Rabu 14 Aug 2013 17:09 WIB
Resonansi

Amal Ikhlas

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Di Makkah, sufi besar Abul Qasim al-Junaid memergoki tukang cukur sedang menggunting rambut seseorang. Ia pun bertanya, Jika karena Allah, bersediakah engkau mencukur rambutku?

Aku bersedia, jawab tukang cukur. Ia pun menghentikan mencukur langganannya seraya berkata, Berdirilah, apabila nama Allah disebut, hal-hal lain harus ditunda.

Setelah mencium dan mencukur rambut al-Junaid, tukang cukur masih memberinya segumpal kertas berisi beberapa keping uang. Gunakanlah ini untuk keperluanmu, ujarnya.

Begitu terkesan, al-Junaid bertekad jika memperoleh hadiah akan diserahkan kepadanya. Tak lama berselang ia menerima sekantong uang emas dari Bashrah, lantas segera menemuinya.

Apa ini? tanya si tukang cukur. Al-Junaid menjawab, Aku bertekad jika memperoleh hadiah akan kupersembahkan padamu dan aku baru saja mendapatkannya.

Tukang cukur berkata, Tidakkah engkau malu kepada Allah? Engkau telah mengatakan padaku, ’Demi Allah cukurlah rambutku’, tetapi kemudian engkau memberi hadiah padaku. Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang melakukan suatu perbuatan demi Allah dan meminta bayaran?

Alangkah banyaknya orang mengatasnamakan Tuhan demi keuntungan diri. Alquran menyebut hal itu sebagai kebohongan terhadap agama yang mencelakakan. Maka, celakalah orang-orang yang shalat, yang lalai dalam shalatnya, yang hanya pamer saja (riya), yang tidak memberikan pertolongan. (QS al-Maa'uun [107]: 5-7).

Agar terbebas dari kecelakaan itu, noda riya harus dibersihkan dari hati oleh ikhlas. Al-Ghazali berkata, jika sesuatu itu bersih dan terhindar dari kotoran, maka itu dinamakan khalish (yang bersih). Pekerjaan membersihkan disebut ikhlas.

Al-Muhasibi dalam Kitab al-Washaya, mendefinisikan ikhlas sebagai kemurnian niat, yaitu kemurnian perbuatan apa pun dari seluruh perhatian lainnya selain kehendak Allah. Perbuatan ikhlas muncul dari suatu kesadaran yang secara total berakar pada keesaan Tuhan, tanpa dicampuri oleh kesadaran apa pun atas pemujaan terhadap manusia lainnya atau menyalahkan manusia lainnya.

Mengapa ikhlas disebut ikhlas? Al-Muhasibi menjawab, Karena ia mengenyahkan seluruh kerusakan akibat suatu perbuatan. Dengan ikhlas, tak ada riya yang tercampur dalam perbuatan, tidak pula tercampur di dalamnya kepentingan akan reputasi, ujub, gila hormat, atau benci untuk dicela. Ikhlas telah memurnikan semuanya dari segala polusi itu.

Keikhlasan beramal merupakan kunci produktivitas dan sukses hidup. Deepak Chopra menjelaskan, tindakan yang dimotivasi oleh ketulusan, bukan oleh egosentrisme, akan menghasilkan energi berlimpah yang dapat digunakan untuk menciptakan apa saja yang dikehendaki.

Sebaliknya, jika perbuatan itu didorong oleh modus memiliki dan menguasai orang lain, dibutuhkan konsumsi energi yang banyak. Selain itu, perbuatan yang beroreintasi pada pemujaan diri akan membuat kita senantiasa dalam posisi defensif dan menyalahkan orang lain. Akibatnya, kita tidak bisa terbuka pada alternatif terbaik yang menunggu dengan kepakan sayapnya.

Amal ikhlas menurut psikolog Viktor Frankl merupakan sumber dari kesehatan mental dan kebahagiaan. Kebahagiaan dicapai ketika orang menemukan makna hidupnya dalam pemenuhan potensi diri. Betapapun sederhananya, amal yang ikhlas akan menorehkan jejak dalam sejarah dan menumbuhkan rasa tanggung jawab. Bangkitnya rasa tanggung jawab merupakan pertanda ketulusan yang mendorong darma bagi kemanusiaan.

Setelah kembali ke kesucian awal (Idul Fitri), semoga amal perbuatan kita pun disucikan oleh keikhlasan berbakti!

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement