REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Judul di atas saya baca di versi online Al Sharq Al Awsat, surat kabar Arab Saudi yang terbit dari London edisi 5 Oktober 2013. Membaca tulisan dengan judul asli Al Fuqara Walimatun Li-asmak Indonesiya tersebut perasaan saya bercampur aduk, antara kaget, sedih, terenyuh, dan juga penasaran. Pertanyaan iseng pun muncul, adakah ikan-ikan di Indonesia serakus itu? Lalu, mengapa harus orang miskin? Bukankah orang miskin kurus-kurus? Mengapa bukan orang kaya yang dagingnya barangkali lebih lezat karena bisa makan yang enak-enak dan secara rutin pula? Lalu, bagaimana ceritanya orang-orang miskin Arab bisa menjadi santapan lezat bagi ikan-ikan di Indonesia?
Ya, tulisan itu memang berkisah tentang nasib orang-orang miskin. Tepatnya, orang-orang miskin Arab penghuni kawasan Timur Tengah yang dikenal kaya raya. Mereka adalah korban perang saudara di Lebanon. Mereka kini menghuni kawasan miskin di selatan negara itu, antara Tripoli hingga perbatasan Suriah. Mereka adalah orang-orang miskin di Mesir yang putus asa melihat negaranya tak kunjung membaik. Kudeta militer dan rentatan perebutan kekuasaan telah menyebabkan ekonomi ambruk, angka pengangguran dan kemiskinan meningkat.
Mereka adalah orang-orang miskin Irak korban invasi AS dan sekutunya. Juga, korban konflik berkepanjangan antargolongan, suku, dan kelompok agama. Hampir tiap hari orang-orang miskin Irak itu kini dihantui serangan bom bunuh diri. Mereka adalah orang-orang miskin Suriah yang menjadi korban konflik rezim Presiden Bashar Assad dengan kelompokk oposisi. Mereka kini ada yang tinggal di tenda-tenda pengungsian di Lebanon, Turki, Yordania, Mesir, dan Irak. Mereka adalah orang-orang miskin Suriah yang kehabisan bahan makanan sehari-hari, hingga sejumlah ulama setempat menghalalkan makan daging kucing dan anjing. Mereka adalah orang-orang miskin di Yaman, Tunisia, Maroko, Aljazair, dan sejumlah negara Arab lain.
Pendek kata, mereka adalah orang-orang miskin yang tak mempunyai harapan hidup lebih baik di negaranya sendiri. Dan, ketika keputusasaan sudah mencapai tingkat akut, hijrah ke luar negeri, terutama negara-negara maju, adalah harapan. Harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, meskipun di negara orang dan apa pun risikonya.
Ironisnya, menurut Sawsan Al Abtah, kolumnis perempuan asal Lebanon yang menulis kolom dengan judul di atas, di tengah kesusahan orang-orang miskin Arab itu ada saja orang-orang atau kelompok yang ingin mengambil keuntungan. Mereka membentuk jaringan mafia yang menawarkan jasa bisa menghijrahkan (menyelundupkan) orang-orang miskin itu ke luar negeri. Dan, negara tujuan yang menjadi favorit adalah Australia. Tentu saja, dengan imbalan lembaran dolar yang tak sedikit.
Berbagai kasus buruk yang menimpa para imigran Timur Tengah yang kapalnya sering tenggelam di perairan Indonesia adalah salah satu dari “hasil karya” para mafia itu. Mafia ini mempunyai jaringan internasional, termasuk di Indonesia. Yang terakhir adalah kapal pengangkut imigran yang tenggelam di Perairan Cianjur, Jawa Barat, pada 27 September. Dari seluruh 80 penumpang imigran, yang dikabarkan selamat hanya 23 orang. Sisanya, meninggal dunia atau hilang.
Sawsan Al Abtah menggambarkan, para imigran yang meninggal di laut menjadi santapan lezat ikan-ikan Indonesia. Namun begitu, katanya, mungkin mereka lebih beruntung bisa segera mengakhiri segala kesengsaraan dan kesulitan hidup. Semoga Allah mengampuni segala dosa mereka (Allah yarhamhum). Sementara itu, mereka yang hidup masih harus menanggung derita berkepanjangan yang mungkin tidak lagi tertanggungkan. Mereka sudah tidak punya apa pun, termasuk identitas pribadi, kecuali badan dan napas nyawanya. Di Indonesia, mereka tidak dikehendaki. Di Australia yang menjadi negara tujuan pun ditolak. Di negara asal, mereka sering disebut sebagai pengkhianat.
Kasus tenggelamanya kapal imigran gelap di Cianjur tentu bukan yang pertama dan terakhir. Selama negara-negara Arab masih berkonflik dan berebut kekuasaan, gelombang imigran gelap dari Timur Tengah akan tetap berlangsung. Tapi, yang lebih ironis, lanjut Al Abtah, pemerintah negara asal imigran sepertinya tidak perduli kepada mereka. Para imigran itu tampaknya sudah dianggap bukan warganya. Mereka sudah seperti warga negara antah berantah.
Yang lebih menyedihkan, media di Arab pun kurang tertarik memberitakan tragedi kemanusiaan yang menimpa para imigran gelap ini. Kalaupun ada berita tentang mereka, itu hanya sesekali dan hanya sebagai berita pinggiran. Mereka tampaknya lebih suka memberitakan hal-hal yang “terang” yang bisa menjadi kebanggaan. Sedangkan, para imigran hanya dianggap menjadi sisi gelap bangsa.
Hal-hal yang terang itu, misalnya, memberitakan tentang Burj Khalifa, menara tertinggi di dunia yang pernah dibuat manusia. Menara yang juga berfungsi sebagai hotel itu berdiri kokoh di Dubai, Uni Emirat Arab. Atau, berita tentang klub sepak bola elite di Eropa, Manchester City dan Paris St-Germain (PSG), yang dimiliki dua warga Uni Emirat Arab. Manchester City dimiliki oleh Syekh Mansour bin Zayed Al Nahyan dan PSG dimodali oleh Syekh Nasser Al Khelaifi.
Atau, juga berita tentang Pangeran Al Walid bin Talal bin Abdul Aziz. Pengusaha yang juga keponakan Raja Abdullah bin Abdul Aziz ini pernah marah kepada majalah Forbes lantaran tidak dimasukkan sebagai 10 orang terkaya di dunia. Ia juga merencanakan membangun Menara Kingdom di Jeddah yang tingginya akan mengalahkan Menara Burj Khalifa. Atau, berita penyelenggaraan balapan Formula 1 yang diselenggarakan di Sirkuit Internasional Bahrain. Ataupun, berita soal kemegahan peringatan hari penobatan para raja penguasa negara-negara Arab.
Itulah sisi gelap dan sisi terang bangsa Arab. Sisi kemegahan dan sisi kesengsaraan. Kesengsaraan yang sering kali justru tercipta akibat perebutan kemegahan dan kekuasaan