Senin 05 Nov 2012 07:10 WIB

Pemerintahaan Islam di Negara Sekuler

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

''Kami ingin mendidik generasi muda kita sebagai generasi yang religius,'' kata Perdana Menteri Turki, Recep Tayyib Erdogan, di depan sidang parlemen negaranya beberapa bulan lalu.

Kepada kaum oposisi, ia menegaskan, ''Apakah kalian ingin melihat dari partai demokrat konservatif seperti Partai Keadilan dan Pembangunan akan lahir generasi ateis? Bila hal itu yang kalian kehendaki, itu adalah urusan kalian. Urusan kami adalah melahirkan generasi demokrat konservatif yang meyakini nilai-nilai dan tradisi agama kita (Islam).''

Demikianlah jawaban Erdogan menjawab kritikan dari para politisi oposisi. Yang terakhir ini mengkhawatirkan Erdogan akan menjadikan Turki sebagai negara agama. Tepatnya negara Islam. Mereka menuduhnya telah mengkhianati asas sekularisme Republik Turki yang didirikan Kemal Ataturk pada 1923 lalu.

Kritikan itu bukannya tanpa dasar. Sejak Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP) yang ia pimpin berkuasa di Turki, yang pada Sabtu (03/11) lalu genap 10 tahun, sejumlah hal -- yang bisa saja dihubungkan dengan Islamisasi Turki --- telah dia ubah atau lakukan. Misalnya yang terkait dengan peran tentara. Selama ini militer menempatkan diri sebagai penjaga prinsip sekularisme Turki. Bila ada isyarat pemerintah melanggar prinsip sekuler, maka militer akan segera bertindak. Antara lain dengan kudeta. Sepanjang tahun 1960 hingga 1980, militer Turki telah melakukan tiga kali kudeta.

Namun, tuduhan 'melanggar prinsip sekularisme' sering tidak jelas. Penafsirannya hanya sepihak. Yaitu pihak militer yang didukung partai sekuler. Dan, seringkali tuduhan itu mengarah pada partai Islam pemenang pemilu dan sedang memerintah. Termasuk partainyanya Erdogan, PKP.

Karena itu, hubungan PKP/pemerintah dengan militer selalu diwarnai ketegangan. Dibutuhkan waktu 10 tahun untuk 'menghabiskan' pengaruh militer Turki dalam politik. Dengan 'memanfaatkan' undang-undang dan standar nilai yang berlaku di Uni Eropa, sedikit demi sedikit pengaruh militer dikurangi.

Puncaknya terjadi tahun lalu ketika Presiden Abdullah Gul, yang juga pimpinan PKP, menunjuk empat pimpinan tinggi militer negara itu. Ini merupakan pertama kalinya pemerintah sipil Turki memutuskan pimpinan komando tertinggi angkatan bersenjata. Sebelumnya, sejak 2008, ratusan perwira militer ditangkap dengan tuduhan berkomplot untuk menggulingkan pemerintah Erdogan, yang dinilai telah melenceng dari prinsip sekuler.

Tuduhan lain Islamisasi Turki oleh Erdogan adalah soal jilbab. Sejak PKP berkuasa, pemerintah terus berupaya mengamandemen undang-undang larangan berjilbab di sekolah, kampus, dan kantor-kantor pemerintah. Meskipun amandemen itu terus menuai pro dan kontra, namun isteri PM dan Presiden yang berjilbab kini sudah mulai masuk ke istana.

Pada acara peringatan 89 tahun berdirinya Republik Turki beberapa hari lalu, isteri Presiden Abdullah Gul dan isteri Perdana Menteri Erdogan untuk pertama kalinya menghadiri acara resmi kenegaraan di istana kepresidenan. Keduanya berdiri di samping komandan tertinggi angkatan bersenjata.

Pada tahun-tahun sebelumnya, pejabat tinggi militer selalu menolak mengikuti acara yang juga dihadiri para istri pejabat partai PKP yang berjilbab. Karena itu, di setiap acara peringatan kenegaraan Presiden Gul selalu menggelar dua kali resepsi terpisah. Yang pertama untuk para perwira tinggi militer. Yang kedua untuk umum yang juga dihadiri istri para pejabat pemerintah yang berjilbab. Namun, tahun ini ia hanya menggelar sekali resepsi di istana kepresidenan yang dihadiri pejabat tinggi militer, sipil, dan juga istri-istri pejabat yang berjilbab.

Namun, Erdogan membantah bila semua langkah dan keputusan pemerintahannya tersebut dalam rangka Islamisasi Turki. Dalam suatu kesempatan ia menegaskan 'Partai Keadilan dan Pembangunan akan selalu menjaga nilai-nilai Republik Turki, termasuk sekularisme.''

Dalam wawancara dengan televisi Mesir, ia juga menyatakan Mesir bisa mengadopsi sebuah konstitusi sekuler. Menurutnya, sekularisme bukan berarti meninggalkan ajaran agama. Dalam sebuah negara sekuler, tambahnya, setiap orang memiliki hak untuk memilih menjadi religius atau tidak. ''Dan, saya adalah perdana menteri Muslim untuk negara sekuler,'' katanya.

Bagi Erdogan, sekuler atau tidak sebuah negara tampaknya tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah bagaimana 'mengisi' negara itu. Yang terpenting adalah kontennya. Dan, ia telah membuktikan selama 10 tahun memimpin Turki, pemerintahannya adalah sangat Islami. Dengan kata lain, pemerintahan Islam di negara sekuler.

Baginya, Islam bukan sekadar urusan pemakaian jilbab yang terus ia perjuangkan. Juga bukan sekadar simbol-simbol. Tapi, Islam juga adalah bagaimana memberikan kesejahteraan kepada rakyat, pendidikan yang baik, keamanan, kenyamanan, dan seterusnya.

Keberhasilan PKP dan Erdogan memenangkan pemilu sebanyak tiga kali jelas menunjukkan rakyat puas terhadap kepemimpinannya. Pertumbuhan ekonomi Turki selama sepuluh tahun ini mencapai rata 8 persen, naik empat kali lipat dari sebelumnya. Sedangkan pendapatan per kapita naik tiga kali, dari 3.500 dolar AS pada 2002 menjadi 10.400 dolar pada 2011.

Dalam pandangannya, beberapa tahun ke depan, pemerintahannya masih bisa meningkatkan hingga 25 ribu dolar per kapita, dan menjadikan Turki sebagai salah satu dari 10 besar kekuatan ekonomi dunia, yang sekarang baru di peringkat 16.

sumber : Resonansi
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement