REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:Ahmad Syafii Maarif
Karena praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) masih sangat menggurita di Indonesia, dari akar sampai ke pucuk, sebagian pengamat berkesimpulan bahwa Gerakan Reformasi telah gagal dan mati suri. Artinya kultur politik busuk era sebelumnya tidak semakin melemah, tetapi bahkan menampakkan tanda-tanda semakin agresif dan menguat. Pendapat ini tidak seluruhnya salah karena fakta memang berkata demikian.
Tetapi untuk menilai Gerakan Reformasi tidak punya sisi-sisi positif yang perlu diangkat dan diperkuat, adalah pandangan yang tergesa-gesa, tidak melihatnya secara holistik. Dalam setiap gerakan perubahan sosial pasti mengandung unsur-unsur yang memberi harapan untuk perbaikan pada satu sisi, dan unsur-unsur buruk yang menjadi beban berat bagi publik, pada sisi yang lain. Dalam ungkapan lain, ada yang terangkat, ada pula yang terhempas.
Yang terangkat adalah impian kita semua adalah terciptanya empat lembaga negara dari rahim Gerakan Reformasi, yaitu MK, KPK, PPATK, dan KY. Semuanya bertujuan untuk tegaknya konstitusi dan ketentuan UU secara pasti dan sekaligus membasmi virus KKN yang sudah sangat merusak sendi-sendi moral bangsa dalam tempo yang lama. Tetapi dalam praksisme, keempat lembaga itu masih menghadapi sisi-sisi yang terhempas, karena berhadapan dengan mentalitas lama yang mencoba ingin tetap bertahan. Kasus korupsi yang mengepung Ketua MK Dr. Akil Mochtar beberapa waktu yang lalu nyaris saja membawa lembaga yang dipimpimpinnya itu terhempas ke titik nadir, seperti sulit untuk terangkat lagi.
Untunglah kemudian di bawah pimpinan Dr Hamdan Zulva MK cepat berbenah diri, sehingga martabat lembaga ini secara pelan-pelan bisa dipulihkan. Fatwa MK tentang hasil pilpres 2014 yang menguatkan keputusan KPU telah semakin menambah kepercayaan publik terhadap lembaga pengawal konstitusi ciptaan Gerakan Reformasi ini. Memang adalah sebuah malapetaka moral dan konstitusi, posisi MK yang demikian mulia dan tinggi, telah dihempaskan justru oleh ketuanya sendiri, seorang kader dari suatu partai politik. KPK yang juga anak sah Gerakan Reformasi dengan sigap bertindak: Ketua MK ditangkap untuk kemudian diadili. Publik merasa lega dan terobat. Sebuah gebrakan berani dalam upaya penegakan hukum yang patut didukung dan diapresiasi.
Prestasi KPK lainnya banyak sekali yang pantas diungkap dan sudah terekam dalam ingatan kolektif masyarakat, sehingga tidak perlu lagi diulang dalam tulisan ini. Tetapi perlu dicatat bahwa jangkauan tangan KPK untuk memburu koruptor masih sangat terbatas. Tuan dan puan bisa bayangkan tentang betapa luasnya Indonesia di atas ribuan pulau, dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta. KPK yang hanya ada di ibu kota dengan aparat pendukung yang serba terbatas, sebagian masih memelihara mentalitas lama yang kumuh, tentu upaya pemberantasan korupsi masih akan berlangsung lama, sementara para pelaku barunya masih saja bertambah dan berkeliaran di berbagai lini kehidupan, terutama di ranah birokrasi dan di kalangan partai politik yang bermain di lembaga legislatif, eksekutif, dan di BUMN/BUMD.
Mata pedang untuk memotong leher koruptor bisa jadi tumpul, sekiranya PPATK tidak bergerak aktif untuk menyuplai data aliran dana dari seseorang yang dicurigai kepada KPK dan lembaga penegak hukum yang lain. Adalah sesuatu yang menggembirakan, Jokowi-JK akan /telah meminta KPK dan PPATK untuk turut menilai calon-calon menteri yang akan bergabung dalam kabinetnya. Ini adalah langkah yang mungkin baru pertama kali terjadi. Biasanya untuk mengangkat seorang menteri selalu dipagari dengan hak prerogatif presiden. Tentu pada tingkat final, hak prerogatif itu akan menentukan siapa yang menjadi anggota kabinet.
Akhirnya KY perlu diberi wewenang yang lebih luas untuk mengamati kinerja para hakim di samping menyeleksi secara ketat calon-calon hakim agung bagi keperluan Mahkamah Agung.
Ikuti informasi terkini seputar sepak bola klik di sini