Kamis 20 Feb 2020 14:40 WIB

Dari Lucinta Sampai Commuter, Ramai-Ramai Pakai Masker

Masker langka sejak merebaknya covid 19 atau dikenal dengan Corona.

Reiny Dwinanda
Foto: istimewa/doc pribadi
Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*)

Sejak ditangkap polisi pada pekan lalu (11/2), selebgram Lucinta Luna seolah tak bisa lepas dari masker. Setengah wajahnya selalu tertutup masker tiap tampil di muka publik.

Tentunya, bukan Lucinta yang memulai tren itu di kalangan orang-orang yang terjerat kasus hukum. Tahun lalu, tokoh politik Romahurmuziy juga sempat mengenakan masker ketika digiring ke Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Setahun sebelumnya, mantan Wakil Ketua DPRD Lampung Tengah Natalis Sinaga lebih dulu menyembunyikan wajahnya di balik masker saat jadi tahanan KPK. Jika mau menelusuri lebih jauh, mesin pencari di internet dalam sekejap bisa memperlihatkan figur publik lainnya yang melakukan hal serupa.

Lucinta dan yang lainnya tentu punya hak mengenakan masker, apapun alasannya. Entah menutupi malu atau demi mengontrol penampakan ekspresi wajah yang ingin disembunyikan dari orang lain.

Soal masker bedah, fungsi aslinya tentu bukan untuk menutupi aib. Hampir dua bulan terakhir, masker langka di pasaran. Harganya pun melejit.

Pemburunya bukan mereka yang tengah berkasus. Masker dengan beragam kualitas dan kegunaan ramai dicari sejak penyakit infeksi saluran pernapasan akibat serangan virus corona tipe baru, covid-19, merebak.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun mendesak  Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dan kepolisian untuk mengusut melambungnya harga masker di pasaran. Kepolisian diminta menyelidiki adanya dugaan penimbunan masker oleh oknum tertentu yang ingin meraih keuntungan besar.

Soal ketiadaan masker N95 di apotek pelat merah Kimia Farma, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah mengakui bahwa mereka memborongnya untuk para petugas preventif di lokasi pintu-pintu masuk Indonesia dalam upaya mencegah penyebaran virus corona. N95 langka tak mengapa sejatinya. Apalagi, itu bukanlah masker yang cocok untuk digunakan orang banyak.

N95 semestinya hanya dikenakan orang yang melakukan kontak langsung dengan pengidap penyakit yang penularannya melalui udara (airborne). Masker tipe ini berbahaya jika dipakai dalam waktu lama, terlebih sambil bepergian.

Andaikan menyalahi aturan pemakaiannya, penggunaan masker N95 bisa membuat orang sesak kekekurangan oksigen hingga memicu terjadinya serangan jantung atau strok. Mereka juga bisa pingsan apalagi jika orang tersebut sudah mempunyai permasalahan dengan paru.

Sementara itu, masker bedah banyak dibeli untuk dikirim ke negara-negara dengan temuan kasus covid-19, utamanya ke China sebagai episentrum wabah. Puluhan ribu lembar masker juga diangkut ke Hong Kong, Taiwan, dan Singapura oleh sejumlah pemerintah daerah dan lembaga pemerintahan untuk warga Indonesia yang ada di sana.

Pihak yang mencoba meraih keuntungan di balik musibah juga ada sih. Salah seorang pebisnis dadakan di Jambi, contohnya, memborong stok masker di pasar untuk dijual ke China.

Pekan lalu, ia kena batunya. Maskernya menumpuk ratusan dus, tak laku karena lembaga filantropi juga berlomba memasok bantuan masker untuk mereka yang membutuhkan.

Terlepas dari isu corona, masker telah menjadi bagian dari "pakaian" sehari-hari warga +62. Pengguna transportasi publik marak mengenakan masker bedah maupun masker katun biasa atau yang berupa buff aneka motif dan warna.

Dengan tingkat efektivitas beragam, aneka jenis masker tersebut membantu menyaring bau tak sedap, polutan, dan kuman agar tak ikut terhirup oleh para commuter. Sementara itu, dalam hal pencegahan penularan, memang orang yang sakitlah yang perlu memakai masker. Masker juga diperlukan orang sehat, terutama lansia, anak-anak, dan mereka yang sistem imunnya lemah, saat berada di keramaian.

Saya jadi teringat salah satu episode film "Upin dan Ipin" yang menceritakan kabut asap. Si kembar plontos dan teman-temannya diserukan guru untuk memakai masker.

Selang sehari, masker salah satu dari mereka tampak sobek. Rupanya, masker bedah yang dipakai sehari sebelumnya tak dibuang, melainkan dicuci.

Bu guru pun menjelaskan bahwa itu adalah masker sekali pakai. Ke depannya, Indonesia sepertinya perlu mengadopsi pendekatan edutaiment untuk menyampaikan informasi kesehatan masyarakat. Pejabat publik, terutama Menteri Kesehatan, pun perlu lebih simpatik dalam mengedukasi publik.

Tak elok rasanya mendengar responsnya soal meroketnya harga masker di tengah kekhawatiran masyarakat akan wabah covid-19, "Salahmu sendiri kok beli ya.". Duh, Pak!

*penulis adalah wartawan Republika.co.id

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement