Kamis 20 Nov 2014 06:00 WIB

Monokultural Versus Multikultural

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Indonesia yang sampai sekarang tetap bersatu bagi banyak orang di berbagai negara Eropa, Amerika Latin, Afrika, dan Asia tetap merupakan realitas yang sulit mereka pahami. Dari waktu ke waktu saya mendengar pernyataan kalangan terpelajar dari wilayah-wilayah tersebut tentang bagaimana mungkin sebuah negara yang terdiri dari begitu beragam suku bangsa, budaya, adat istiadat, bahasa, dan agama bisa bersatu dalam sebuah negara-bangsa.

Karena itu, Indonesia yang wilayahnya terpisah-pisah di antara lautan, laut dan selat-menjadi benua atau negara maritim-sejak waktu yang lama sampai sekarang masih dianggap sebagai keajaiban (miracle), misalnya oleh Edward Ellis Smith, Indonesia: The Inevitable Miracle (1973). Atau sebagai “tidak mungkin” seperti terlihat dalam judul karya Elizabeth Pisani, Indonesia Etc: Exploring Improbable Nation (2014) -negara-bangsa yang tidak mungkin dibayangkan (bisa bersatu).

Indonesia yang beragam, bineka atau multikultural, dalam perspektif historis dan sosiologis Eropa sulit dibayangkan bisa bertahan dalam waktu panjang. Pengalaman historis Eropa yang monokultural tapi penuh perang intra-etnis kaukasian (kulit putih), konflik intrabudaya dan intraagama yang berdarah-darah abad demi abad.

Berhadapan dengan realitas historis semacam ini, tidak heran kalau Eropa terpecah belah menjadi sangat banyak negara (kini 53 ditambah enam wilayah protektorat). Perpecahan itu kini kelihatan belum berhenti. Ancaman separatisme untuk pembentukan negara baru terlihat di Flanders, berbahasa Flemish/Belanda dan Walloon yang berbahasa Prancis (keduanya di wilayah Belgia), Catalunya dan Basque (di kawasan Spanyol), Venesia dan Tyrol Selatan (di wilayah Italia), Pulau Korsika (termasuk Prancis)-untuk menyebut beberapa nama saja. Cukup banyak di antara negara Eropa yang telah lama eksis atau yang tengah berjuang memerdekakan diri berpenduduk hanya ratusan ribu orang.

Sebaliknya, bagi penulis “Resonansi” ini yang sering mengadakan perjalanan ke berbagai negara di Eropa, juga merasa heran kenapa kawasan yang tidak begitu beragam, monokultural, cenderung mudah dan cepat terpecah belah. Padahal, masyarakat di wilayah tersebut secara historis dan sosiologis cenderung “seragam” secara etnis atau ras, budaya, dan agama.

Tetapi, pengalaman historis, sosiologis, dan keagamaan itu sering digunakan kalangan akademis dan pengamat Eropa untuk melihat Indonesia. Di antara mereka, misalnya, penulis Belanda, JS Furnivall, dalam bukunya, Netherlands East Indies: A Study of Plural Economy (1939). Melihat Indonesia dari perspektif Eropa, Furnivall meramalkan skenario kehancuran (doomed scenario) bagi Kepulauan Indonesia. Menurut prediksi dia, bekas wilayah Belanda (Nederland East Indies) ini menjadi berbagai kepingan “negara” begitu Perang Dunia II seusai karena tidak ada satu faktor pun yang bisa menyatukan seluruh suku bangsa dengan berbagai keragaman budaya dan agamanya.

Tapi Indonesia tetap bersatu, meski proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 disertai perang revolusi mempertahankan kemerdekaan dari usaha Belanda kembali menguasai Indonesia. Negara-bangsa ini juga tetap bertahan ketika kalangan pengamat asing meramalkan Indonesia bakal mengalami “Balkanisasi” berikut krisis moneter, ekonomi dan politik 1997-1999. Mundurnya orang kuat Indonesia selama lebih tiga dasawarsa, Presiden Soeharto pada Mei 1998, memunculkan turbulensi politik sangat mencemaskan.

Indonesia tetap dalam kesatuan melewati masa sulit penuh turbulensi politik dan ekonomi itu sejak masa awal kemerdekaan, krisis ekonomi dan politik 1960-an dan terakhir 1997-1999. Mengapa bisa demikian? Penulis “Resonansi” ini berargumen, ada sejumlah faktor historis, budaya, sosial, dan keagamaan yang membuat Indonesia tetap bersatu dan utuh.

Dalam kaitan itu, penting mencatat pandangan Elizabeth Pisani bahwa deklarasi kemerdekaan Indonesia terlihat “kasual” tapi menyenangkan, yang dengan ejaan lama terbaca: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l. diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya”. Djakarta, 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.

Kata “d.l.l.” (dan lain-lain) itu menurut Misha Glenny dalam harian the Guardian (24 Juli 2014) yang oleh Pisani dipakai sebagai anak judul bukunya, “Indonesia Etc”, sekali lagi merupakan cara kasual untuk menyatakan kemerdekaan sebuah negara bangsa. Kata “d.l.l.” itu tidak jelas maksudnya; tidak tersirat sama sekali tentang negara-bangsa Indonesia yang dibayangkan. Juga tidak ada tentang identitas negara Indonesia, tapi banyak hal bisa tercakup di dalamnya.

Mengapa Indonesia tetap bisa bersatu? Mengulas buku Pisani, Joshua Kurlantzick dalam the New York Times (1 Agustus 2014) mencatat, “[Indonesia] has welded so much difference together through collectivism in villages and clans-collectivism that makes people more secure in their daily lives. Its citizens have generally fostered a level of cultural tolerance rare in such large nations.” Kolektivisme dan toleransi budaya (dan juga agama), itulah di antara faktor terpenting yang membuat Indonesia tetap bersatu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement