REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Sewot, mengutip situs Sinonimkata.com, berarti benci, sebal, berang, dongkol, geram, jengkel, dan seterusnya. Intinya, sewot adalah marah besar.
Ya, pada hari-hari ini sejumlah petinggi Israel sedang marah besar alias sewot. Gara-garanya, dua kelompok pergerakan Palestina, Fatah dan Hamas, pada 23 April lalu menandatangani kesepakatan untuk bersatu. Kesepakatan ini juga sekaligus menandai berakhirnya perseteruan yang telah berlangsung selama tujuh tahun antara dua organisasi perjuangan pembebasan Palestina itu.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, seperti dikutip media Al Sharq Al Awsat, langsung berang begitu mengetahui kesepakatan itu. Ia mengancam Presiden Palestina untuk memilih 'berdamai dengan Israel' atau 'bersatu dengan Hamas'. ''Dia (Presiden Mahmud Abbas—pen) mau berdamai dengan Israel atau dengan Hamas? Tidak mungkin ia memilih keduanya,'' katanya kepada wartawan. ''Saya berharap ia mau berdamai dengan Israel. Sayangnya ia tidak melakukannya.''
Menteri Luar Negeri Israel, Avigdor Lieberman, mengatakan penandatanganan kesepakatan antara Hamas dan Fatah untuk membentuk pemerintahan persatuan/teknokrat itu berarti pula mengakhiri proses perjanjian damai dengan Israel. Sedangkan menteri ekonomi yang juga ketua partai The Jewish Home, Naftali Bennett, menyebut pemerintahan persatuan yang akan dibentuk Hamas dengan Fatah adalah pemerintahan teroris.
Sikap dan pernyataan para petinggi kaum Zeonis itu tentu tidak ada yang aneh. Mereka adalah kaum penjajah. Devide et impera adalah polanya. Memecah belah musuh dan kemudian menguasainya. Mereka akan terus mencegah Fatah dan Hamas, dua kelompok besar yang selama ini mendominasi kekuasaan di Palestina, untuk bersatu menjadi sebuah kekuatan besar. Mereka tidak mau melihat Palestina menjadi kuat sebagai sebuah bangsa.
Pada awalnya, Israel mengizinkan berdirinya Hamas pada 1978 di wilayah Palestina yang didudukinya. Hamas sendiri merupakan akronim dari Al Harakat Al Muqawwamah Al Islamiyah atau Gerakan Pertahanan Islam. Namun, pemberian izin itu bukan tanpa maksud. Tujuan sebenarnya adalah memanfaatkan Hamas untuk menyaingi kepopuleran Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin Yasir Arafat.
Sebaliknya, bagi para pendiri Hamas, pembentukan organisasi berhaluan Islam dan bereferensi ke Ikhwanul Muslimin di Mesir ini sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap organisasi-organisasi perlawanan Palestina yang lebih dulu ada. Fatah misalnya, mereka anggap terlalu lembek dan kompromistis terhadap Israel.
Pada 1987, Hamas yang semula sebagai organisasi sosial dan pendidikan berubah menjadi partai politik. Bahkan mereka juga mempunyai sayap militer, yang kemudian ikut melahirkan gerakan Intifada. Yakni perang gerilya yang melibatkan seluruh rakyat Palestina. Intifada yang berlangsung antara 1987-1993 ternyata efektif dan membuat Zeonis Israel kalang-kabut. Apalagi ketika sayap militer Hamas beroperasi secara terbuka, dengan meluncurkan serangan balasan, termasuk bom bunuh diri (bom syahid versi Palestina) terhadap Israel.
Intifada ini telah memaksa PM Israel Yitzhak Rabin duduk semeja dengan pemimpin PLO Yasir Arafat yang kemudian melahirkan Deklarasi Oslo pada Agustus 1993. Dalam deklarasi ini dinyatakan, Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan mempersilakan Yasir Arafat membentuk lembaga seniotonomi yang memerintah kedua wilayah Palestina tersebut.Yasir Arafat juga harus mengakui hak Negara Israel untuk eksis secara aman dan damai.
Namun, deklarasi ini ditolak Hamas. Mereka terus melakukan serangan ke sejumlah sasaran di Israel. Serangan ini kemudian dibalas Israel dengan melancarkan operasi pembunuhan terhadap tokoh-tokoh dan pendiri Hamas, termasuk Sheikh Ahmad Yasin dan Sheikh Abdul Aziz Rantisi.
Pada 2006, Hamas melangkah ke arena politik formal dan secara mengejutkan memenangkan pemilu parlemen Palestina. Mereka mengalahkan Fatah, partai berkuasa yang dipimpin Yasir Arafat. Hamas pun kemudian membentuk kabinet. Namun, atas desakan Israel dan AS, Fatah tidak mengakui pemerintahan Hamas.
Pada Februari 2007, Hamas dan Fatah terlibat konflik bersenjata. Hamas kemudian menarik diri ke basisnya di Jalur Gaza. Sejak itu secara de vacto Otoritas Palestina yang didominasi oleh Fatah hanya berkuasa di Tepi Barat, sedangkan Hamas menjalankan pemerintahan di Jalur Gaza. Masing-masing dengan kabinetnya sendiri.
Setelah tujuh tahun berseteru, kini Hamas dan Fatah bersepakat untuk bersatu. Fatah ddidera kecewa berat oleh Israel yang terus mengingkari janji, sementara AS tidak bisa berbuat apa-apa untuk memaksa kebandelan PM Netanyahu. Sembilan bulan tenggat waktu perjanjian damai yang difasilitasi AS -- lewat menteri luar negeri John Kerry -- tidak membuahkan hasil. Israel terus membangun pemukiman Yahudi di wilayah Palestina, tidak membebaskan tahanan politik Palestina, dan tidak menyepakati batas dua negara sebelum Perang 1967. Ketiga hal ini merupakan syarat mutlak bagi Palestina untuk perjanjian damai dengan Israel.
Sedangkan Hamas semakin teresolasi sejak kekuasaan Presiden Mesir Muhammad Mursi dan Ikhwanul Muslimin digulingkan oleh militer. Sejak mengambil-alih kekuasaan, pemerintahan baru Mesir langsung menutup perbatasannya dengan Palestina di Rafah. Selama ini Rafah merupakan perlintasan satu-satunya Jalur Gaza ke dunia luar. Perlintasan lain – baik darat, laut, maupun udara – telah diblokade oleh Israel.
Kesepakatan Hamas dan Fatah diharapkan tidak didasarkan oleh kondisi 'terjepit' masing-masing dua kelompok ini. Namun, lebih dilandasi untuk kepentingan seluruh bangsa Palestina bagi meraih kemerdekaan yang telah direnggut Zeonis Israel.
Dalam kesepakatan yang ditandatangai di Gaza pada 23 April lalu itu, masing-masing wakil Hamas dan Fatah telah menyetujui untuk membentuk satu pemerintahan yang anggota kabinetnya terdiri dari para teknokrat dalam lima pekan. Tugas utamanya menyiapkan pemilihan umum anggota parlemen dan presiden dalam jangka waktu minimal enam bulan dan menyelesaikan segala persoalan yang menyangkut kebebasan warga, keamanan, gaji pegawai negeri, tahanan politik, dan lainnya.
Adanya kesepakatan ini tentu tanda baik buat perjuangan bangsa Palestina. Namun, tantangannya juga besar. Zeonis Israel dengan berbagai cara seperti selama ini akan terus berusaha untuk melemahkan mereka. Kuncinya adalah pada bangsa Palestina sendiri dan dukungan bangsa-bangsa dan negara sahabat.