REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha
Dia menolak menyebutkan namanya. Kulitnya putih. Wajahnya bulat telur. Dagunya menggantung. Rambutnya terawat dan sehat terurai. Ia tinggi semampai. Namun ia selalu menangis. Juga selalu menolak untuk diwawancara. Rombongan wartawan yang datang di penampungan TKI di KBRI Kuala Lumpur tak berhasil mewawancarainya. Namun para TKI, semuanya wanita, di penampungan itu berbisik, wanita asal Sulawesi Utara itu korban perdagangan manusia. Ia paling rapi dan juga tak berbaur. Rata-rata para perempuan lain sama sekali tak menarik secara penampilan: pakaian, kulit, rambut, juga wajah. Satu di antaranya berasal dari Nusa Tenggara Barat. Ia buta huruf. Dan ia selalu menggendong bayi yang dia ayun-ayun dengan penuh kasih sayang. Ia mengaku korban pria Bangladesh.
Kita bisa memajang cerita duka para pahlawan devisa secara lebih panjang. Jumlah enam juta TKI di luar negeri merupakan angka besar untuk membangun cerita mengerikan. Perlakuan negara terhadap mereka mirip perlakuan penduduk desa dalam memelihara ayam kampung. Pagi membuka kandang, siang menggusah-gusah agar tak masuk rumah, sore menggebah-gebah agar kembali masuk kandang. Tak pernah memberi makan. Namun kita selalu mengambil telurnya untuk makan siang kita, menyembelihnya saat lebaran, atau menjualnya saat butuh uang. Itulah kita. Karena itu kisah Lisa Bonat, dan sekarang Wilfrida akan selalu hadir.
Jumlah devisa yang mereka sumbangkan secara resmi yang dicatat bank mencapai Rp 80 triliun per tahun. Namun Jumhur Hidayat, kepala BNP2TKI, memperkirakan angkanya bisa mencapai Rp 120 triliun. Ini bukan angka yang kecil. Tentu kita suka membandingkan dengan pendapatan ekspor kita. Nah, pendapatan dari TKI ini tanpa investasi sama sekali. Bahkan para agen di luar negeri harus membayar Rp 20 juta per TKI ke agen di Indonesia. Justru mereka yang memberi uang. Belum lagi dampak ganda para TKI ini. Per TKI bisa menghidupi empat orang, menyekolahkan anak-anaknya, membuka warung bagi keluarga yang ditinggalkannya, dan seterusnya. Tapi berapa yang diberikan negara untuk mereka? Jangan terkejut. Betul. N O L rupiah. Anggaran BNP2TKI per tahun hanya Rp 250 miliar. Semuanya habis untuk membayar gaji dan operasional. Tak ada dana untuk pelatihan dan semacamnya. Anggaran perlindungan hanya Rp 200 miliar yang ada di Kementerian Luar Negeri. Itu untuk seluruh dunia. Dana itu hanya semacam dana siaga jika ada kejadian luar biasa plus untuk gaji dan operasional.
Akibatnya, TKI kita tak cukup memiliki bekal keterampilan, bahasa, pengetahuan, kesadaran hukum, dan kepercayaan diri. Kita juga tak bisa melindungi dan memberikan rasa aman buat mereka. Kita melepas mereka di negeri orang seperti melepas ayam di hutan belantara. Sebagian bisa berevolusi menjadi ayam hutan. Bisa gesit, ramping, dan terbang secukupnya untuk menyelamatkan diri kala ada anjing atau macan yang meburunya. Namun sebagian lagi menjadi santapan lezat. Seperti kata pepatah Latin, manusia adalah serigala bagi yang lainnya. Sebagian TKI kita disiksa, diperkosa, menjadi budak, bahkan diperdagangkan dan dijadikan pelacur. Yang lebih ironis lagi, akibat tiadanya pemihakan negara terhadap mereka, sebagian di antara mereka sudah diperdagangkan sejak dari Indonesia. Nilai per kepala bisa di atas Rp 20 juta. Mereka inilah TKI tanpa dokumen alias ilegal. Perdagangan dan perbudakan manusia di zaman modern. Negara menyaksikan semua itu secara terang. Negara tahu dan paham. Tapi negara diam, dan aparatnya ikut menjadi bagian dari itu. Tak jauh beda dengan era perbudakan di masa kolonial Belanda. Saat itu manusia Indonesia diperdagangkan hingga ke Suriname.
Para wanita Indonesia itu, ketika berangkat ada yang sudah bersuami dan memiliki anak-anak. Ada juga yang masih gadis. Pernahkah kita membayangkan, bagaimana perasaannya ketika mereka pulang membawa anak? Anak hasil dari perkosaan dan pelacuran. Anak hasil tipu daya hidup di belantara asing. Mereka tak siap untuk menyodorkan realitas itu di kampungnya. Masyarakat desa yang hidup dalam sistem paguyuban tentu berbeda dengan masyarakat kota yang individualis. Maka rangkaian mengerikan itu merupakan peluang bagi manusia-manusia gila saat tiba di bandara. Para bandit perdagangan manusia sudah siap membeli anak-anak itu. Bersama seorang jenderal, Jumhur membentuk yayasan untuk menampung anak-anak itu. Jika TKI dalam kondisi hamil, yayasan siap menampung hingga melahirkan. Hingga kini sudah ada sekitar 50 anak. Namun sebagian di antara mereka terjebak pada perdagangan anak-anak tersebut. Para mafia memang gila. Ada di antara mereka yang datang ke yayasan dan menawarkan harga Rp 50 juta per anak.
Tentu banyak kisah TKI yang sukses, beruntung, dan hidup mulia. Kita kadang haru pada mereka jika bertemu di bandara di Hongkong, Singapura, atau Dubai. Para wanita yang dari kampung itu sering memamerkan keahliannya di hadapan kita dengan berbicara keras. Mereka ngobrol dengan bahasa Inggris, Arab, atau Mandarin. Mereka inilah ayam kampung yang berubah menjadi ayam hutan. Datang cuma bisa berbahasa Indonesia, kini mereka fasih berbahasa asing. Kisah para mantan TKI yang sukses berwiraswasta juga tak sedikit. Namun yang kita gugat bukanlah kemampuan dan daya juang mereka untuk mengubah nasib, tapi kita menggugat perlakuan negara terhadap mereka. Ini bukan hanya soal kemanusian, tapi harga diri bangsa. Tepat seperti kata Jumhur, secara ekonomi tak logis dan secara sosial tak berkemanusiaan. Itulah perlakuan kita terhadap TKI.