REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Pemilu lalu menjadi yang pertama bagi sulung kami. Ia termasuk kelompok yang beruntung karena begitu menerima KTP, langsung di tahun yang sama, bisa menggunakan hak pilihnya. Ada pertanyaan yang menggelitik ketika ia mulai memasuki area pemilihan.
"Bunda, aku harus pilih siapa?"
Sebuah pertanyaan yang sangat wajar buat pemilih pemula. Namun yang lebih menggelitik adalah justru saya-yang sudah berkali-kali memilih- sempat bingung, tidak tahu harus menjawab apa.
Saya teliti nama caleg satu per satu, nyaris tidak ada yang saya kenal. Hampir tidak ada calon yang secara menyolok terlihat memiliki kontribusi nyata dalam masyarakat. Setidaknya sebagai awam, saya sama sekali tidak tahu apa kontribusi sebagian besar mereka.
Lalu apa yang membuat para caleg itu sedemikian percaya diri untuk maju menjadi wakil rakyat meski mereka sendiri bukan figur yang terbukti berperan nyata dalam masyarakat?
Ah, tapi bagaimanapun saya tetap harus memilih.
Saya mencoba menelepon beberapa teman dan kerabat yang bisa dipercaya untuk memberi pertimbangan, dan bismilah saya memilih. Begitu juga si sulung. Memilih terbaik dari semua pilihan yang ada. Atau tepatnya dari pilihan seadanya.
Pertanyaan si sulung menguatkan pemikiran saya yang masih sering bertanya-tanya dalam hati, apakah sistem demokrasi yang kita terapkan saat ini telah benar. Bukan maksud saya untuk tidak mensyukuri PEMILU yang berlangsung damai dan tanpa kekerasan. Tapi tidak ada salahnya untuk terus melakukan evaluasi terkait berbagai hal, termasuk apakah sistem perpolitikan yang berlaku saat ini memang sudah yang terbaik.
Kenapa begitu banyak orang yang mempunyai kontribusi pada masyarakat malas masuk dunia politik, tapi sebaliknya orang yang tidak punya atau hanya sedikit berkontribusi justru luar biasa getol mencemplungkan diri di dunia politik.Begitu banyak sosok yang kiprah dan jejak prestasinya terekam jelas dalam pemberitaan dan media, dikenal luas masyarakat, tapi tidak masuk politik.
Sebaliknya yang sama sekali tidak dikenal, berani memasang poster wajahnya besar-besar di jalan-jalan strategis yang diganti secara periodik. Kadang pakai baju daerah, kadang mengenakan pakaian formal, bahkan ada yang memakai baju bola, sampai namanya terngiang-ngiang di kepala, walapun tetap tidak dikenal.
Bungsu kami, Adam malah sempat melemparkan komentar lucu tentang pemilu.
Setelah kami pulang dari tempat kotak suara, ia bertanya dengan antusias, "Ayah Bunda pilih ITU tidak?"
Yang disebut merupakan inisial nama kandidat yang poster dan namanya terpampang jelas di salah satu pertigaan strategis yang hampir setiap hari kami lewati. Kebetulan wajah sang kandidat mirip salah satu staf di kantor sehingga selalu jadi bahan ledekan. Tapi bagi Adam akhirnya nama ITU begitu akrab hingga mengira ayah bunda akan memilih caleg tersebut. Padahal modal sang kandidat yang terlihat ‘cuma’ poster dan sewa ruang iklan di tempat strategis. Aneh.
Saya percaya masih ada yang tidak tepat dan perlu dibenahi dalam penerapan demokrasi di Indonesia. Entah sistemnya. Entah politiknya. Demokrasi menurut saya telah tepat apabila figur-figur berkualitas maju menjadi kandidat dan rakyat mempunyai pilihan untuk memilih kandidat terbaik dari orang-orang hebat yang ada. Bukan terpaksa atau bahkan ‘dipaksa’ untuk memberi pilihan dari sekian banyak kandidat yang muncul tiba-tiba dan ada yang demi sekedar memenuhi kuota, atau karena punya uang.
Seorang teman memberi ide yang tidak biasa. "Bayangkan, dengan sistem sekarang, seorang tokoh nasional yang dikenal luas oleh seluruh bangsa Indonesia, belum tentu bisa terpilih!" katanya.
"Kok bisa?" tanya saya. "Ya, kalau dipilih secara nasional mungkin ada ratusan ribu pemilihnya. Tapi kalau untuk duduk di legislatif, dia harus dipilih di daerah tertentu yang mungkin di sana hanya sedikit orang yang mau memilihnya. Masalahnya para pemilih yang memercayai sang tokoh tersebar merata dan tidak terkonsentrasi di satu daerah. Dengan begitu bisa jadi dia dikalahkan satu orang top di wilayah tertentu yang secara nasional kontribusinya sebenarnya tidak ada apa-apanya. Padahal, ini untuk pemilihan DPR."
"Solusinya?" tanya saya makin penasaran.
"Ubah saja pemilihan anggota DPR tidak berdasarkan daerah tapi berdasarkan wilayah nasional jadi kita bisa pilih caleg dari wilayah manapun untuk DPR RI." jawabnya.
Bukan ide yang buruk, pikir saya. Lagi pula untuk mewakili daerah sudah ada DPD. Jadi DPR harusnya dipilih nasional bukan berdasarkan daerah lagi.
Menurut saya, harus ada pembenahan sistem pemilu sehingga memungkinkan sosok-sosok terbaik maju menjadi wakil rakyat. Semoga hal ini bisa menjadi pemikiran para pengurus bangsa dan PR kita lima tahun mendatang.