REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Pada edisi kali ini izinkan saya untuk tidak menulis tentang persoalan yang membelit kawasan Timur Tengah yang selama ini menjadi perhatian dalam tulisan-tulisan saya.
Pada rubrik Resonansi berikut, saya ingin berbagi mengenai pengalaman dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Ramadhan yang merupakan bulan di mana di dalamnya antara lain diturunkan Alquran (Nuzulul Quran) dan Lailatul Qadar. Apalagi, bulan yang kita rindukan ini beberapa hari lagi akan berakhir dan kita akan segera menyongsong hari kemenangan yang bernama Idul Fitri. Atau dalam bahasa Bimbo, "Lebaran Sebentar Lagi".
Dalam momen seperti ini, alangkah baiknya bila kita mengevaluasi mengenai apa saja yang telah kita lakukan sepanjang Ramadhan ini. Yakni apakah kita termasuk golongan orang yang beruntung dengan menjadi manusia yang lebih baik (lebih berkualitas) ataukah kita justru termasuk kelompok yang buntung lantaran tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari bulan Ramadhan ini. Dan, lebih khusus lagi, apakah peristiwa Lailatul Qadar sempat menghampiri diri kita?
Dalam Alquran, Lailatul Qadar disebutkan sebagai "Malam Kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahtera (malam itu) sampai terbit fajar." (QS 97: 3--5).
Dalam pemahaman saya yang awam, tidak semua orang bisa tiba-tiba menggapai Lailatul Qadar. Namun, bukan berarti Lailatul Qadar susah atau bahkan tidak dapat untuk diraih. Setiap orang bisa mendapatkan Lailatul Qadar asal ia berusaha dan berupaya untuk dapat meraihnya. Allah SWT telah menyediakan sarananya, yaitu bulan Ramadhan. Bulan yang diwajibkan atas orang-orang beriman untuk menjalankan puasa selama sebulan penuh.
Berpuasa bukan hanya tidak minum dan makan, tidak hanya berlapar-lapar dan berdahaga. Namun, rasa lapar dan dahaga diperlukan agar tumbuh dalam diri kita rasa empati kepada orang-orang yang kurang beruntung. Yaitu para kaum fakir, miskin, yatim, dan mereka yang lemah ekonomi, lemah iman, dan lemah segala-galanya. Dalam berpuasa, kita juga tidak boleh emosi dan marah-marah. Bila ada orang yang memancing atau menyebabkan emosi dan marah, maka kita diperintahkan untuk segera mengatakan, ‘’Maaf, saya sedang berpuasa.’’
Dalam berpuasa, kita diperintahkan untuk memperbanyak ibadah ritual. Baik yang sunah dan apalagi yang wajib. Setiap kali kita melaksanakan ibadah, pahalanya akan dilipatgandakan. Sebutlah misalnya ibadah Tarawih, tadarus membaca Alquran, mengikuti halakah-halakah keagamaan, iktikaf, dan seterusnya.
Sebaliknya, setiap kali melakukan maksiat atau menerjang larangan agama, maka dosanya pun dilipat-lipatkan. Juga kita disuruh untuk melipatgandakan amal sosial. Menyisihkan sebagian harga benda untuk menyantuni orang-orang yang tak seberuntung kita. Agama menyebutkan, orang yang memberi buka puasa kepada orang lain, maka pahalanya sama dengan orang yang berpuasa.
Bila kita terlalu sibuk, di negeri ini banyak lembaga-lembaga terpercaya dan amanah yang siap menerima titipan zakat, infak, dan sedekah. Sebutlah misalnya Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), Rumah Yatim, Dompet Dhuafa, dan seterusnya. Agar tidak ragu dan untuk menjunjung asas transparansi, sebaiknya memang kita minta pertanggungjawaban dari penyaluran amal sosial kita tadi.
Yang memprihatinkan di negeri kita, kesalehan ritual (ibadah ritual) seseorang tidak selalu paralel dengan kesalehan sosial (ibadah sosial). Kesalehan sosial tidak hanya bermakna berzakat, berinfak, dan bersedekah, tapi juga berperilaku yang baik, bermuamalah yang mementingkan orang banyak, dan juga berperilaku jujur, tidak egois, dan peduli kepada kepentingan orang lain.
Masih banyak kita saksikan orang menjadi baik hanya ketika shalat, berpuasa, berumrah, berhaji dan seterusnya. Namun, ibadah-ibadah ritual tadi tidak membekas dan memberi pengaruh pada perilakunya sehari-hari. Bukankah ibadah shalat, misalnya, bertujuan untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar? Bukankah banyak ayat Alquran yang menyebutkan iman harus disertai dengan amal saleh?
Ibadah puasa selama bulan Ramadhan tentu diharapkan dapat menjadikan kesalehan ritual kita bisa segaris lurus atau bahkan berbuah pada kesalehan sosial kita. Kita diharapkan lebih peduli kepada sesama, serta tidak berperilaku korup dan egois. Bukahkan dalam berpuasa kita diperintahkan untuk dapat mengekang hawa nafsu? nafsu binatang (nafsu hayawaniyah) dan nafsu setan?
Termasuk di dalam berpuasa kita juga diperintahkan untuk tidak tamak. Tidak ambisius. Ambisius berbeda dengan ambisi. Ambisi diperlukan untuk memotivasi semangat mengubah kehidupan dunia yang lebih baik, karena dunia yang baik adalah jalan menuju akhirat yang baik. Sedangkan, ambisius bisa menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisinya.
Bila hal-hal di atas dapat kita raih selama menjalankan ibadah puasa Ramadhan, saya yakin kita akan mendapatkan Lailatul Qadar. Lailatul Qadar yang berbuah rasa damai dengan diri sendiri. Rasa tenang dan nyaman. Tidak kemrungsung atau terus ngedumel dengan nasib. Rasa damai dengan yang telah kita raih. Damai dengan anak-anak, istri atau suami, teman-teman. dan handai tolan. Damai dengan diri sendiri akan melahirkan rasa syukur dengan segala nikmat. Damai dengan diri sendiri akan mengantarkan kita pada kebahagiaan. Bukankah orang bijak telah mengatakan bahwa "kekayaan paling berharga adalah kepuasan alias rasa syukur?"
Selamat meraih Lailatul Qadar. Selamat berdamai dengan diri sendiri. Lebaran sebentar lagi. Mohon maaf lahir dan batin.