Senin 09 Jun 2014 06:00 WIB

Khatib Jumat di Mesir Harus Lulusan Al Azhar

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Siapa saja yang bukan lulusan dari lembaga-lembaga pendidikan Al Azhar jangan harap bisa menjadi khatib Jumat di seluruh masjid di Mesir. Juga jangan berharap bisa menjadi ustad, dai, kiai, dan ulama. Atau mereka yang mengajarkan agama di lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan di negeri berjuluk 'Negeri Seribu Menara' tersebut. Sedangkan materi khutbah akan dipersiapkan oleh kementerian wakaf sebulan sebelumnya.

Larangan mengajarkan agama bagi yang bukan alumnus Al Azhar ini tercantum dalam undang-undang negara yang disahkan pada 5 Juni lalu, tiga hari menjelang kekuasaan presiden sementara Mesir, Adli Mansur, berakhir. Kemarin presiden baru Mesir, Jenderal Abdul Fatah Sisi, dilantik untuk menggantikan Mansur.

Dalam undang-undang baru itu, menurut juru bicara kepresidenan Ihab Badawy, sebagaimana dikutip media Al Sharq Al Awsat (7 Juni 2014),  'tidak diperbolehkan bagi mereka yang bukan profesional di bidangnya di kementerian wakaf dan dakwah di Al Azhar, untuk berkhutbah dan memberikan pelajaran agama di masjid-masjid dan tempat-tempat lain yang menjadi fasilitas masjid. Selain itu, mereka juga harus mendapatkan rekomendasi dari Sheikh Al Azhar atau Menteri Wakaf Mesir'.

Badawy menambahkan bahwa 'tidak diperbolehkan bagi mereka yang bukan alumni Al Azhar, karyawan di bidang dakwah dan agama serta mahasiswa atau siswa di lingkungan Al Azhar, karyawan bidang dakwah di kementerian wakaf, karyawan di Darul Ifta di bidang dakwah, dan mereka yang mendapatkan rekomendasi untuk berkhutbah dari kementerian wakaf, untuk berpakaian ala busana Al Azhar.

Busana ala Al Azhar dan ciri-cirinya ditentukan oleh Sheikh Al Azhar berdasarkan pengajuan dari kementerian wakaf. Selama ini busana khas Al Azhar terdiri dari jubah gelap dan peci putih dengan bagian atas berwarna merah.

Berdasarkan undang-undang yang diajukan kementerian wakaf itu, lanjut Badawy, bagi siapa saja yang menyampaikan khutbah dan memberikan pelajaran agama di masjid-masjid dan lingkungannya tanpa mengantongi rekomendasi akan dikenakan sanksi penjara minimal tiga bulan dan maksimal setahun. Para pelanggar juga dikenai denda minimal 20 ribu pound (mata uang Mesir) dan maksimal 50 ribu pound.

Sedangkan bagi para pelanggar busana khas Al Azhar atau menghina 'pakaian kebesaran' tersebut akan dikenakan sanksi pidana minimal sebulan dan maksimal setahun serta dikenai denda minimal 10 ribu pound dan maksimal 30 ribu pound. Pelanggaran itu, misalnya, dengan berpakaian khas ala Al Azhar bagi mereka yang tidak berhak mengenakannya sebagaimana dijelaskan di atas.

Pengesahan undang-undang baru yang mengatur khutbah Jumat dan pengajaran agama di masjid-masjid ini jelas merupakan 'serangan mematikan' atau 'skak mat' bagi Islam politik di Mesir. Islam politik yang selama ini diwakili oleh Ikhwanul Muslimin.

Menjelang kejatuhan rezim Presiden Husni Mubarak, masjid memang menjadi salah satu tempat favorit bagi para kaum oposisi untuk memberi pencerahan kepada masyarakat. Istilah kerennya, untuk memberi pelajaran politik. Bisa tentang demokrasi, strategi perjuangan atau tentang kezaliman rezim Mubarak. Khatib-khatib Jumat yang kurang 'membakar' menjadi tidak laku. Bahkan demo-demo untuk melawan kekuasaan Mubarak seringkali dimulai dari masjid.

Puncaknya terjadi ketika kemudian Ikhwanul Muslimin memenangkan pemilu dan kemudian berkuasa dengan presidennya Muhammad Mursi. Masjid-masjid besar di Mesir menjadi mimbar bagi Ikhwanul Muslimin untuk memberi pelajaran politik kepada masyarakat. Pelajaran politik yang tentu saja versi Ikhwanul Muslimin. Akibatnya selama setahun Ikhwanul Muslimin berkuasa, pengaruh Al Azhar yang mewakili Islam kultural menjadi terpinggirkan.

Padahal selama puluhan tahun Al Azhar mendominasi hampir seluruh kehidupan keagamaan di Mesir. Lembaga-lemabaga Al Azhar -- baik keagamaan, sosial maupun pendidikan – tersebar di hampir seluruh wilayah di Mesir. Sikap Al Azhar yang moderat, teleran, dan cenderung kompromistis bisa diterima oleh para penguasa Mesir silih berganti. Dan, di sinilah sebenarnya kekuatan Islam kultural yang dimainkan oleh Al Azhar. Dalam arti Al Azhar tidak berpolitik praktis namun perannya mewarnai kehidupan keberagamaan masyarakat Mesir.

Karena itu bisa dipahami ketika kemudian Al Azhar mendukung militer untuk mengambil-alih kekuasaan dari tangan Presiden Mursi. Pengambil-alihan kekuasaan yang didahului demonstrasi besar-besaran antara dua kelompok pendukung Mursi (Ikhwanul Muslimin) dan para penentangnya.

Apalagi ketika setahun Mursi berkuasa, Ikhwanul Muslimin mendominasi hampir seluruh kehidupan masyarakat Mesir (Akhunatu Misro). Termasuk peran keagamaan yang selama bertahun-tahun merupakan domain Al Azhar. Bahkan Ikhwanul Muslimin juga telah beberapa kali mencoba mengintervensi rumah tangga Al Azhar yang selama ini mempunyai sumber pendanaan yang mandiri.

Dukungan Al Azhar kepada pemerintahan baru yang dibentuk militer ternyata membuahkan hasil. Apalagi setelah pemerintahan presiden sementara Mesir, Adli Mansur, membubarkan Ikhwanul Muslimin. Bukan hanya membubarkan. Ikhwanul Muslimin juga dianggap sebagai organisasi terlarang alias organisasi teroris. Masjid-masjid dan mimbar khutbah Jumat yang tadinya didominasi oleh Ikhwanul Muslimin pun dikembalikan kepada Al Azhar, dengan perangkat undang-undang yang mengikat. Termasuk undang-undang yang mengatur khatib Jumat dan pendidikan agama di seluruh negeri.

Dalam bahasa Syarif Syauqi, penasihat komonikasi perdana menteri Mesir, undang-undang yang mengatur khatib Jumat dan pendidikan agama itu untuk mencegah agar masjid tidak digunakan untuk mimbar politik. Sedangkan menurut Al Azhar, undang-undang itu merupakan kemenangan bagi kelompok Islam moderat dan toleran.

Membaca rentetan peritiwa di Mesir, tampaknya peran Islam politik yang dimainkan oleh Ikhwanul Muslimin akan semakin redup. Al Rabi' Al Araby alias revolusi rakyat hanya memberi kesempatan Islam politik seumur jagung. Selebihnya, Mesir akan kembali kepada Islam kultural yang diwakili oleh Al Azhar. Apalagi 'otak' di segala peristiwa itu, Jenderal Abdul Fatah Sisi, telah memenangkan pemilu dan kemarin dilantik sebagai Presiden Mesir.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement