Rabu 20 Jun 2012 19:16 WIB

Bulan Bung Karno (1)

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Ada fenomena menarik tahun 2012 ini yang belum pernah terjadi sebelumnya. Khususnya untuk bulan Mei dan Juni, berupa Bulan Bung Karno, sebuah gerakan masyarakat dari berbagai unsur untuk mendudukkan Bung Karno dengan segala jasanya yang sangat besar secara wajar dan adil dalam sejarah modern Indonesia. Pusat kegiatan ini umumnya di kampus-kampus universitas di berbagai kota besar.

Di Jakarta, misalnya, pada 7 Juni dipusatkan di kampus UIN Syarif Hidayatullah, bekerja sama dengan Panitia Nasional Bulan Bung Karno dengan tema “Soekarno dan Islam”. Kemudian, di Yogyakarta pada 18 Juni, di kampus Universitas Pembangunan Nasional Veteran dengan mengusung tema “Pancasila dan Kebhinekaan Indonesia”.

Hampir bersamaan dengan kegiatan di atas, di kampus Universitas Gadjah Mada pada 31 Mei-1 Juni, berlangsung pula Kongres Pancasila ke-4. Karena kelahiran Pancasila bertaut rapat dengan nama besar Bung Karno maka suasana kongres tidak bisa dipisahkan dengan peristiwa 1 Juni 1945 saat Bung Karno berpidato tanpa teks dalam sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) mengusulkan Pancasila sebagai dasar filosofi negara Indonesia yang bakal merdeka.

Semua kegiatan ini mendapat perhatian luas dari berbagai kalangan. Kebetulan saya dilibatkan sebagai pembicara dalam tiga kegiatan di atas. Soekarno adalah seorang aktivis dan pe mikir politik sejak usia mudanya. Artikelnya di bawah judul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” ditulis dalam Suluh Indonesia Muda pada 1926, saat Bung Karno berusia 25 tahun, ada lah di antara bukti kecerdasan nalarnya.

Sekalipun Bung Karno lebih dikenal sebagai tokoh puncak nasionalisme Indonesia, kritiknya cukup tajam kepada kaum nasionalis yang berpandangan picik, tidak bersedia bekerja sama dengan pihak Islam dan kaum Marxist. Kritik serupa juga dialamatkan kepada golongan Islam dan pendukung Marxisme yang curiga terhadap kaum nasionalis.

Di mata Bung Karno, tanpa persatuan yang kuat dan padu dari kekuatan-kekuatan politik gelombang besar itu, akan sulit bagi Indonesia untuk berhasil melawan sistem penjajahan yang memang masih ingin bertahan untuk ratusan tahun yang akan datang. Bung Karno memberi contoh adanya kerja sama antara Mao Zedong (1893-1976) yang komunis dan Chiang Kai shek (1887-1875) yang nasionalis di daratan Cina ketika itu, mengapa Indonesia tidak mau menirunya?

Hipotesis Bung Karno tentang mutlaknya kerja sama antara berbagai kekuatan politik itu, dalam perjalanan sejarah Indonesia pascaproklamasi ternyata tidak lolos dalam ujian sejarah. Begitu juga contoh di Cina. Chiang Kaishek pada akhirnya menyingkir ke Taiwan setelah kekuatan Mao mengusai daratan Cina pada Oktober 1949.

Di Indonesia, ketika pemberontakan Komunis di Madiun pada 1948 meletus, kekuatan nasionalis dan Islam bersatu untuk melawan nya. Tetapi, saat kudeta G30S 1965 meledak, kekuatan nasionalis memang terbelah menjadi dua antara pihak yang relatif tidak anti dan pihak yang keras menentang. Pihak Islam yang sudah lama tersiksa oleh move politik PKI yang di naungi Bung Karno memberikan perlawanan total terhadap kudeta itu.

Sampai hari ini apa yang sebenarnya berlaku dalam tragedi 1965 ini masih menyisakan sengketa pendapat di kalangan akademisi dan sejarawan. Adapun menilai Bung Karno sebagai seorang komunis adalah sebuah tuduhan keji yang semestinya tidak dilontarkan. Betapa pun pada saat kritikal itu pihak santri yang berhadapan langsung dengan kaum Komunis yang sangat agresif memang sedang berada dalam situasi to kill or to be killed (membunuh atau dibunuh). Sebagaimana Mohamad Roem pernah mengatakannya, kemampuan menahan diri semestinya menjadi milik kita semua.

Kemudian politik pembunuhan atau pengucilan terhadap mereka yang dianggap pengikut atau berbau PKI adalah sebuah kezaliman sejarah yang tidak boleh diulang lagi. Cukup sudah drama kemanusiaan seperti ini sampai di situ saja, jangan terulang lagi buat selama-la manya. Tetapi, menempatkan PKI sebagai partai “suci” tanpa dosa dalam peristiwa berdarah itu adalah pula sebuah sikap partisan yang membabi buta

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement