Senin 08 Apr 2013 07:00 WIB
Resonansi

Nasib Bangsa Tanpa Negara

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Ikhwanul Kiram Mashuri

Di negara empat musim, musim semi selalu disambut dengan sukacita oleh masyarakat. Pada musim semi, berbagai tanaman mulai tumbuh dedaunannya setelah sebelumnya ditutup salju. Udara pun mulai hangat. Karena itu, musim semi juga sering diasosiasikan sebagai harapan yang lebih baik.

Itu sebabnya, revolusi rakyat di sejumlah negara Arab untuk menggulingkan para penguasa diktator-otoriter disebut the Arab Spring atau al-Rabi' al-Arabi alias Musim Semi Arab. Harapannya, di bawah penguasa baru yang dipilih secara demokratis kehidupan rakyat akan lebih baik.

Oleh sebab itu, bukan kebetulan pula bila pemimpin Partai Pekerja Kurdi (PKK) Abdullah Ocalan memilih musim semi sebagai starting point untuk mengulurkan tangan perdamaian dengan pemerintahan Perdana Menteri Turki Recep Tayyib Erdogan. Di kalangan bangsa Kurdi (juga Iran, Afghanistan, Pakistan, dan Asia Tengah lainnya), awal musim semi dirayakan setiap 21 Maret. Mereka menyebutnya sebagai perayaan Nowruz.

Tawaran perdamaian Ocalan disampaikan tepat pada hari raya Nowruz. Puluhan ribu warga Kurdi berkumpul di alun-alun Kota Diyarbakir untuk mendengarkan pesan dari Ocalan. “Biarkan senjata dibungkam dan digantikan dengan negosiasi politik,” ujar Ocalan kepada para pendukungnya sebagaimana dibacakan oleh wakilnya di PKK, Pervin Buldan, dan disambut dengan sorak-sorai oleh rakyat Kurdi. “Pintu kini terbuka untuk proses demokrasi dan saatnya bagi politik untuk menang.”

Abdullah Ocalan sendiri tidak bisa merayakan Nowruz bersama rakyat Kurdi. Ia masih dipenjara di Pulau Imrali, di tengah Laut Marmara yang menghadap Istanbul. Pulau ini dijaga sangat ketat oleh militer Turki sejak Ocalan menjadi salah satu penghuninya. Ia ditangkap di Kenya (Afrika) oleh pasukan komando Turki pada 1999 dan kemudian dijebloskan ke penjara.

PKK yang didirikan oleh Ocalan telah terlibat konflik bersenjata dengan Pemerintah Turki selama 26 tahun. Lebih dari 40 ribu warga tewas selama bangsa Kurdi memperjuangkan kemerdekaannya dari Turki. Warga Kurdi mencapai sekitar 20 persen dari total 75 juta penduduk Turki, atau sekitar 15 juta. Sebagian besar mereka tinggal di tenggara Turki, terutama di Diyarbakir, kota terbesar permukiman warga Kurdi.

Uluran damai dari Ocalan itu tentu disambut gembira oleh Pemerintah Turki. “Bahasanya adalah bahasa perdamaian dan sekarang kita harus melihatnya menjadi tindakan,” ujar Menteri Dalan Negeri Turki Muammar Guler.

Sejumlah pengamat menyatakan gencatan senjata dan uluran tangan perdamaian dari pihak Ocalan ini tidak terlepas dari peran Pemerintah Turki yang sejak 2002 dikendalikan oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). AKP merupakan partai Islam. Sementara itu, meskipun Turki adalah negara sekuler, rakyatnya 99 persen beragama Islam.

Sedangkan, warga Kurdi hampir 100 persen Muslim. Baik warga Turki maupun Kurdi sama-sama menganut Sunni. “Dengan kesamaan sudut pandang ideologis, PM Erdogan percaya bahwa ia bisa mengelola proses melalui satu titik pandang yang sama, yaitu Islam,” ujar Nihat Ali Ozcan, akademisi dari Universitas TOBB Ankara.

Atas kesamaan ideologis itulah setelah AKP berkuasa, PM Erdogan langsung memperkenalkan serangkaian reformasi bagi masyarakat Kurdi. Antara lain, bahasa Kurdi diperkenankan untuk diajarkan di sekolah-sekolah. Juga diperbolehkan digunakan di media, kesenian, dan lainnya. Selanjutnya warga Kurdi pun dipersilakan untuk menjadi anggota parlemen. Pervin Buldan yang membacakan pernyataan Ocalan merupakan anggota parlemen dari Kurdi. Berbagai hak yang kini dinikmati warga Kurdi tidak mungkin terjadi ketika Turki diperintah partai sekuler.

Dalam negosiasi dan proses politik antara Pemerintah Turki dan pihak Ocalan ke depan, sejumlah pengamat memperkirakan PM Erdogan akan memberi otonomi yang lebih luas kepada masyarakat Kurdi. Mereka menyatakan, Pemerintah Erdogan tidak mungkin akan memberi warga Turki kemerdekaan seperti yang selama ini mereka perjuangkan. Bila kebijakan ini yang akan terjadi, berarti masyarakat Kurdi tetap tidak akan memiliki negara. Dengan kata lain, mereka merupakan bangsa yang tanpa negara. Apalagi, masyarakat Kurdi di Turki merupakan yang terbesar dibandingkan dengan mereka yang tinggal di negara-negara lain.

Jumlah warga Kurdi di dunia kini diperkirakan 30 juta jiwa. Mereka mendiami suatu daerah yang sering disebut sebagai Kurdistan, yang meliputi sebagian wilayah di Turki, Suriah, Irak, dan Iran. Terbaginya wilayah Kurdistan ke dalam berbagai negara itu merupakan akibat dari kebijakan kolonial Inggris setelah kekalahan Khalifah Usmaniyah pada Perang Dunia I.

Hal yang juga mempersulit bangsa Kurdi memperoleh kemerdekaan karena mereka tersebar di berbagai negara. Mereka pun tidak mempunyai satu tokoh pemersatu. Masing-masing tokoh hanya berjuang memerdekakan bangsa Kurdi di suatu negara tertentu. Misalnya, Abdullah Ocalan di Turki dan Ma'ud Barzani atau Jalal Talabani di Irak. Bahkan, antarfaksi Kurdi di Irak sering kali tidak akur dan saling berebut pengaruh.

Meskipun bangsa Kurdi kini tidak mempunyai negara, mereka sebenarnya bangsa besar. Dari mereka telah lahir tokoh-tokoh besar Islam di bidang masing-masing. Sebut misalnya Shalahuddin al-Ayyubi (panglima Perang Salib), Syekh Abdul Qadir Jailani (sufi), dan Syekh Ibnu Taimiyah (pembaru Islam).

Tentu kita berharap hari raya Nowruz yang diperingati dengan uluran tangan damai dari Abdullah Ocalan kepada Pemerintah Turki bisa benar-benar membawa harapan baik bagi bangsa Kurdi. Perjuangan tidak selamanya harus dengan mengangkat senjata. Perjuangan bisa melalui proses politik dan negosiasi di meja perundingan yang bisa saja hasilnya lebih baik dan tanpa pertumpahan darah.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement