REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Yudi Latif
Di balik ketegangan hubungan kepolisian dan KPK yang menjurus ke arah tawuran kelembagaan negara, suara publik nyaring bertanya. Mengapa Presiden terlalu lama berdiam seribu bahasa? Mengapa para pembantunya bisa saling berbeda pendapat dan dukungan di ruang publik?
Mungkinkah seorang Presiden mau memancing di air keruh, meski hal itu bisa berdampak buruk bagi kewibawaan negara dan agenda pemberantasan korupsi yang menjadi prioritas pemerintahannya? Mestinya tidak. Meminjam ungkapan Franklin D Roosevelt, “The presidency is preeminently a place of moral leadership.” Moral adalah jantung kepemimpinan. Dalam imperatif moral, tak mungkin seorang Presiden lebih mengutamakan keselamatan dirinya ketimbang keselamatan bangsanya.
Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik. Dengan begitu, hal yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, melainkan juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa memengaruhi perilaku rakyat.
Masalahnya, karena pemimpin politik dituntut menjadikan karakter-moralitas perseorangan itu menjadi karakter-moralitas rakyatnya, basis moralitas itu perlu diterjemahkan ke dalam “tindakan politik”. Hal ini menyangkut kinerja pemimpin dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya. Karena ukuran-ukuran perilaku itu juga masih abstrak, moralitas juga memerlukan “keteladanan”; menyangkut contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan kepercayaan kepada komunitas politik. Kemampuan menularkan keteladanan ini juga pada akhirnya ditentukan oleh kemampuan pemimpin mengomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitasnya dalam bentuk bahasa politik yang efektif, yang mampu memperkuat solidaritas dan moralitas rakyatnya.
Dalam kerangka moralitas, kesejatian seorang pemimpin diuji dalam kesatuan antara janji dan perbuatan. Dalam usaha untuk menerjemahkan kepemimpinan moralnya dari visi ke tindakan, sebuah platform bisa diturunkan dengan prioritas yang jelas. Karena Presiden tidak bisa mengurus dan menyelesaikan semua urusan pemerintahan, agenda pemerintahannya harus jelas dan terbatas dengan arahan jelas. Presiden harus menunjukkan fokus dalam mendefinisikan, dan keefektifan dalam mengejar, agenda substantifnya, demi memudahkan mobilisasi sumber daya serta menawarkan sense of direction bagi aparat pemerintahan, publik, dan media. Ambisi menyelesaikan segala masalah sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua lini.
Menentukan fokus memerlukan keberanian guna menghadapi pihak-pihak yang merasa terancam serta ketegaran dalam menghadapi kesulitan, ketidakenakan, dan kegawatan. Seorang pemimpin tidak bisa menyenangkan semua pihak, tetapi harus tegak lurus dalam prinsip-prinsip moralitas sehingga bisa menjadi jangkar keyakinan dalam samudera ketidakpastian dan ketidakpercayaan. Pemimpin di masa krisis memerlukan kecepatan dan ketepatan untuk membidik jantung krisis. Untuk itu, perlu keberanian menetukan pilihan dan menghadapi pihak-pihak antiperubahan. Ada risiko besar bagi presiden yang terlalu berhati-hati mencari jalan aman: peluang lewat, momentum lenyap, sinisme menguat.
Kualitas teragung dari seorang pemimpin adalah integritas. Tanpa hal itu, tidak akan ada keberhasilan riil yang mungkin. Adapun ujian dari integritas adalah kesungguhan merealisasikan janji-janjinya.
Salah satu janji utama kampanye Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudhonoyono (SBY) pada Pemilu yang lalu adalah pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, penyelesaian ketegangan hubungan kepolisian dan KPK ini merupakan ujian atas integritas seorang pemimpin. Publik telah dikecewakan oleh ketidakmampuan SBY sebagai ketua Dewan Pembina Partai Demokrat untuk memastikan elite-elite partainya tidak terlibat korupsi. Sekarang, publik juga bertanya-tanya, “Ke mana presiden kita” dalam riuh pertikaian kelembagaan penegak hukum. Kepemimpinan adalah soal keberanian mengambil tanggung jawab, bukan memproduksi alasan.