REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha
Ruchir Sharma, seorang cendekiawan asal India. Ia menulis buku yang sangat menarik, Breakout Nations; In Pursuit of the Next Economic Miracles. Ia menganalisis negeri-negeri yang bisa menjulang dalam waktu dekat.
Sharma mengawali tulisannya dengan sebuah foto yang sangat puitis dan impresif. Keterangannya: Tak semua pohon bisa tumbuh melampaui awan. Itulah analogi tentang bangsa-bangsa yang berhasil melampaui bangsa-bangsa lainnya di dunia. Menurutnya, tak ada resep khusus untuk menjadi bangsa yang menjulang. Masing-masing punya cara tersendiri. Lalu dia mengakhiri tulisannya dengan foto orang-orang yang mendayung. Katanya: Jika tak ada angin, mendayunglah. Khusus untuk Indonesia, ia mengingatkan ancaman politik dinasti yang bisa menggagalkan laju Indonesia untuk menjadi bangsa yang menjulang. Padahal saat ini Indonesia sudah masuk sebagai negeri emerging markets. Tak banyak yang bisa seperti itu. Hanya ada 21 negara di dunia ini.
Tak ada resep yang sama untuk tiap masalah dan tiap negara. Masing-masing bisa mencari jalannya sendiri. Yang penting harus menyadari tentang tren global dan tentu saja kepentingan nasionalnya masing-masing. Yang lebih penting lagi, ia menginformasikan tentang masa depan bangsa-bangsa. Mau ke mana Indonesia?
Jika ukurannya adalah siapa yang akan memimpin kita mulai 2014 nanti, tampaknya kita sedang berada dalam kebingungan. Kita seperti belum menemukan figur yang pas dan tepat untuk memimpin negeri ini dalam arus pusaran yang seperti itu. Padahal pemilihan presiden tinggal tujuh bulan lagi. “Masih belum jelas.” Begitu rata-rata pendapat sejumlah ketua umum partai atau elite nasional tentang siapa presiden mendatang.
Sebetulnya kehendak rakyat sudah jelas. Rakyat ingin perubahan. Rakyat menginginkan pemimpin yang bekerja dengan hati, mudah ditebak apa maunya, pekerja keras, merakyat, tegas, dan nasionalistik. Tentu saja tidak korup dan tidak nepotis. Hal itu terlihat dari dukungan yang kuat pada figur Jokowi dan Prabowo. Jokowi mewakili chasing dan Prabowo mewakili jiwa. Makrokosmos dan mikrokosmos. Dunia wadag dan dunia konten. Namun rakyat belum sepenuhnya menjatuhkan pilihan pada keduanya. Masih ada kegamangan. Seolah rakyat masih menunggu hadirnya pemimpin yang bisa merangkum kombinasi Jokowi-Prabowo. Namun jika tak ada, rakyat akan memilih satu di antara keduanya, tergantung pada kombinasi yang ditawarkan.
Kehendak rakyat ini merupakan perlawanan rakyat terhadap situasi saat ini. Para elite saat ini lebih menawarkan kosmetik dan citra daripada kesejatian. Lebih menghadirkan demokrasi politik daripada kesejahteraan dan keadilan. Lebih menguatkan ekonomi makro daripada pemerataan. Lebih memperhatikan konglomerasi daripada ekonomi rakyat. Lebih menguatkan investasi asing daripada mengokohkan ekonomi nasional. Padahal ide-ide tentang kesejatian, kesejahteraan, keadilan, pemerataan, ekonomi rakyat, dan nasionalisme ekonomi tak akan pernah bisa punah. Karena semua ide itu sudah ditanamkan secara dalam oleh para founding fathers kita.
Dalam artikelnya di Fikiran Ra'jat pada 1932 dan di Pemandangan pada 1941, Bung Karno jelas-jelas membedakan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Tak cukup hanya memperjuangkan kebebasan dan persamaan dalam politik seperti terjadi dalam sejarah Eropa dan Amerika Utara. Tak cukup hanya ada nasionalisme politik tanpa ada nasionalisme ekonomi. “Demokrasi politik saja belum menyelamatkan rakyat,” kata Bung Karno. Katanya, “Untuk membuat sejahteranya rakyat jelata, demokrasi politik saja belumlah cukup. Masih perlu ditambah dengan demokrasi di lapangan lain...lapangan rezeki, lapangan ekonomi.” Bagi Bung Karno, yang dicari bukan cuma “keberesan politik dan keberesan negeri” tapi juga “keberesan ekonomi dan keberesan rezeki”.
Cita-cita kedaulatan ekonomi nasional juga menjadi pokok bahasan Bung Hatta. Beliau mencitakan sosialisme Indonesia dalam bentuk koperasi ekonomi. Baginya, kapitalisme nasional pasti kalah oleh kapitalisme asing. Ini karena kapitalisme asing akan lebih kuat. Pokok-pokok pikiran Bung Hatta kemudian menjiwai Pasal 33 UUD 1945. Namun semua cita-cita itu, termasuk pemikiran Bung Karno, diabaikan oleh elite kita di kemudian hari, bahkan dikhianati. Undang-undang tentang pertambangan, air, tanah, dan seterusnya sudah tak lagi mementingkan kepentingan nasional.
Kita teringat pada pidato Abraham Lincoln ketika dilantik menjadi presiden. Saat itu Amerika Serikat diambang perpecahan. Tujuh dari 34 negara bagian bersiap-siap membentuk negara konfederasi. Sejumlah negara lain juga bersiap-siap melakukan hal yang sama. Karena itu pidatonya menjadi semacam manifesto perang bagi siapapun yang melakukan itu. Walaupun secara konstitusi dimungkinkan lepasnya sejumlah negara bagian, namun Lincoln akan memeranginya. Baginya, perserikatan umurnya lebih tua dari konstitusi. Karena perserikatan lahir sebelum adanya kemerdekaan. Katanya, “Setiap negara bagian atau negara-negara bagian yang melawan wewenang Amerika Serikat, dalam hal ini merupakan suatu pemberontakan...ini bukan suatu ancaman, melainkan sekadar penegasan bahwa perserikatan kita akan membela dan mempertahankan dirinya sendiri secara konstitusional.”
Kita berharap pemilu 2014 melahirkan pemimpin yang mampu menangkap jiwa kemerdekaan Indonesia. Kita tak cukup hanya meraih kebebasan dan persamaan dalam politik tapi juga harus mewujudkan kedaulatan ekonomi. Ditolaknya Indonesia masuk ke dalam kelompok BRICS karena Indonesia tak memiliki sikap jelas dalam tata ekonomi global. Kita lebih puas menjadi satelit kapitalisme global daripada menentukan nasibnya sendiri.
Hasil polling menunjukkan, selain melahirkan dua figur termoncer Jokowi dan Prabowo, juga melahirkan figur-figur yang ditolak publik. Jika kita cermati, yang ditolak ini adalah yang tua dan yang memiliki gagasan usang, kaum pengekor kapitalisme asing. Kita ingin presiden mendatang bersikap seperti Lincoln, kembali ke akar kemerdekaan Indonesia. Hal itu hanya ada pada figur baru dan nasionalistik. Bukan figur itu-itu saja dan lampau.
Kita ingin menjadi bangsa yang menjulang seperti dinujumkan Sharma, memperjuangkan kedaulatan ekonomi seperti dicitakan Sukarno-Hatta, dan menjiwai konstitusi seperti Lincoln.