Jumat 27 Jun 2014 06:00 WIB

Umat di Lidah Ombak

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Jokowi itu non-Muslim. Pendukung Jokowi agar mengawasi khutbah Jumat. Kolom agama akan dihapus dari KTP jika Jokowi menang. Ibu dan adik-adik Prabowo itu non-Muslim.

Itulah wacana yang sempat terlontar. Ada yang fitnah, ada yang negative campaign. Ada yang dikeluarkan oleh pihak lawan, ada yang dikeluarkan pihak sendiri. Yang fitnah adalah soal Jokowi non-Muslim.

Jokowi adalah seorang Muslim. Dia sudah berhaji, ayah-ibunya juga sudah berhaji. Yang dikeluarkan pihak sendiri adalah soal mengawasi khutbah Jumat dan soal penghapusan kolom agama. Dua hal ini kemudian dibantah oleh Jokowi maupun Jusuf Kalla sendiri. Keluarga Prabowo memang semuanya non-Muslim, kecuali Prabowo dan ayahnya.

Semua tema itu diangkat untuk menjatuhkan lawan maupun untuk menaikkan dukungan. Namun, poin sesungguhnya adalah untuk meraih simpati pemilih Muslim ataupun untuk memojokkan Islam. Ujungnya adalah Islam dan umat Islam sebagai objek politik, bukan sebagai subjek politik dan bukan sebagai nilai-nilai politik yang harus dimuliakan.

Islam menjadi komoditas oleh pihak yang pro-Islam maupun oleh pihak yang Islamophobia. Situasi ini tentu saja sangat memprihatikankan. Puncak dari kepedihan itu adalah apa yang diunggah Wimar Witoelar di Facebook maupun Twitter.

Wimar mengunggah gambar. Di baris depan adalah foto-foto pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Mereka didampingi ketua umum-ketua umum partai pengusung mereka. Ada pula foto KH Abdullah Gymnastiar dan Ust Abubakar Ba'asyir.

Di bagian bawah ada logo-logo partai pengusung capres-cawapres. Juga ada logo Muhammadiyah, MUI, dan Hizbut Tahrir. Di bagian atas ada foto-foto yang lebih besar ukurannya. Mereka adalah para teroris yang sudah dihukum mati maupun yang sedang mendekam di penjara, yaitu Amrozi dan kawan-kawan. Lalu ada tulisan Gallery of Rogues dan Bad Guys (galeri para bangsat dan para bandit).

Ada sejumlah catatan dari postingan Wimar ini. Pertama, kita belum pernah mendengar Aa Gym dan Ba'asyir menjadi pendukung pasangan Prabowo-Hatta. Kedua, Muhammadiyah, MUI, dan Hizbut Tahrir secara resmi bersikap netral dalam politik.

Ketiga, semua pihak yang ada dalam gambar itu bagian dari terorisme. Keempat, label bangsat dan bandit untuk semua yang tercantum di situ. Kelima, Wimar hanya meminta maaf pada Muhammadiyah.

Dari semua hal itu, kita layak mencatat beberapa poin. Pertama, ada Islamophobia. Kedua, ada kecurigaan terhadap Islam dan umat Islam. Ketiga, ada upaya adu domba.

Keempat, ada upaya menjadikan Islam dan umat Islam sebagai target politik. Kelima, ada upaya menjadikan Islam dan umat Islam sebagai bukan bagian dari bangsa. Keenam, tidak ada kewibawaan pada simbol-simbol Islam.

Tulisan ini tak hendak membahas dari sisi dukung mendukung capres-cawapres atau memetakan situasi politik. Tulisan ini semata-mata untuk introspeksi bagi umat Islam Indonesia. Kita tidak bisa melihat semua itu hanya sebagai residu politik. Kita harus mengakui ada masalah besar yang sedang dihadapi umat Islam Indonesia saat ini. Kita tidak bisa berbangga diri dengan daya lentur umat Islam Indonesia ataupun puja-puji lainnya.

WF Wertheim, Indonesianis asal Belanda, misalnya, pernah mencatat: “Apa pun politik terhadap Islam yang akan dilancarkan oleh kekuasaan non-Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar dari kekuasaan tersebut ... Bulan Sabit terlalu besar untuk menjadi satelit ....”

Pujian Wertheim ini cukuplah menjadi bekal kita untuk punya daya tahan. Namun, itu tidak bisa untuk menjadi kebanggaan. Karena Islam tidak diturunkan untuk itu. Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, untuk memajukan peradaban dan kemanusiaan.

Semua itu tak berarti jika umatnya adalah orang-orang kerdil yang tak bisa menyangga amanah risalah itu. Bukti paling konkret adalah pada pilpres kali ini. Umat Islam hanya menjadi objek dan komoditas. Menjadi buih yang dibahana ombak, bahkan ada di lidah ombak. Terempas duluan dan terbanting-banting.

Tidak ada capres yang mewakili santri. Tidak ada partai Islam atau berbasis massa Islam yang meraih suara besar. Tidak ada ulama yang disegani bangsa dan mewakili umat.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Pertama, tidak ada kepemimpinan dan keteladanan dari para pemimpin umat. Kedua, keagungan ajaran Islam tentang kesederhanaan, kejujuran, keadilan tidak menjadi penjuru hidup. Ketiga, tidak ada persatuan Islam.

Keempat, tidak ada kepercayaan diri dan keteguhan terhadap nilai-nilai Islam. Kelima, kegagalan mengintegrasikan doktrin, ajaran, dan nilai-nilai Islam di segala bidang kehidupan. Keenam, kegagalan menunjukkan nilai-nilai Islam sebagai basis bersama dalam berbangsa dan bernegara.

Apa yang terjadi pada masa kampanye pilpres kali ini harus menjadi titik pijak bersama umat Islam Indonesia. Tak ada pilihan lain kecuali bersatu, saling menopang, menjadi teladan, dan kembali ke nilai-nilai dasar ajaran Islam tentang kejujuran, kesederhanaan, welas asih, serta keadilan. Para ulama dan pemimpin umat harus turun ke masyarakat, menyatu. Ulama, ustazd, dai, dan tokoh bukanlah kasta.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement