REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif
Pancasila hanya bisa menjadi sakti bila setiap silanya benar-benar dibumikan dalam dunia kenyataan. Dalam terang pemahaman ini, ritual kesaktian Pancasila tidak lagi dirayakan dengan tuduhan kambing hitam yang mengucilkan suatu golongan, melainkan dengan mengobarkan semangat gotong-royong, mengetuk keinsyafan semua pihak untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila.
Kita tidak bisa mengatasi keburukan dengan menciptakan keburukan baru. Itulah sebabnya, mengapa kita harus bisa menangkap api sejarah. Dunia politik Indonesia masa lalu diwarnai oleh pergolakan dan benturan. Di satu sisi, hal itu menyiratkan adanya gairah, idealisme, dan kesungguhan memperjuangkan gagasan. Di sisi lain, bentrokan kekerasan yang menyertainya juga menunjukkan bahwa gairah persaingan ideologis itu belum disertai budaya kewargaan yang damai, yang mampu melunakkan panasnya persaingan itu ke dalam ambang batas tertib sipil.
Adapun politik hari ini, jagad politik diwarnai oleh redupnya gairah, idealisme, dan gagasan. Memang, bentrokan kekerasan antarpendukung partai mereda, mencerminkan adanya perkembangan baru dalam budaya kewargaan. Namun, politik yang diwarnai oleh ketiadaan gairah, idealisme, dan gagasan menyuburkan kecenderungan pragmatisme. Satu-satunya nilai dalam politik adalah uang. Jika keburukan politik masa lalu melahirkan kebiadaban kekerasan yang berujung pada pembungkaman, keburukan politik masa kini melahirkan kebiadaban koruptif yang berujung pada pemiskinan rakyat banyak.
Dalam situasi seperti itulah nilai-nilai Pancasila perlu dihidupkan kembali. Pancasila menawarkan ideologi dalam politik yang mengatasi paham golongan dan perseorangan, yang dapat menjanjikan kemerdekaan, persatuan, dan perdamaian seluruh warga. Nilai dasar Pancasila mempertemukan semua ideologi dan anasir kebangsaan dalam semangat gotong-royong.
Ketuhanan menurut alam Pancasila hendaknya dikembangkan dengan jiwa gotong-royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang, dan toleran); bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Kemanusian universalnya harus berjiwa gotong-royong (yang berkeadilan dan berkeadaban); bukan pergaulan kemanusiaan yang menjajah dan eksploitatif. Persatuan kebangsaannya harus berjiwa gotong-royong (mengupayakan persatuan dengan tetap menghargai perbedaan, “bhineka tunggal ika”); bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau pun menolak persatuan.
Demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas atau minoritas elite penguasa-pemodal. Prinsip keadilannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan); bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.
Kesaktian semangat gotong-royong yang dikehendaki Pancasila itu hanya bisa diaktualisasikan jika ajaran Pancasila juga dikembangkan secara gotong royong. Pancasila tidak bisa lagi dikembangkan secara vertikal dengan dimonopoli oleh negara: negara yang ambil inisiatif, negara yang menafsirkan dan negara yang menatar. Dalam pendekatan ini, klaim Pancasila sering tergelincir menjadi alat negara untuk mengontrol dan memberangus kekuatan kritis dalam masyarakat.
Pancasila sepatutnya dikembangkan secara horizontal dengan melibatkan segenap komponen kebangsaan. Selain pemerintah, kaum intelektual, pemuka agama, seniman, masyarakat media, masyarakat sipil, pemangku adat dan lain-lain bisa melakukan pengisian dan pengembangan terhadap Pancasila sesuai dengan kapasitas dan posisinya masing-masing. Dalam pendekatan ini, nilai-nilai Pancasila menjadi alat ukur bagi segala komponen bangsa untuk menakar apakah kebijakan-kebijakan negara sesuai atau tidak dengan imperatif-imperatif Pancasila. Dengan demikian, Pancasila bisa menjadi alat kritik bagi kebijakan publik.
Konsekuensi menjadikan Pancasila sebagai alat ukur kebijakan Publik, menuntut agar Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan dan bisa dijustifikasi oleh teori-teori pengetahuan. Indonesia bukanlah negara undang-undang, melainkan “negara hukum” (rechsstaat) yang mengharuskan setiap undang-undang mengacu pada sumber dari segala sumber hukum (grundnorm). Seturut dengan itu, Pancasila sebagai ideologi harus dikembangkan menjadi Pancasila sebagai ilmu.
Pancasila harus bisa diobjektivikasikan ke dalam premis-premis keilmuan sebagai jembatan untuk mendekati dan memecahkan realitas sosial. Dengan cara-cara seperti itulah, idealitas Pancasila bisa bergerak mendekati realitas. Tes terakhir dari kesaktian Pancasila teruji ketika setiap sila Pancasila bisa dibumikan dalam kenyataan.