REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Sampai sekarang masih banyak salah persepsi terhadap Kartosuwiryo dan NII, yang sering dipandang sebagai gerakan separatis dan pemberontakan terhadap RI dengan ‘memanipulasi’ ajaran, simbol dan retorik Islam tertentu. Tetapi sebagai disimpulkan Chiara Formichi dalam Indonesia in the Making: Kartosuwiryo and Political Islam in the 20th Century Indonesia (2011), sikap dan kebijakan pemerintah Soekarno pada dasarnya ambigu terhadap gerakan NII. Sejak diproklamasikan Kartosuwiryo (1905-1962) 7 Agustus 1949, barulah pada 1953 pemerintah RI menyatakan NII/DI sebagai musuh negara. Selanjutnya, baru pada 1958-1959 TNI dikerahkan besar-besaran untuk menumpasnya.
Kenapa pemerintah RI relatif terlambat meresponi Kartosuwiryo dan NII/DI secara tegas dan desisif? Hal ini terkait banyak dengan situasi kondisi negara-bangsa Indonesia yang masih dalam pembentukan (nation making). Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, RI bahkan bergejolak dalam revolusi mempertahankan kemerdekaan dari kekuatan militer Belanda yang mati-matian berusaha menguasai kembali Indonesia.
Di tengah kekalutan eksistensial itu, para elit politik politik Indonesia juga berbeda sikap dalam menyikapi Belanda; di antara mereka yang cenderung kompromistis dengan menempuh jalur perjuangan diplomatik pada satu pihak dengan mereka yang memilih jalan zero-sum-game—‘permainan hidup mati’—pada pihak lain. Pihak terakhir ini, paling menonjol adalah Masyumi yang menyerukan jihad melawan Belanda. Dengan begitu, tulis Formichi, Masyumi mengislamisasi revolusi kemerdekaan, dan pada saat yang sama juga menyebarkan propaganda untuk pembentukan negara Islam di Indonesia.
Sikap Masyumi ini berbeda tajam dengan kelompok garis keras di lingkungan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang juga turut berjuang dalam revolusi kemerdekaan. PNI yang nyaris identik dengan golongan abangan dan sekuler menolak warna dan motif Islam tidak hanya dalam perjuangan mempertahankan tapi sebelumnya juga dalam perumusan dan kesepakatan mengenai bentuk, dasar dan Konstitusi Indonesia merdeka (UUD 1945).
Hasil kontestasi ideologis dan perbedaan sikap dalam menghadapi berbagai perkembangan baik internal elit politik Indonesia maupun eksternal melawan Belanda mengakibatkan gonjang ganjing politik RI. Sejak RI merdeka (Agustus 1945) kemudian atas kompromi dengan Belanda menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat, Desember 1949) dan akhirnya kembali menjadi NKRI (Agustus 1950) membuat jatuh bangunnya pemerintahan di bawah Perdana Menteri; kabinet hampir selalu silih berganti.
Di tengah gejolak politik yang tidak pernah stabil, momentum pertama bagi Kartosuwiryo sebagai ketua wilayah Masyumi Jawa Barat mencapai kecepatan penuh ketika Belanda melakukan agresi ke berbagai wilayah Jawa Barat pada Juli 1947. Ketika konfrontasi antara militer Belanda dengan pasukan Republik terjadi di berbagai front di Jawa Barat, Kartosuwiryo mengubah Masyumi di wilayah ini menjadi gerakan perlawanan yang bertujuan membentuk negara Islam.
Menurut Formichi, pada tahap inilah visi Kartosuwiryo tentang gerakan dan perjuangan melawan kolonialisme Belanda—dan Eropa umumnya—terkerangka dalam pemahaman bahwa hanya ‘dengan Allah dan untuk Allah’ saja Indonesia dapat mencapai pembebasan hakiki dari penindasan fisik dan ideologis Barat. Lebih jauh, kebebasan, kemerdekaan dan masa depan Indonesia sebagai negara-bangsa hanya dapat terjamin jika berdasarkan Islam dan syari’ah.
Dalam kerangka inilah pemikiran dan gerakan Kartosuwiryo termasuk ke dalam Islam politik (political Islam) yang menjadi gejala umum di berbagai kawasan Dunia Muslim. Sejak akhir abad 19 sebagian besar Dunia Muslim berada di bawah telapak kaki penjajah. Munculnya pemikiran dan gerakan pembaharuan Islam sejak dari modernisme sampai pan-Islamisme pada awal abad 20 dalam banyak segi juga menampilkan Islam politik yang bertujuan membebaskan kaum Muslimin dari opresi penjajahan Barat.
Meski Kartosuwiryo juga banyak dipengaruhi gagasan Islam politik yang bersifat trans-nasional, ia jelas bukan pendukung konsep khilafah. Dalam konsep ini, umat Islam seluruh dunia harus bersatu di bawah satu entitas politik tunggal. Sebaliknya, Kartosuwiryo menggagas NII yang mencakup hanya sebagian wilayah Dar al-Islam, yaitu Indonesia, atau bahkan lebih kecil lagi, Jawa Barat, meski kemudian ia berusaha meluaskan cakupan
NII ke daerah-daerah lain di Indonesia.
Visi dan gerakan Kartosuwiryo dengan NII/DI terbukti bertahan, terus berlanjut dewasa ini dan bisa diduga terus hidup di masa depan. Hal ini tidak lain, karena adanya kalangan kecil di antara kaum Muslimin Indonesia —dan juga di bagian Dunia Muslim lain—yang memandang kesatuan antara Islam dan negara (din wa dawlah). Konsekuensi logisnya adalah negara Islam—apakah dawlah Islamiyah atau lebih besar khilafah al-Islamiyah—yang sepenuhnya menjalankan kedaulatan Tuhan (hakimiyyah Allah)yang direalisasikan melalui syari’ah.
Masalahnya kemudian, kenapa gagasan, gerakan, perjuangan dan eksperimen pembentukan entitas politik seperti ini lazimnya gagal, seperti terlihat dari pengalaman Kartosuwiryo dan NII? Formichi tidak memberi jawaban atas pertanyaan ini. Untuk menjawabnya para pengkaji Islam politik perlu melihat corak dan tradisi Islam Indonesia yang khas dan distingtif — yang singkatnya tepat disebut sebagai ‘Islam washatiyyah’.