Kamis 21 Aug 2014 06:00 WIB

Waspada Transnasionalisme

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Waspada transnasionalisme politiko-religius. Berbicara pada sejumlah seminar atau forum publik dan saluran televisi tentang bahaya ISIS dan juga masa depan Indonesia setelah 69 tahun kemerdekaan, penulis Resonansi ini memandang pentingnya peningkatan kewaspadaan terhadap transnasionalisme politik-agama di Tanah Air.

Transnasionalisme ISIS bukan hanya berbahaya dalam hal pandangan keagamaannya, sekaligus juga dalam praksisnya yang penuh kekerasan dan brutalisme yang menyimpang jauh dari ajaran Islam yang menekankan rahmat bagi semesta alam.

Transnasionalisme politik yang berbaur dengan agama jelas merupakan salah satu fenomena yang terus meningkat pada masa globalisasi. Hal ini sangat dimungkinkan komunikasi instan, baik melalui internet maupun televisi, sehingga gagasan dan praksis transnasionalisme segera menyebar ke seluruh pelosok dunia. Dengan watak melintasi batas-batas negara, wacana dan gerakan transnasional politik-agama tidak hanya mengacaukan kehidupan agama dan mengubah lanskap sosio-religius, tapi sekaligus mengancam eksistensi negara-bangsa.

Kemunculan gagasan dan transnasionalisme tidak unik di kalangan kaum Muslimin —meski mereka ini jelas berada di luar arus utama umat Islam secara keseluruhan. Di kalangan agama lain, Kristiani khususnya, yang bersama Islam merupakan agama yang perlu disampaikan kepada umat manusia (agama dakwah atau misionari), juga terdapat pemahaman dan praksis transnasionalisme.

Sama dengan sebagian gerakan transnasionalisme Islam yang memahami Alquran dan sejarah secara harfiah, juga terdapat denominasi Kristiani —khususnya di kalangan gereja Protestan Amerika Serikat yang berpegang ketat pada penafsiran literal atas Alkitab. Selain itu, denominasi Protestan Amerika ini sangat menekankan pada apa yang mereka sebut sebagai doktrin dan praktik agama yang murni. Karena itu, mereka cenderung menolak pemahaman dan praktik gereja mapan, yang dalam batas tertentu telah mengakomodasi budaya lokal.

Pemahaman semacam itu yang mulai bangkit sejak dasawarsa kedua abad ke-20 memunculkan pemahaman dan gerakan fundamentalisme Kristen. Denominasi fundementalisme Kristen bertahan di tengah sekularisme politik Amerika, dan bahkan mengalami kebangkitan sejak 1980-an. Ini ditandai dengan kian banyaknya kalangan ‘Young, Urban and Professional’ (Yuppies) yang menyatakan diri sebagai ‘born again Christians’ (lahir kembali sebagai orang Kristen).

Denominasi dan gereja fundamentalis Amerika bergerak agresif merekrut penganut aliran Kristiani dan agama lain. Di Indonesia mereka umumnya tidak mau bergabung dengan Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) yang merupakan arus utama Kristen Protestan. Karena itu, jika muncul ekses dari agresivisme mereka dalam masyarakat Indonesia umumnya, pimpinan PGI menghadapi kesulitan untuk ‘menertibkan’ mereka.

Dengan agresivitasnya, denominasi Protestan fundamentalis Amerika berhasil mengubah lanskap keagamaan di Amerika Latin dan Amerika —menambah jumlah penganutnya secara signifikan. Belum begitu jelas seberapa banyak kalangan denominasi Kristiani lain (Katolik dan arus utama Kristen Protestan) Indonesia yang berpindah ke denominasi fundamentalisme Amerika. Tetapi, terdapat kegelisahan di kalangan kepemimpinan gereja arus utama pada penyusutan jumlah ‘gembalaan’ mereka, yang berpengaruh pada demografi dan lanskap keagamaan di Indonesia.

Penting dicatat, transnasionalisme gereja fundamentalisme Amerika lahir bukan dalam situasi politik yang kacau, anarkistis, dan perang. Sebaliknya, lahir dalam kondisi politik Amerika stabil, yang hanya ‘bergejolak’ dalam masa pemilu presiden ketika isu ‘pro-life’ (menolak aborsi) yang didukung kaum fundamentalis pada satu pihak berhadapan dengan warga yang ‘pro-choice’ yang menjadikan soal aborsi sebagai pilihan bebas —apakah mau melakukannya atau tidak melakukannya.

Dalam konteks Indonesia, agresivisme gereja fundamentalis Amerika agaknya tidak mengandung reperkusi dan dampak politik signifikan terhadap Indonesia. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa mereka masih merupakan kelompok kecil di tengah umat Kristiani Indonesia mainstream.

Sebaliknya, kelompok transnasionalisme semacam ISIS (IS) lahir dari kekacauan politik di dunia Arab, khususnya Suriah dan Irak. Karena itu, wacana dan praksis ISIS sangat kental bersifat politis; mendirikan apa yang mereka sebut sebagai ‘khilafah’ atau disamarkan dengan ‘daulah Islamiyah’. Memanfaatkan sektarianisme Suni-Syiah, ISIS melakukan kekerasan dan brutalisme dengan membunuh siapa saja yang mereka temui, apakah Suni yang menolak mereka, Syiah, Yazidi, maupun Kristen.

Alhamdulillah kaum Muslimin Indonesia arus utama sejak dari ormas seperti MUI, Muhammadiyah, NU, al-Khairat, dan banyak lagi di seluruh Tanah Air sampai umat di tingkat akar rumput secara tegas menolak ISIS. Semua penolakan itu berdasarkan hujjah keislaman dan keindonesiaan.

Spanduk-spanduk yang menyatakan ‘tidak ada tempat bagi ISIS’ di lingkungan masing-masing bertebaran di mana-mana. Kewaspadaan seperti inilah yang perlu dipertahankan hari ini dan ke depan demi kemajuan Islam washatiyyah yang distingtif Indonesia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement