Selasa 12 Feb 2013 07:00 WIB
Resonansi

Panglima Besar Jenderal Soedirman

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Usianya terlalu pendek, hanya 34 tahun. Sebab, pada 31 Januari 1950, saat Indonesia baru saja merampungkan revolusi kemerdekannya, Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Soedirman telah dipanggil Allah untuk tidak kembali.

Selama beberapa bulan sejak 19 Desember 1948, dengan paru-paru tunggal Soedirman memimpin perang gerilya di Jawa, sementara pemimpin tertinggi republik, seperti Sukarno dan Hatta ditangkap pasukan kolonial untuk kemudian diasingkan ke luar Pulau Jawa.

Jika perang gerilya di Jawa dipimpin oleh militer, di Sumatra di bawah kendali sipil dengan Mr Sjafruddin Prawiranegara bersama Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)-nya sebagai pemimpin puncak. Kedua tokoh ini telah sehati dan sejiwa untuk menyelamatkan bayi negara yang baru berumur setahun jagung, sekalipun komunikasi antarpulau saat itu amatlah sulit.

Dengan tertangkapnya proklamator Sukarno-Hatta, Belanda mengira bahwa riwayat republik telah tamat. Sebuah mimpi kolonial yang tidak mau memahami tekad bulat revolusi Indonesia dalam ungkapan ini, “Biarlah negara hangus terbakar asal tidak dijajah lagi.” Tekad baja tersebut telah mengkristal selama puluhan tahun di dada para pejuang, baik yang bergerak di ranah domestik maupun yang sedang belajar di Eropa.

Berakhirnya Perang Dunia II pada Agustus 1945 telah membuka peluang lebar bagi bangsa-bangsa terjajah untuk merebut kemerdekaannya. Di antara negara Asia-Afrika, yang paling heroik dan berdarah-darah dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan itu adalah Indonesia, Vietnam, dan Aljazair.

Hampir lima tahun perang kemerdekaan itu berlangsung. Selama tujuh bulan terakhir, sejak 19 Desember 1948 sampai 7 Juli 1949, Republik Indonesia dipimpin oleh dua putra terbaiknya melalui perang gerilya, Pangsar Jenderal Soedirman dan Sjafruddin Prawiranegara.

Soedirman hanya beberapa pekan saja sempat menghirup udara kemerdekaan setelah Belanda angkat kaki untuk selama-lamanya dari Indonesia sejak 27 Desember 1949 sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Delegasi Indonesia dalam perundingan itu dipimpin oleh Mohammad Hatta, sedangkan di Jakarta upacara pengakuan kedaulatan tersebut diterima oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari seorang wakil Pemerintah Belanda.

Dalam sejarah militer Indonesia merdeka, nama Soedirman sudah melegenda. Pertempuran Ambarawa Desember 1945 telah membuktikan prestasi militer Soedirman menghalau pasukan NICA untuk mundur ke Semarang. Ketulusan, kesederhanaan, konsistensi, dan komitmennya membela kemerdekaan bangsa yang terancam perlu selalu diingat dan disampaikan kepada generasi penerus untuk puluhan tahun yang akan datang. Ini penting agar penyakit amnesia bangsa ini dapat disadarkan kembali.

Soedirman telah mengorbankan segala-galanya untuk kita semua dan dia meninggal muda. Namanya memang abadi, sikap hidupnya yang tulus telah banyak kita sia-siakan karena godaan duniawi yang tak kenal batas. Keputusannya untuk tidak menyerah terhadap pihak penjajah telah dilakoninya sampai batas maksimal, sekalipun memimpin dari atas tandu. Alangkah dahsyatnya pribadi agung yang pernah lahir dari rahim bumi Indonesia ini.

Anak bungsunya yang saat Soedirman wafat baru berusia sembilan tahun, Ir Teguh Soedirman, pada 27 Desember 2012 dalam sebuah acara di Madrasah Mu'allimin Yogyakarta, mengatakan kepada saya bahwa ayahnya dipanggil Allah justru dalam keadaan bebas dari cacat terhadap bangsa dan negara. Dengan kematian dini itu, nama Soedirman akan tetap harum semerbak sepanjang sejarah selama republik ini masih ada. Semua tentara yang pernah bergaul dan menjadi bawahannya pasti akan mengatakan bahwa Soedirman adalah teladan agung sebagai pemimpin di lapangan tempur.

Dengan pernyataan tersebut, tampaknya Mas Teguh ingin menyampaikan pesan betapa banyaknya pemimpin bangsa yang tak lulus dalam ujian ketika kekuasaan sedang terpegang di tangan. Idealisme perjuangan yang semula sangat membara akhirnya menjadi luntur karena kekuasaan yang tidak dikawal oleh visi moral yang jelas.

Soedirman yang pernah aktif dalam kepanduan Hizbul Wathan Muhammadiyah di daerah Banyumas, sebelum perang ternyata sangat berbekas dalam pembentukan kepribadiannya yang tangguh di kemudian hari. Itulah sekilas Pangsar Jenderal Soedirman, kelahiran Desa Bodas, Karangjati, Purbalingga, dari lingkungan keluarga sederhana yang patut kita kenang.

sumber : Resonansi
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement