Senin 07 Oct 2013 07:19 WIB

Ketika Hassan dan Hussein Berbaikan

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Hassan yang dimaksud adalah Hassan Feridon Rouhani. Ia adalah presiden Republik Islam Iran. Sedangkan, Hussein adalah Barack Hussein Obama. Yang terakhir ini merupakan presiden Amerika Serikat (AS). Kedua orang ini, Hassan dan Hussein, pada Jumat (27/09) dua pekan lalu membuat berita besar ketika mereka bercakap-cakap lewat telepon.

Hassan, yang akrab dipanggil Rouhani, saat itu sedang berada di mobil di Kota New York dalam perjalanan ke bandara untuk pulang ke negerinya. Rouhani baru saja menghadiri Sidang Umum PBB. Sedangkan Hussein, yang biasa dipanggil Obama, berada di ruang kerjanya (Oval Office) di Gedung Putih, Washington. Menurut Rouhani, ia tidak sempat bertemu Obama di sela Sidang Umum PBB lantaran tak cukup waktu untuk merencanakan pertemuan tersebut.

Lantas apa istimewanya bila dua presiden berbicara lewat telepon? Menjadi istimewa lantaran yang berbicara adalah Presiden AS dan Presiden Iran. Kedua negara telah berseteru sepanjang 34 tahun. Tepatnya sejak 1979, ketika Revolusi Islam Iran berhasil menggulingkan rezim Shah Reza Pahlevi yang didukung AS. Sejak itu, hubungan kedua negara terus memanas.

Bahkan, ketika Presiden Rouhani pergi ke New York untuk menghadiri Sidang Umum PBB, di beberapa sudut Kota Teheran masih diidapati poster dan di dinding bangunan bertuliskan "Go to hell with America. Go to hell with Israel". Tulisan-tulisan senada ini telah ada sepanjang 30 tahun lebih sejak kemenangan Revolusi Islam.

Namun, Rouhani memang berbeda dengan pendahulunya, Mahmud Ahmadinejad. Bukan hanya soal pakaian di mana ia sehari-hari mengenakan jubah dan tutup kepala seperti halnya para ayatullah atau ulama. Pandangannya pun lebih moderat.

Dalam kampanye pemilu presiden ia berjanji, bila terpilih akan memulihkan hak-hak sipil, memajukan ekonomi, dan meningkatkan hubungan yang lebih ramah dengan Barat. Janji itulah yang ia bawa ketika pergi ke New York. Baginya, pemulihan ekonomi Iran harus paralel dengan keterbukaan hubungan dengan masyarakat dunia, utamanya Barat.

Di pihak AS, Obama juga berbeda dengan pendahulunya, George W Bush. Yang terakhir ini lebih senang memosisikan dirinya sebagai cowboy Amerika terhadap dunia. Iran ia katakan sebagai "poros setan" bersama Irak dan Korea Utara. Irak dan Afghanistan ia gebuk. Iran ia embargo dengan mengatasnamakan PBB. Sedangkan, Obama lebih suka menggunakan cara diplomasi. Apalagi, ia sedang menghadapi masalah dalam negeri yang pelik, terutama terkait dengan perekonomian negaranya.

Terhadap Suriah, ia mengurungkan niatnya untuk menyerang negara itu. Ia memilih solusi yang ditawarkan Rusia dengan memusnahkan semua senjata kimia Suriah melalui jalur PBB. Sedangkan dengan masalah nuklir Iran, Obama menginginkan dapat diselesaikan lewat jalur diplomasi. Itu sebabnya pada pembukaan Sidang Umum PBB ia menggunakan bahasa yang penuh harapan ketika menyinggung masalah Iran. Katanya, mungkin tidak ada waktu lagi yang lebih baik bagi kedua pemimpin untuk menjalin hubungan yang lebih akrab bila tidak terwujud tujuan mereka hari-hari ini.

Pidato Obama itu segera disambut pihak Rouhani. Selama rombongan Presiden Iran berada di New York, mereka sangat menjaga pernyataan, terutama bila menyangkut Israel yang memang sangat sensitif bagi AS. Sebagai misal, dalam konferensi pers ia tidak lagi menuntut "menghancurkan" Negara Israel. Dalam kesempatan lain, ia meminta Israel untuk ikut menandatangani perjanjian pelarangan pengembangan senjata nuklir. Penyebutan "Israel" secara tidak langsung merupakan pengakuan Rouhani terhadap eksistensi negara Zeonis itu.

Sebagai mantan pengacara, akademisi, diplomat, dan pernah menduduki posisi-posisi strategis lain di negaranya, Rouhani paham betul bagaimana menangkap dan memanfaatkan peluang. Baginya, saatnyalah ia berbaikan dengan Barat, yang diawali dengan pembicaraan telepon dengan Presiden AS.

Meskipun perbicaraan itu hanya berlangsung sekitar 15 menit, maknanya sangat besar. Hubungan yang beku selama 34 tahun kini telah mencair. Bahkan, Rouhani juga telah memerintahkan stafnya untuk melihat kemungkinan maskapai Iran bisa terbang langsung Iran-AS dan sebaliknya.

Sejumlah media Arab menyebut pembicaraan Obama-Rouhani dengan istilah Obarouhaniyah. Bahkan, berita dan analisa mengenai Obarouhaniyah ini terus mewarnai berbagai media di Timur Tengah selama beberapa hari hingga kemarin.

Hal ini tidak mengherankan karena Obarouhaniyah bukan hanya mengubah peta politik antara Iran dan AS, tapi juga telah membawa pengaruh besar di kawasan Timur Tengah. Reaksi keras datang dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Ia mengatakan Presiden Iran tidak bisa dipercaya. Menurutnya, pembicaraan Rouhani dengan Obama hanyalah untuk mencuri waktu di pihak Iran agar negara itu mempunyai waktu yang lebih untuk membuat senjata nuklir.

Selama ini Israel telah beberapa kali mengancam akan menyerang reaktor nuklir Iran. Tiga hari setelah pembicaraan itu ia pun terbang ke Washington menemui Obama. Sedangkan, para pemimpin negara-negara di Timur Tengah lainnya--dari Teluk, Yordania, Mesir hingga Turki-- hingga kemarin belum mengeluarkan pernyataan.

Yang jelas, negara-negara Teluk selama ini memperlihatkan ketidaksenangannya kepada Iran yang dianggap bisa mengganggu stabilitas keamanan kawasan Timur Tengah. Pertama, soal kemampuan Iran mengembangkan senjata nuklir. Kedua, Iran dituduh ingin memberi pengaruh di kawasan Timur Tengah dengan membentuk poros Syiah: Iran-Irak-Suriah, dan Hizbullah/Lebanon. Namun, menurut pengamat Timur Tengah, Abdurrahman Rasyid, tanpa dukungan AS mereka tidak bisa berbuat apa-apa terhadap Iran, baik secara militer, ekonomi, maupun politik.

AS, lanjut Rasyid, merupakan negara besar yang mampu mengubah peta kekuatan di kawasan Timur Tengah. Iran, sebagai misal, telah berhasil dikucilkan oleh AS selama 30 tahun lebih dari pergaulan dunia, terutama Barat, baik secara politik, militer, maupun ekonomi. Karena itu, katanya, Obarouhaniyah akan membawa dampak yang besar pada kawasan Timur Tengah, terutama negara-negara Teluk.

Namun, bagi pihak yang berpandangan optimistis, pembicaraan Rouhani yang bernama depan 'Hassan' dengan Obama yang bernama tengah 'Hussein' bukanlah suatu kebetulan. Mengambil inspirasi dari nama kedua cucu Nabi Muhammad SAW, Hassan dan Hussein, mereka--para pemilih Presiden Rouhani--pun berharap pertemuan Hassan Rouhani dengan Hussein Obama bisa membawa kebaikan kepada bangsa-bangsa di Timur Tengah, minimal kepada Iran. Apakah harapan itu bisa terwujud, waktu yang akan membuktikan. Wallahu a'lam bisshawab.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement