REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha
Akhirnya!!! Joko Widodo atau lebih dikenal sebagai Jokowi, berdasarkan hitungan sementara, terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta. Berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama, ia memenangkan putaran kedua pemilihan kepala daerah ibu kota Indonesia ini. Pilihannya terhadap baju kotak-kotak kemudian menjadi simbol dukungan terhadap dirinya.
Wali kota Solo yang rendah hati ini merupakan figur yang berada di sisi berlawanan dengan Fauzi Bowo maupun Nachrowi Ramli. Ia tampil serba diametral dengan Foke, sapaan Fauzi Bowo. Keserbabedaan dirinya dengan Foke sebagian merupakan asli bawaan lahirnya namun sebagian merupakan kemasan yang dicipta.
Sejak awal, kemenangan Jokowi sudah banyak diprediksikan. Gejalanya mirip dengan Pemilihan Presiden pada 2004. Jokowi seperti halnya Susilo Bambang Yudhoyono dan Foke seperti halnya Megawati Soekarnoputri.
Ada faktor pendorong dan ada faktor penarik. Faktor pendorongnya adalah tumbuhnya harapan di masyarakat terhadap figur Jokowi maupun SBY. Ia tampil dengan karakter yang berbeda dan suara yang berbeda dengan figur lawannya. Sedangkan, faktor penariknya adalah tingkat penolakan yang tinggi terhadap figur Megawati maupun Foke. Gabungan dua faktor itulah yang membuat kemenangan Jokowi dan SBY tak tertahankan. Tentu saja tanpa didukung oleh strategi maupun tim yang baik, dua faktor itu bisa saja menjadi tak berarti.
Dengan demikian, para pemilih Jokowi ada bermacam ragam. Pertama, mereka yang merupakan pendukung fanatik, yakni massa PDIP. Jokowi adalah kader PDIP. Juga ada pemilih beretnis Cina karena Basuki berlatar etnis Cina. Juga ada pemilih Kristen/Katolik karena Basuki adalah penganut Kristen. Faktor Cina, Kristen, dan Katolik bahkan menjadi menonjol karena mereka benar-benar mutlak mendukung Basuki, dan tentu saja Jokowi. Hal yang berbeda terjadi pada pemilih Islam yang terpecah ke Foke dan Jokowi.
Dalam hal ini, pemilih Islam tak terjebak pada semangat primordial dan fanatisme. Isu-isu primordial yang dikembangkan tim Foke tak begitu efektif. Ketidakbegituefektifannya isu primordial ini untuk pemilih Islam layak dilacak lebih jauh. Apakah karena figur Foke tak mewakili “ideologi” Islam, apakah karena daya tarik Jokowi yang terlalu kuat, atau apakah karena pemilih Islam memang mayoritas adalah umat yang moderat, toleran, dan bervisi modern?
Pemilih Jokowi yang lain adalah para pemilih yang kecewa pada kinerja Foke. Mereka tak melihat adanya perubahan berarti selama lima tahun kepemimpinan Foke. Bahkan, di antara mereka ada yang muak terhadap gaya kepemimpinan Foke. Pemilih lainnya lagi adalah para pemilih rasional, yang melihat adanya harapan pada figur Jokowi. Dengan tiga ragam pemilih ini, justru harus menjadi sinyal pada Jokowi untuk berhati-hati. Dua pemilih terakhir akan menjadi pengawas yang kritis terhadap kinerja Jokowi. Apalagi, para pemilih Foke akan sangat jelas mengkritisi kinerja Jokwi. Ada dua pemilih Foke yang akan sangat kritis.
Pertama, pemilih berlatar Betawi. Harus diakui, Foke yang berlatar Betawi sangat habis-habisan mengeksploitasi dukungan dari warga Betawi. Para pemilih Islam yang terpengaruh atau memang secara asli menolak tampilnya Basuki juga akan sangat kritis.
Semua kekritisan, keraguan, dan kekhawatiran terhadap kepemimpinan Jokowi-Basuki hanya bisa dijawab dengan program yang nyata. Program yang harus benar-benar prorakyat. Sebagaimana janjinya pada masa kampanye, Jokowi akan memulai programnya dari kampung. Kita akan lihat apakah Jokowi akan terborgol para pengusaha properti atau justru bisa lepas dari pengaruh mereka. Karena, para pengusaha properti itulah yang akan menjadi penghambat kesuksesan Jokowi. Jika tak dikendalikan, bisnis mereka akan merusak lingkungan, pembuat banjir, merusak lalu lintas, merusak tata kota, dan seterusnya. Ujian paling nyata nanti misalnya soal adanya upaya mengubah bumi perkemahan Cibubur menjadi permukiman dan mal.
Tentu kita harus mengapresiasi Foke yang sebagai petahana bisa menjaga pilkada berlangsung dengan damai. Mari kita lihat, apakah Jokowi bisa mengatasi banjir, kemacetan, dan kekumuhan Jakarta? Apakah Jokowi bisa memberikan layanan publik yang lebih baik, seperti transportasi massal, air bersih, maupun keramahan birokrasi? Semoga kesahajaan Jokowi merupakan solusi bagi Jakarta.