Sehingga, pada praktiknya kemudian, banyak kepala daerah hasil pilkada langsung yang tersangkut korupsi. 

Dalam rapat dengan Komisi II DPR itu, Tito juga memaparkan kebijakan dan strategi Kemendagri dalam lima tahun ke depan diarahkan untuk mendukung perwujudan 5 Program Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2019- 2024. Kelima program tersebut ialah pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, penyederhaan regulasi, reformasi birokrasi dan transformasi ekonomi.

Sulit dipahami, keinginan Tito untuk mengevaluasi sistem pilkada langsung masuk ke dalam program proritas pembangunan Jokowi-Ma’ruf yang mana. Atau, jika pilkada nantinya dikembalikan ke DPRD memang dianggap sesuai dalam lima program prioritas, apakah kemudian kemajuan pembangunan nasional mesti diiringi dengan kemunduran demokrasi?

Apakah hal-hal yang dianggap mudharat dari pilkada langsung sudah tidak bisa lagi dihindari atau dicegah? Sehingga, kedaulatan rakyat sudah seharusnya dicabut?

Penghapusan sistem pilkada langsung jelas adalah kemunduran bagi demokrasi, karena artinya hak politik dan kedaulatan rakyat akan dicabut. Padahal, dalam Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Pemerintahan Daerah ditegaskan, "Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan."

Selanjutnya, pada Pasal 56 ayat (1) juga disebutkan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”

Beleid di atas disusun oleh pembuat undang-undang pun bukan tanpa dasar. Rujukannya adalah dasar konstitusi tertinggi negara ini, yakni Undang-Undang Dasar 1945, tepatnya, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan bahwa, gubernur, bupati, ataupun wali kota dipilih secara demokratis.

Upaya membatalkan hak pilih rakyat dalam pilkada sebenarnya bukan kali ini saja. Pada 2014, DPR bahkan sudah sempat berhasil mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD. Namun, gelombang protes dan penolakan rakyat yang sangat kuat saat itu, akhirnya memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan perppu untuk membatalkan keputusan DPR.

Kini, Tito selaku menteri yang memiliki kewenangan dalam hal legislasi melempar wacana mengevaluasi pilkada langsung. Wacana yang belum tentu sesuai dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang di hadapan para tokoh dan aktivis pada September lalu meminta agar tidak ada yang meragukan komitmennya menjaga demokrasi. Wacana Tito pun menjadi kontradiktif dengan sejarah kepemimpinan Jokowi hasil dari dua pilkada langsung (wali kota Solo dan gubernur DKI Jakarta) dan dua pilpres langsung (2014 dan 2019).

Berdiskusi dalam konteks kerawanan atas demokrasi yang lebih luas, wacana Tito menjadi sejalan dengan rencana amandemen ‘terbatas’ UUD 1945 oleh MPR yang tengah berjalan. Bagi sebagian pengamat dan pakar politik, rencana MPR mengamandemen UUD 1945 harus dicurigai tidak sebatas upaya mengembalikan haluan negara (GBHN) ke dalam konstitusi.

Amandemen UUD 1945 oleh MPR, layaknya membuka kotak pandora, yang kemungkinan merembet pada revisi pasal-pasal yang berkaitan dengan sistem ketatanegaraan kita. Bukan tidak mungkin pasal-pasal yang menjadi pengejawantahan cita-cita menjaga kedaulatan rakyat dalam demokrasi, misalnya Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, yang mengatur pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, juga akan direvisi.

Menjadi mengkhawatirkan ketika wacana yang dilemparkan Tito di DPR kemudian direspons positif oleh sebagian besar elite partai politik, baik yang sedang berkuasa ataupun tidak. Sehingga tidak berlebihan jika kita mencurigai wacana menghapus pilkada langsung adalah upaya elite politik untuk kembali menggenggam kekuasaan secara sepenuhnya. Jika ternyata wacana ini terealiasi, kekuasan di negara ini pada akhirnya hanya akan ditentukan lewat hasil politik dagang sapi para elite, seperti pada era Orde Baru.

*penulis adalah Jurnalis Republika.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement