Sabtu 19 Jul 2014 06:00 WIB

Saya Juga Rakyat!

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Kami memanggilnya Pak Bandi. Tubuhnya kurus, kulitnya gelap. Siapa pun melihat jelas rekam perjuangan hidup ayah dari dua anak itu sebagai rakyat biasa.

Lelaki berusia 44 tahun yang berasal dari Ciamis ini bekerja sebagai sopir. Rasanya semua jenis kendaraan dikendarainya, mulai motor, angkot, dan bus. Situasi ekonomi membuatnya harus bekerja di Jakarta.

Setiap hari sebagai sopir pribadi, ia bekerja tanpa mengenal Sabtu-Ahad dan hanya sebulan sekali pulang ke Ciamis untuk berkumpul bersama keluarga selama dua-tiga hari. Pada waktu santai, obrolan sehari-harinya berkisar tentang anak-anak yang membuatnya rindu atau soal istri yang pengertian dan tidak pernah mengeluh.

Di luar itu, dunia lain yang menarik minatnya hanya bola. Pak Bandi antusias jika ada jadwal pertandingan futsal, sementara Piala Dunia menjadi sesuatu yang dinanti setiap empat tahun sekali. Jika sudah begitu, sorot matanya tampak cerah, khususnya setiap membicarakan kesebelasan Brasil yang menjadi tim favoritnya.

Sebagaimana kebanyakan sopir pribadi, sebagian besar tugasnya adalah menunggu. Di sela-sela waktu kosong, Pak Bandi tidak pernah lepas dari tab buatan Cina yang menemaninya berseluncur di dunia maya.

Tapi kali ini Bandi gundah. Berawal informasi dari teman-teman, ia membaca berita terkait manuver public figure yang mengaku rakyat dan yang berbondong-bondong menulis surat. Dengan nada halus sampai terang-terangan meminta calon presiden yang tak mereka dukung agar mundur dengan legawa. Seolah hasil KPU tak perlu digubris dan cukup mengacu pada banyak lembaga survei yang validitasnya masih diperdebatkan.

“Dengan kebijaksanaan yang kalian berdua miliki, alangkah indahnya jika kami rakyat Indonesia dapat mendengar langsung kalian berdua sebagai negarawan untuk legawa menerima saingan bapak yang memenangkan pencapresan ini.”

“Karena perasaan yang sama itulah di surat ini saya hanya ingin mengajak Bapak untuk menerima kekalahan. Jenderal seorang prajurit bukan? Kalau Jenderal mau berpikir jernih, ini saatnya Jenderal berhenti.”

“Kalau ternyata niat Bapak untuk berbakti kepada rakyat masih agak aneh menurut saya. Karena rakyat sudah memilih. Paling tidak, kurang lebih 54 persen rakyat memilih bahwa mereka ingin rival Bapak yang berbakti.”

Wajah Pak Bandi tampak merah. Empat tahun mengenalnya, baru kali ini saya menemukan nada emosi pada suara lelaki itu saat mengomentari isi surat-surat tersebut.

“Saya nggak masalah kalau dia kalah tanggal 22 Juli, Bu. Tapi, kalau sampai beliau mundur sebelum pengumuman resmi, saya marah. Sangat kecewa.“

"Kenapa, Pak?" kejar saya penasaran. "Buat nyoblos, saya terpaksa meminjam uang Rp 250 ribu, cuma pulang sehari khusus untuk mendukung beliau. Itu uang banyak buat saya," jawabnya. "Selain itu, saya nggak sempat nonton Brasil lawan Jerman karena masih ada di bus malam."

Ya, demi pemilu, Bandi rela kehilangan momen bersejarah yang ditunggunya empat tahun sekali hanya untuk mencoblos kandidat yang dia pilih. Pertandingan dengan skor 7-1 yang dilewatkan merupakan momen yang bersejarah baginya.

Dengan pengorbanan sebesar itu, ia sama sekali tidak rela jika kandidat pilihannya, capres yang membuatnya rela berkorban, mundur. Bandi justru mepertanyakan mereka yang mengirim surat mengklaim diri mereka seolah sebagai perwakilan rakyat.

“Bukannya … saya juga rakyat?” suaranya kecewa. Bandi tak sendiri. Saya mengenal banyak Bandi yang lain.

Ada Tri yang pulang kampung ke Tegal hanya untuk mencoblos dan kembali lagi ke Jakarta meski tak lama kemudian ia harus kembali pulang kampung untuk berlebaran. Tri juga menghabiskan uang yang tidak sedikit demi kandidat yang kebetulan pilihannya sama dengan Bandi.

Sulit bagi saya untuk memahami bagaimana para tokoh yang dikenal masyarakat, berpendidikan, melakukan langkah yang mengabaikan suara lain yang berbeda. Apakah karena pilihan berbeda maka mereka tidak lagi menjadi suara rakyat?

"Saya juga rakyat!" kembali saya teringat ucapan Bandi. Terlepas apa pun pilihan kita, setiap suara adalah suara rakyat. Perbedaan bukan alasan untuk terjadinya perpecahan.

Semakin mendekati tanggal 22 Juli, seharusnya semua tokoh dan banyak pihak yang mencintai Tanah Air berkumpul dan menyatukan suara: siapa pun yang terpilih kelak merupakan keputusan rakyat. Siapa pun pemenangnya, tidak masalah, yang penting damai!

Sebab Tanah Air tak perlu lebih banyak luka, dari yang telah tergores di masa lalu.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement