Kamis 14 Mar 2013 07:43 WIB
Resonansi

Parpol, Memulihkan Kepercayaan

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

“Masihkah kita percaya parpol?” Pertanyaan yang diajukan Perhimpunan Profesional Indonesia (PPI) dalam diskusi publik akhir pekan lalu ini bagi banyak warga Indonesia tidak susah dijawab. Berbagai survei menunjukkan gejala terus merosotnya kepercayaan masyarakat pada parpol. Bahkan, tanpa survei sekalipun, sentimen publik menunjukkan peningkatan signifikan ketidakpercayaan tersebut.

Menjadi narasumber dalam diskusi publik itu bersama peneliti SMRC Marbawi A Katon dan politisi PKS Sohibul Iman yang baru-baru ini menjadi wakil Ketua DPR, saya melihat beberapa penyebab utama kemerosotan kepercayaan masyarakat pada parpol. Jelas ada pula usaha dan cara yang dapat dilakukan ke arah pemulihan kepercayaan itu—sedikit banyak.

Pertama, penyebabnya adalah meningkatnya melek politik (political literacy) di kalangan warga. Dengan peningkatan ini—khususnya karena ekspos lewat media dan proses politik semacam pemilukada—masyarakat semakin tahu perilaku politik parpol beserta para politisinya, yang berujung pada meningkatnya sikap skeptis, frustrasi, dan apatis terhadap mereka. Perilaku politik warga juga kian rasional, meski dibayangi politik transaksional yang dimainkan parpol dan politisi.

Kedua, kian tereksposenya perilaku koruptif para politisi, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Rendahnya tingkat kehadiran dalam persidangan di DPR hanya menambah kian terpuruknya citra dan kepercayaan warga pada parpol dan politisi. Ketidaksigapan pimpinan parpol dalam “kontrol kerusakan” (damage control) yang melanda parpol akibat kasus korupsi di kalangan tokoh teras parpol yang bersangkutan menambah keberlanjutan ketidakpercayaan pada parpol.

Ketiga, kegagalan parpol dan politisi memenuhi janji meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui berbagai program pembangunan yang semestinya dilaksanakan eksekutif. Publik menyaksikan, begitu para politisi menduduki kekuasaan baik di legislatif maupun eksekutif, mereka lebih sibuk mencari celah untuk ‘menyejahterakan’ faksi dan parpol masing-masing lewat cara-cara pragmatis dan oportunistik koruptif.

Di tengah kemerosotan kepercayaan warga, parpol berhadapan dengan waktu yang kian terbatas menjelang pemungutan suara 9 April 2014. Karena parpol merupakan satu-satunya lokus agregasi dan ekspresi politik demokrasi, mutlak bagi parpol untuk memulihkan kepercayaan warga. Tanpa pemulihan kepercayaan, besar kemungkinan partisipasi warga dalam pemilu kian merosot pula, yang akhirnya mengurangi legitimasi politisi dalam posisi legislatif dan eksekutif yang bakal mereka duduki.

Menghadapi tantangan itu, hemat saya ada beberapa langkah yang dapat dilakukan parpol untuk pemulihan kepercayaan warga tersebut. Pertama, pemulihan integritas parpol dan para politisinya. Jelas masyarakat kian muak dengan perilaku politik politisi koruptif dan tidak etis.

Masyarakat mendambakan kehadiran parpol dan politisi dengan integritas kuat dan utuh; tidak terpecah antara jargon yang didengungkan dengan perilaku sehari-hari. Karena itu, penting sekali bagi setiap parpol mencermati bakal caleg yang diajukan sejak 9 April 2013; seharusnya parpol hanya mengajukan bakal caleg yang memiliki rekam jejak integritas yang baik.

Kedua, konsolidasi internal. Di tengah meningkatnya gejala perpindahan, eksodus, dan bergabungnya parpol yang tidak lolos ikut Pemilu 2014, konsolidasi internal menjadi kebutuhan amat mendesak. Masuknya muka baru ke dalam parpol tertentu potensial mengancam mobilitas politik kader lama, yang meningkatkan gesekan dan pergulatan internal partai. Jika hal ini tidak terselesaikan dengan baik, jelas bakal memengaruhi kinerja parpol bersangkutan dalam pemilu mendatang.

Ketiga, pengajuan kerangka program strategis parpol yang tidak hanya normatif, tetapi lebih penting lagi implementable dengan langkah dan tahapan yang jelas tentang bagaimana program kerja itu dapat direalisasikan, misalnya, melalui pendekatan ‘thinking out of the box’. Terdapat sejumlah isu yang dapat menjadi program kerja prioritas strategis sejak dari pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, pengurangan kemiskinan dan pengangguran, penegakan hukum, sampai pada penanganan konflik sosial-ekonomi, sosial-komunal, dan seterusnya.

Keempat, pemberdayaan komunikasi politik dengan berbagai kelompok strategis nonpolitik dalam masyarakat, khususnya “masyarakat madani” atau “masyarakat sipil” (civil society) sejak dari ormas nonpolitik berbasiskan agama, LSM advokasi, asosiasi profesi, kelas menengah, sampai kepemimpinan nonformal yang ada dalam berbagai tingkatan dan lapisan masyarakat. Selama ini komunikasi politik di antara parpol dengan berbagai kalangan tersebut hampir tidak ada. Dan sudah saatnya parpol menjalin komunikasi workable dengan mereka, tidak hanya untuk menggali aspirasi masyarakat, tetapi lebih juga untuk menjelaskan berbagai hal tentang parpol bersangkutan.

Dengan langkah-langkah itu, pemulihan kepercayaan masyarakat pada parpol menjadi lebih mungkin. Meski waktunya sangat sempit, tapi bukan tidak mungkin dilakukan, asal ada kemauan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement