Rabu 23 Oct 2013 06:30 WIB
Resonansi

Sumpah Pengorbanan

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif

Sekarang kita berada pada titik persinggungan antara peringatan hari Sumpah Pemuda dan Idul Kurban. Setiap tahun kedua momen historis kebangsaan dan keagamaan itu kita rayakan, tetapi sebegitu jauh yang kita tangkap sering kali abunya, bukan apinya. Di antara kedua momen historis itu sesungguhnya bisa dihubungkan oleh garis api yang sama, yakni semangat komitmen dan pengorbanan.

Sumpah Pemuda menggelorakan komitmen dan kebesaran jiwa untuk mengorbankan kepentingan sempit demi kebaikan hidup kebangsaan. Bagi pemuda-pelajar yang terdidik dalam persekolahan bergaya Eropa, penggunaan bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda Indonesia ke-2, 28 Oktober 1928, membawa kesulitan yang serius: menimbulkan kegagapan bagi pembicara dan kebingungan bagi pendengar. Sebagian peserta yang mencoba berbahasa Indonesia gagal, dan terpaksa menggunakan bahasa Belanda. Salah seorang di antara mereka adalah Siti Soendari, perwakilan Poetri Indonesia. Tetapi, komitmen kebangsaan membangkitkan tekad untuk menaklukan segala kesulitan. Hanya selang dua bulan sejak peristiwa itu, Siti Soendari secara heroik sanggup berpidato dalam bahasa Indonesia pada Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928.

Sumpah Pemuda juga mencerminkan kebesaran jiwa yang siap melakukan pengorbanan. Meski sebagian besar pemuda-pelajar yang menghadiri Kongres itu berasal dari Jawa, mereka rela berkorban tidak memaksakan bahasa mayoritas (bahasa Jawa) sebagai bahasa persatuan. Demi mengusung gagasan kebangsaan yang egaliter mereka sepakat menjadikan bahasa Melayu-Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Senapas dengan itu, Idul Kurban memantulkan api komitmen dan pengorbanan Nabi Ibrahim dan keluarganya. Komitmen dan kebesaran jiwa Nabi Ibrahim yang bersedia mengorbankan putra tercinta, Ismail, demi mengemban amanah kenabian. Komitmen dan pengorbanan Siti Hajar dalam mengemban amanah dari Sang Nabi dalam menjaga anaknya.

Ibadah haji melambangkan trayek pengembaraan manusia yang diwarnai aneka pengorbanan. Prosesi haji bermula dari Ihram. Ihram melambangkan kesederajatan sebagai titik awal keberangkatan manusia. Dalam perjalanan menuju ”rumah Allah”, segala batas dan perbedaan harus dilucuti, dengan mengenakan kain tak berjahit berwarna putih. Dalam kesederhanaan dan tanpa topeng, manusia menemukan persamaan dan kesederajatan. Dan hanya dengan kondisi seperti itu, bolehlah ia menuju ”Rumah Tuhan”. Ujung dari prosesi haji adalah penyembelihan hewan Qurban yang melambangkan bahwa kecintaan kepada kebenaran dan kemanusiaan harus dibuktikan dengan kesediaan untuk berkoban. Pengorbanan inilah yang merupakan fase tertinggi dan terberat dalam perjuangan, seberat Ibrahim yang harus tega menyembelih anak yang dicintainya, yang dengan susah payah ia dapatkan.

Pesan moral dari kedua momen historis itu sangat relevan untuk memulihkan krisis kehidupan kita saat ini. Berbagai perubahan yang terjadi dalam 15 tahun reformasi yang kita jalankan tidak membawa bangsa ke arah yang lebih baik, karena lemahnya komitmen dan semangat pengorbanan untuk membumikan idealitas ke realitas.

Ke mana saja kita menghadap, di negeri ini tidak ada tanda-tanda keseriusan untuk secara sengaja memikirkan, menata, dan mengembangkan potensi yang kita miliki. Para penyelenggara negara hanya sibuk membobol keuangan negara, tetapi jarang yang berkontribusi pada peningkatan pendapatan negara. Banyak anak-anak muda jenius dari bangsa ini disia-siakan, karena pemujaan pada budaya kedangkalan yang memberi ruang pada anak-anak muda medikor-inferior menguasai bidang-bidang kenegaran.

Dalam situasi demikian, budaya pecundang melanda kehidupan bangsa. Pusat teladan dan impian selalu diletakkan di luar negeri. Budaya konsumen untuk senantiasa mengutamakan produk asing merajalela, dengan mematikan daya-daya produktif dalam negeri. Berbagai perubahan peraturan perundang-undangan dan institusi politik ditempuh dengan jalan pintas, lewat pencangkokan dari yang ditemukan di negara lain.

Kebesaran jiwa menjadi barang langka. Para penyelenggara negara tidak menghayati prinsip-prinsip kehidupan publik, yang harus mengutamakan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi dan kelompok. Kementerian-kementerian negara menjadi negara dalam negara yang berkhidmat pada kepentingan partainya masing-masing. Pemimpin negara hanya sibuk menyelamatkan karier politiknya, seraya mengabaikan keselamatan warga dan wilayah negara. Sementara berbagai inisiatif untuk memberi kenyamanan pagi para penyelenggara negara terus dikembangkan, kenyamanan untuk rakyat diabaikan. Persatuan nasional didengungkan tanpa dilandasi kebesaran jiwa untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Politik sebagai teknik terus dipercanggih, tetapi politik sebagai etik diterbelakangkan. Maka, politik dan etik seperti air dengan minyak.

Suatu usaha reformasi tanpa komitmen dan pengorbanan ibarat Alice in a Wonderland; seolah berlari kencang, namun sesungguhnya berjalan di tempat, bahkan mungkin bergerak mundur. Untuk itu, marilah kita injeksikan pesan moral Sumpah Pemuda dan Idul Kurban ke dalam kehidupan kita bersama.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement