Kamis 30 Oct 2014 06:00 WIB

Kajian Islam CUHK (2)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Meski sejarah dan tradisi Sino-Islamic cultural sphere, ranah budaya Islam Cina, khususnya di Hong Kong, telah berlangsung sangat lama, tapi Islam-Muslimin kawasan ini tak banyak diketahui dunia luar. Memandang cukup signifikannya jumlah kaum Muslimin Cina dan transformasi ekonomi dan sosial-budaya yang terus berlangsung di negara ini dalam beberapa dasawarsa terakhir, sepatutnyalah Islam-Muslimin yang merupakan bagian integral warganya mendapat perhatian lebih intens.

Pandangan seperti ini terlihat lebih kontekstual di Hong Kong yang —karena pernah menjadi koloni Inggris selama satu abad sampai 1997— memiliki sejarah dan tradisi sosial-budaya dan politiknya yang khas. Eks koloni Inggris ini lebih bebas, kosmopolitan, dan multikultural —termasuk dalam bidang keagamaan. Karena itu pula, ekspresi Islam dan kaum Muslim dapat lebih menemukan kebebasannya.

Dalam percakapan penulis Resonansi ini dengan beberapa Muslimah berjilbab, misalnya, mereka mengakui tidak pernah mengalami pelecehan (harassement karena pengungkapan identitas keislaman semacam itu. Mereka merasakan, masyarakat dan Pemerintah Hong Kong memberikan kebebasan beragama dan toleran dengan perbedaan.

Sejak masa pasca-Inggris yang berlanjut dengan berbagai perkembangan pada tingkat internasional lebih luas, Islam dan kaum Muslim mendapat perhatian lebih intens dari berbagai kalangan masyarakat Hong Kong, khususnya para peneliti, dosen, guru, mahasiswa, dan murid. Sejak waktu ini pula kunjungan ke masjid-masjid di Hong Kong kian meningkat karena menjadi salah satu medium untuk mendapat pengetahuan dan pengalaman langsung tentang ajaran Islam dan berbagai aspek kehidupan Muslim.

Pada saat yang sama, khususnya sejak pertengahan 2000-an, lima dari sembilan universitas yang ada di Hong Kong mulai menawarkan mata kuliah untuk memberikan pengetahuan dasar tentang Islam. Selanjutnya, terlihat peningkatan minat pada bahasa Arab dan keuangan Islam. Juga terdapat sejumlah mata kuliah yang termasuk ke dalam antropologi, kajian agama, ilmu sosial, dan hubungan internasional yang dalam dan satu hal membahas Islam dan masyarakat Muslim.

Berkat peningkatan minat ini, pada 2012 buku pertama berjudul Islam in Hong Kong: Muslims and Everyday Life in China’s World City diterbitkan Hong Kong University Press. Buku ini terutama membahas kehidupan keislaman kaum muda Muslim Hong Kong. Penerbitan ini disusul buku kedua Islam and China’s Hong Kong: Ethnic Identity, Muslim Networks and the New Silk Road (Routledge). Karya terakhir ini menampilkan gambaran lebih lengkap tentang Islam dan keragaman masyarakat Muslim Hong Kong.

Chinese University of Hong Kong (CUHK) agaknya merupakan universitas paling bersemangat mengembangkan Kajian Islam. Sebelumnya CUHK telah memiliki program Kajian Agama (religious studies), tetapi tidak mencakup Kajian Islam. Namun, minat di lingkungan universitas ini terus meningkat, sehingga pada 2009 dan awal 2013 menyelenggarakan dua konferensi besar tentang peradaban Islam dan Muslim Cina dengan menghadirkan sejumlah ahli dari Cina Daratan, Taiwan, Asia Tenggara, dan Hong Kong sendiri.

Karena itulah Prof Hsiung, Pin-Chen yang direktur Research Institute for the Humanities (RIH) mengambil prakarsa mendirikan The Initiative in Islamic Studies (ISI) pada akhir 2013 melalui kerja sama dengan Islamic Cultural Association (ICA) Hong Kong. Perempuan asal Taiwan yang jebolan Universitas Brown dan Harvard, AS, yakin sudah saatnya Islam dan kaum Muslimin menjadi bagian integral dari kajian akademik-ilmiah di lingkungan universitas.

Kajian Islam seperti apa yang ingin dikembangkan CUHK? Penulis Resonansi ini yang diundang dalam Seminar ISI pada 8 Oktober 2014 menjelaskan tentang distingsi Kajian Islam di tiga wilayah: dunia Arab, Barat, dan Indonesia. Kajian Islam di dunia Arab dan Barat memiliki corak, pendekatan, dan kecenderungan masing-masing yang sering mendapat kritik karena yang pertama cenderung bersifat normatif, sedangkan yang kedua cenderung ‘liberal’.

Sedangkan kajian Islam Indonesia sedikitnya dalam empat dasawarsa terakhir telah mengembangkan distingsinya sendiri; sebagiannya dengan mengambil hal-hal terbaik dalam substansi, pendekatan, dan orientasi Kajian Islam di dunia Arab dan Barat. Kajian Islam Indonesia selain tetap mementingkan pendekatan normatif, misalnya, juga menekankan urgensi pendekatan historis dan sosiologis secara analitis dan komparatif. Dengan begitu, para pengkaji Islam tidak hanya melihat doktrin teologis dan normatif Islam, tapi sekaligus melihat Islam sebagai realitas historis dan sosiologis sehingga dapat memberi cakrawala dan pemahaman intelektual lebih berimbang.

Pendekatan Kajian Islam model Indonesia bagi saya merupakan bentuk yang pas bagi ISI CUHK. Dengan pendekatan Kajian Islam Indonesia, universitas-universitas di Hong Kong dan/atau Cina secara keseluruhan dapat mengkaji Islam ‘dari dalam’ (from within), dan sekaligus ‘dari luar’ (from without). Dengan begitu bisa diperoleh pengetahuan dan pemahaman lebih komprehensif tentang Islam dan masyarakat Muslim.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement