REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra
Konferensi tentang Religious Freedom: The Way to Peace (23/8/2013)--di mana saya menjadi salah satu pembicara--merupakan salah satu mata acara utama dalam Rimini Meeting. Tema dan pembicaraan dalam konferensi utama ini jelas tercakup ke dalam tema pokok Rimini Meeting, "Human Person: A State of Emergency".
Argumen di balik tema ‘kebebasan beragama’ adalah bahwa meski dunia terus mengalami gelombang kebebasan dan demokrasi seperti terjadi dalam Arab Spring, tetapi tetap saja masih banyak warga dunia yang tidak memiliki religious freedom karena berbagai faktor politik, sosial, dan budaya yang dalam kasus dan segi tertentu menimbulkan 'keadaan darurat' kemanusiaan.
Saya agak terkejut ketika panitia mengatakan, audiens untuk konferensi utama dalam Rimini Meeting dalam beberapa tahun terakhir cukup konstan sekitar 7.000-an orang. Hal ini benar belaka ketika bersama pembicara lain saya menemukan auditorium Rimini Fiera yang dipadati audiens sekitar 7.000 sampai 8.000-an orang.
Inilah audiens terbanyak yang pernah saya temukan dalam konferensi mana pun. Inilah kesempatan pertama saya menyampaikan orasi di depan audiens internasional begitu banyak. Lazimnya begitu banyak konferensi internasional yang saya ikuti melibatkan audiens jauh lebih sedikit.
Berbeda dengan gejala kemerosotan perhatian dan minat pada agama di kalangan masyarakat Italia atau Eropa umumnya, audiens Konferensi Utama Rimini Meeting sangat antusias. Mereka memberikan tepuk tangan gegap gempita ketika rombongan para pembicara memasuki auditorium dan menaiki panggung. Tepuk tangan meriah juga membahana seusai masing-masing pembicara menyampaikan orasinya. Seusai konferensi, banyak audiens yang bersemangat ‘mengeroyok’ pembicara minta foto bersama atau alamat kontak.
Memulai percakapan dalam konferensi tentang ‘Kebebasan Beragama’ adalah Kardinal Jean-Louis Tauran. Kardinal Tauran yang kini bertanggung jawab untuk peningkatan kerja sama antaragama Vatikan dengan umat beragama lain menekankan pentingnya peningkatan kebebasan agama dalam berbagai aspeknya untuk setiap orang atau komunitas di mana pun di muka Bumi.
Kebebasan beragama mutlak guna membangun perdamaian dan kedamaian. Sebaliknya, ketiadaan atau kurangnya kebebasan beragama dapat menjadi salah satu sumber tensi dan konflik dalam masyarakat dan negara yang bisa mendatangkan keadaan darurat kemanusiaan dan peradaban.
Menurut Kardinal Tauran, kebebasan beragama berdasar pada sifat alamiah manusia untuk menjadi manusia seutuhnya seperti diinginkan Tuhan. Karena itu, kebebasan beragama mesti dihormati--paling tidak sejauh tidak melanggar kebebasan orang lain. Karena itu Tauran menegaskan, Vatikan sangat memberikan perhatian nasib kaum Kristianitas di negara-negara di mana kebebasan beragama tidak sepenuhnya terjamin. “Negara semestinya tidak campur tangan dalam urusan agama dan harus mengakui bahwa manusia secara alamiah bersifat religius dan agama adalah bagian integral masyarakat. Dunia tanpa Tuhan adalah dunia yang tidak manusiawi”, tegasnya.
Paul Bhatti, dokter yang juga tokoh Katolik asal Pakistan dan pimpinan Aliansi Kaum Minoritas Pakistan bercerita panjang lebar tentang nestapa kaum minoritas agama di negerinya. Tak kurang saudara kandungnya, Shahbaz Bhatti, terbunuh ketika menjabat menteri harmoni agama pada 2 Maret 2011.
Pembunuhan Shahbaz berkaitan dengan oposisinya terhadap UU Antipenodaan Agama yang menurut dia telah digunakan secara arbitrer untuk menindas kaum minoritas, baik di kalangan umat Islam maupun non-Muslim. Berikutan dengan pembunuhan tersebut, Paul Bhatti diangkat menggantikan saudaranya sebagai menteri untuk harmoni agama dan masalah minoritas Pakistan di masa Perdana Menteri Raja Pervaiz Ashraf.
Saya sendiri menyampaikan orasi yang substansinya tidak asing bagi masyarakat Indonesia, tapi tidak diketahui banyak masyarakat internasional. Kebebasan beragama di Indonesia mendapat jaminan UUD 1945 dan berbagai peraturan-perundangan lain. Meski sekitar 88,2 persen populasi Indonesia memeluk Islam, Indonesia bukan negara Islam--juga tidaklah Islam menjadi agama resmi negara. Sebaliknya Indonesia mengakui enam agama (state recognized religions): Islam, Katolik, Kristen (Protestan), Hindu, Buddha, dan Konghucu. Setiap dan seluruh warga yang berbeda agama setara di depan hukum dan setara juga untuk menduduki berbagai posisi pemerintahan dan politik.
Franco Frattini, mantan menlu Italia (2002-2004 dan 2008-20011 dari Partai Forza Italia pimpinan Silvio Berlusconi) yang menyebut Indonesia sebagai "showcase" kebebasan dan kerukunan kegamaan menjadi pembicara terakhir dalam konferensi. Frattini terutama mengimbau bagi penghilangan apa yang dia sebut sebagai 'penindasan' (persecution) terhadap penganut Kristianitas di muka Bumi. Untuk itu, dia sering mengangkat pamflet yang menyebut '200.000.000' umat Kristiani telah dan sedang menjadi korban penindasan di berbagai tempat dunia.
Frattini sah saja berbicara tentang penindasan terhadap pemeluk Kristianitas. Tetapi jelas, penindasan juga tak kurang dialami kaum Muslimin dan pemeluk agama-agama lain di berbagai tempat tertentu di muka Bumi. Inilah salah satu tantangan bersama umat beragama, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk bersama berupaya menghapus berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan terhadap umat beragama untuk terciptanya perdamaian lestari.