REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra
Tidak banyak yang mempersoalkan kenyataan ekonomi Indonesia terus bertumbuh sekitar enam sampai 6,5 persen dalam beberapa tahun terakhir. Pertanyaan dan masalah yang sering diangkat berbagai kalangan, khususnya dari masyarakat madani/sipil (civil society) adalah hasil dan dampak konkret pertumbuhan ekonomi tersebut terhadap pengurangan kemiskinan dan pengangguran.
Secara kasat mata, orang bisa menyaksikan kian banyaknya kelas menengah yang berkat kekuatan pembelanjaan (spending power) yang mereka miliki mampu menggerakkan konsumsi dan ekonomi Indonesia. Dalam batas tertentu, dengan peningkatan kesejahteraan, kelas menengah mampu memberikan sebagian rezekinya dalam berbagai bentuk kedermawanan dan kepenyantunan sosial (filantropi).
Tetapi, juga jelas penduduk miskin dan penganggur yang berpenghasilan sekitar dua dolar AS sehari tetap bejibun—antara 40 sampai 50 juta orang. Mereka tetap terpuruk dalam lembah kenestapaan ekonomi. Berbagai program pemerintah untuk pengentasan mereka dari kemiskinan dan ditambah macam-macam bentuk bantuan dana filantropi kelas menengah, belum mampu memperbaiki kehidupan mereka secara signifikan.
Kenyataan ini sangat memprihatinkan, khususnya di kalangan masyarakat sipil yang bergerak dalam advokasi pemberdayaan masyarakat miskin atau menganggur. Tapi, saya agak surprised ketika mendapat undangan dari JP Morgan Chase & Co, sebuah jasa perbankan dan keuangan global terbesar dan tertua di dunia—didirikan awalnya pada 1799 di New York. JP Morgan yang berdiri di atas fondasi lebih dari 1.000 perusahaan pendahulu, dengan operasi di lebih 50 negara, termasuk di Indonesia, yang melibatkan dana lebih dari 430 miliar dolar AS secara global, ternyata memiliki minat dan kepedulian terhadap kaum miskin dan menganggur.
Ini terlihat usaha JP Morgan yang dalam pertemuan tahunan dengan para penasihatnya semacam Tony Blair, Kofi Annan, Henry Kissinger, dan Lee Kuan Yew serta ratusan klien para miliuner dan bilioner yang datang dari berbagai negara menyelenggarakan simposium bertajuk ‘Nation Building and Pluralism” Unleashing the Entrepreneurial Spirit’, pada 1 November 2012 di Capella, Pulau Sentosa, Singapura.
Simposium dengan tajuk tersebut mengangkat kasus Indonesia yang menghadirkan saya sendiri sebagai panelis bersama Profesor Ramachandra Guha yang membahas pengalaman India. Mengapa Indonesia dan India? Bukan Cina yang masih memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi dan memiliki ratusan juta penduduk miskin dan penganggur.
Alasan JP Morgan adalah Indonesia dan India jauh lebih plural dan tak kurang pentingnya merupakan negara demokrasi terbesar ketiga dan pertama di muka bumi ini. Masalah yang menjadi kepedulian JP Morgan, antara lain, apakah pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara telah dan dapat memperkuat nation-building, misalnya dengan mengembangkan apa yang disebut sebagai ‘pertumbuhan ekonomi inklusif’ (inclusive economic growth) yang dapat mengurangi, bukan sebaliknya kian memperluas kesenjangan antara kelas atas dan kelas menengah dengan kelas bawah yang miskin dan menganggur.
Menumbuhkan pertumbuhan ekonomi inklusif masih merupakan tantangan bagi banyak negara, termasuk emerging economies, seperti Indonesia dan India. Belum terwujudnya pertumbuhan ekonomi inklusif membuat sangat sulit memacu dan memicu semangat wirausaha dalam kehidupan warga.
Indonesia dan India dalam banyak segi berhasil mengembangkan nation building dalam bidang politik.
Pluralisme sosial, budaya, dan agama di tengah masyarakat masing-masing yang sangat majemuk, juga relatif berhasil baik meski di sana-sini ada kekerasan komunal kasuistik. Tetapi, kedua negara belum berhasil mendorong tumbuh dan menguatnya semangat wirausaha. Sebaliknya, kedua negara kian dikuasai pasar yang kian kapitalistik dan semakin bebas pula, yang biasa disebut sebagai neo-lib.
Indonesia pada dasarnya lebih beruntung dibandingkan India. Islam yang merupakan agama mayoritas mutlak warganya sangat mendorong tumbuhnya wirausaha. Sebaliknya, India berpenduduk mayoritas beragama Hindu yang sangat mendorong para penganutnya untuk hidup asketik. Masalahnya kemudian mengapa semangat dan aktualisasi kewirausahaan tidak tumbuh secara signifikan dalam masyarakat Muslim Indonesia.
Jelas banyak warga Muslim berusaha keras dalam berbagai bentuk dan skala kewirausahaan—bahkan sejak selesai Salat Subuh sampai menjelang tengah malam. Tetapi, nasib banyak mereka tetap saja tidak berubah, yakni masih dalam kemiskinan. Kenyataan itu tidak lain karena adanya hambatan-hambatan struktural dalam ekonomi politik Indonesia yang tidak memihak kepada rakyat kecil, dan sebaliknya lebih suka berkolaborasi dengan pemodal-pemodal besar domestik dan mancanegara.
Karena itu, perlu upaya serius pemerintah untuk menghilangkan hambatan struktural tersebut. Pada saat yang sama melakukan kebijakan afirmasi bagi para warga yang telah berusaha mewujudkan kewirausahaan dalam berbagai bentuk dan skala.