Selasa 26 Mar 2013 19:30 WIB
Resonansi

Sopir Taksi Marsudi Bertutur

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif

Percakapan saya berlangsung dengan sopir taksi Marsudi pada 5 Maret 2013 dalam perjalanan dari Bandara Adisucipto ke Perumahan Nogotirto Elok 2. Saya simak baik-baik segala tuturan sang sopir yang memang patut didengar itu.

Marsudi menyopir sejak masih belajar di SMA. Sekarang, usianya sudah 46 tahun. Anaknya empat dan sudah punya cucu dari anak pertama. Istri yang dikawininya sejak lebih seperempat abad lalu adalah sarjana S1 Jurusan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta.

Sudah 10 tahun istrinya menjadi guru honor SD Negeri di Muntilan dengan naik sepeda motor pulang pergi dari tempat tinggalnya Desa Sambi Legi, tidak jauh dari Bandara Adisucipto.

Karena sudah melengkapi persyaratan database untuk diangkat menjadi guru negeri, kini hanya menunggu waktu saja untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Marsudi senang sekali jika istrinya bisa menjadi PNS. Untuk sebagian anak bangsa, tampaknya ada kebanggaan tersendiri jika bisa menjadi pegawai negeri. Apalagi, di saat lowongan pekerjaan sangatlah sulit, bahkan ada yang bersedia menanti sampai puluhan tahun untuk sebuah jabatan PNS.

Ada yang menarik dalam perjalanan hidup Marsudi ini. Dengan penuh ceria, dia bercerita tentang proses kepindahannya dari seorang non-Muslim menjadi Muslim setelah beranak dua, tanpa dorongan istrinya sama sekali. Sepenuhnya, berdasarkan kesadaran dan kehendak sendiri. Seorang kiai di kawasan Jalan Godean telah membimbingnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Dari tuturannya, selama setengah jam dalam perjalanan itu saya merasakan betapa bangganya sahabat kita ini sebagai seorang Muslim yang dijalani melalui proses pilihan merdeka dan sangat pribadi sifatnya.

Bukan hanya sampai di situ ceritanya.

Marsudi telah "mengislamkan" tujuh temannya yang lain. Ketika kabar gembira ini disampaikan ke pada seorang kiai, bukan main senangnya. Bahkan, kiai ini menangis karena belum pernah berhasil "mengislamkan" seorang pun, sementara Marsudi sebagai seorang Muslim biasa telah jauh melangkah. Rupanya, di tingkat akar rumput proses pindah agama secara damai ini selalu saja terjadi. Menurut Marsudi, secara kebetulan para mualaf ini dalam dunia usaha semakin berhasil, mengikuti nasihat dan jejak mentornya.

Berbeda dengan kebanyakan sopir taksi yang pernah saya wawancarai dalam berbagai ke sempatan yang kondisi ekonominya pas-pasan, Marsudi adalah sosok lain. Sebagai seorang pekerja keras menjadi sopir selama puluhan tahun, Marsudi kini sudah berhasil membangun dua rumah dan punya dua mobil rental, Honda Jazz dan Avanza. Sekalipun masih berharap agar istrinya menjadi PNS, sebenarnya dalam kehidupan ekonomi keluarga Marsudi sudah cukup mapan di lingkungan desanya.

Tuan dan puan tidaklah salah jika menempat kan Marsudi dalam kategori elite di lingkungan para sopir taksi. Perbedaan lainnya terletak pada kegigihan Marsudi dalam kegiatan dakwah, seperti yang dituturkannya kepada saya dengan nada datar, tanpa emosi yang meluap. Saya lupa menanyakan apakah dia dan istrinya sudah menunaikan ibadah haji atau belum. Yang pasti, keislamannya bukan karena mengawini seorang Muslimah lalu pindah agama, tetapi melalui liku-liku spiritual yang panjang sebelum mengambil keputusan akhir.

Pengalaman saya berbincang dengan warga biasa ini sungguh menyenangkan. Mungkin, tuan dan puan pernah mengikuti tulisan saya di Republika tentang cerita orang biisa ini.

Apakah dia seorang tukang cukur, penjaja keset, tukang asah pisau yang invalid, bapak bengkel sepeda, dan sosok lain yang kaya dalam nuansa kemanusiaan.

Mereka semua adalah tipe manusia yang yakin dengan kemampuannya sendiri untuk berdikari secara ekonomi melalui jalan halal dan sederhana. Sebagian mereka telah berkecukupan, semisal, Marsudi, sebagian yang lain tidaklah miskin berkat ketekunan dalam mengatasi tantangan hidup.

Selain itu, Marsudi adalah seorang pembaca. Dia mengikuti perkembangan politik Tanah Air yang belum juga sehat. Tokoh idolanya adalah Jokowi, gubernur DKI Jakarta yang fenomenal, yang dinilainya sebagai pejabat pelayan publik. Sedangkan, sebagian besar pejabat amat bangga dilayani, seperti harus dibukakan pintu mobilnya ketika hendak keluar. Sosok yang manja sekali, tak tergerak tangannya untuk menyentuh pintu mobil.

Semuanya diandalkan kepada sopir pribadi yang biasa bergegas dalam melaksanakan tugasnya. Apabila bosnya seorang egalitarian, perasaan sopir pasti tenang dalam bertugas.

Tetapi, jika seorang feodal atau neofeodal dengan gaya khasnya yang membosankan itu, napas sopir akan turun-naik tak teratur karena takut salah tingkah dalam definisi feodalisme.

Rupanya, Marsudi sudah lama mencibirkan gaya hidup yang serbafeodalistis ini.

Akhirnya, berbincang dan bergaul dengan rakyat kebanyakan ini bagi saya tidak pernah membosankan. Ada saja sisi-sisi menonjol yang pantas diabadikan dalam ingatan kolektif kita. Rakyat biasa yang kreatif ini adalah di antara modal sosial bangsa yang tak ternilai harganya.

Merekalah yang berfungsi sebagai tiang ekonomi saat Indonesia diterpa krisis moneter pada akhir abad yang lalu, sementara para konglo merat bergelimpangan. Viva rakyat kebanyakan karena kita adalah bagian yang menyatu dengan lingkungan mereka.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement