Jumat 05 Dec 2014 06:00 WIB

Dialog Jokowi dengan Xi Jinping

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:Nasihin Masha

Teks pidato yang sudah disiapkan tak jadi dibacakan. Hanya sempat membaca bagian awalnya saja, yakni menyapa hadirin yang datang. Tatakrama yang tetap perlu dijaga. Malam itu, Kamis 20 November, Presiden Jokowi menghadiri acara makan malam pada pertemuan tahunan Bank Indonesia. Selebihnya ia bercerita ihwal perjalanannya ke Tiongkok, negeri yang pertama dikunjunginya selaku presiden, untuk acara KTT APEC.

Ia bercerita, dalam tiga kali pertemuan, posisi duduknya selalu berturut-turut dari kiri ke kanan: Presiden AS Barack Obama, Jokowi, Presiden Tiongkok Xi Jinping, dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Sebuah posisi yang terhormat. Wajar jika aura Jokowi tampak bangga. Namun ia mengalami kesulitan untuk berbicara khusus dengan Xi Jinping. “Padahal saya sudah bertahun-tahun ingin menanyakan sesuatu. Ini kesempatan terbaik,” kata Jokowi. Saat jamuan makan malam, sebuah acara yang lebih santai, ia punya waktu yang leluasa. Saat itulah ia memupus rasa penasarannya. Jokowi menanyakan kunci keberhasilan Tiongkok sehingga bisa maju seperti saat itu. “Saya minta tiga kunci saja. Jangan banyak-banyak. Nanti pusing,” katanya.

Xi Jinping pun memberikan tiga resep rahasianya. Pertama, partai yang bersatu. Kedua, pembangunan infrastruktur. Ketiga, memiliki gagasan, rencana, dan mimpi yang besar. Cerita ini juga diungkap Jokowi saat berdialog dengan warga Indonesia di Brisbane, Australia. Setelah dari Tiongkok, Jokowi langsung ke negeri kanguru untuk mengikuti KTT G-20.

Jokowi mengakui yang paling sulit adalah menyatukan partai. Namun ia optimistis pemerintahannya akan bisa menggandeng partai-partai lain sehingga partai yang mendukung pemerintah bisa 60, 70, atau 80 persen. Saat ini, pemerintahan Jokowi hanya didukung 43 persen kursi di parlemen. Soal ini tentu saja tak bisa dibandingkan dengan Tiongkok. Negeri ini hanya mengenal satu partai, yaitu Partai Komunis.

Infrastruktur di Tiongkok memang sudah disiapkan sejak zaman Mao Tse Tung dan Deng Xiaoping. Jalanan di Beijing, ibu kota negara, lebar-lebar. Di jalanan utama bisa memiliki lebih dari 14 lajur. Negeri berpenduduk lebih dari 1,3 miliar itu tak memiliki problem kemacetan yang separah Jakarta.

Sejak reformasi, Indonesia tak lagi memiliki GBHN, sebuah panduan pembangunan yang disepakati bersama melalui MPR. Kini, semua tergantung pada presidennya. Juga tergantung pada gubernur dan bupati atau wali kotanya. Di masa pemerintahan SBY yang kedua, dikenalkan MP3EI. Inilah yang dijadikan rencana induk pembangunan infrastruktur dan ekonomi. Kini, pemerintahan Jokowi tak pernah menyebutnya lagi. Jokowi lebih bicara soal tol laut (antara lain berarti pembangunan pelabuhan) dan pembangunan waduk. Bahkan tak ada lagi kabar pembangunan jembatan Selat Sunda. Kita tak tahu apakah Jokowi akan tetap membangun Giant See Wall, sebuah proyek ambisius yang belum jelas efektivitasnya bagi pemerataan pembangunan dan pemberantasan kemiskinan – yang diusung pemprov DKI Jakarta.

Pembangunan infrastruktur hanyalah bagian saja. Inti dari semuanya adalah gagasan, rencana, dan mimpi besar. Malaysia memiliki Visi 2020, untuk menggantikan New Economic Policy yang sudah selesai dan berhasil. Dulu Orde Baru memiliki Rencana Pembangunan Jangka Panjang I dan II. Bung Karno memiliki Rencana Pembangunan Semesta Berencana. Namun seiring tumbangnya Orde Baru dan Bung Karno – terlepas dari plus-minus mimpi besarnya – maka semua program jangka panjang dan mimpi besar itu juga terkubur. Kini, Indonesia tak lagi memiliki mimpi bersama. Yang ada hanya UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU No 25/2004) dan UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (UU No 17/2007). Kedua UU ini hanya mengatur mekanisme perencanaan pembangunan. Tapi justru tak ada kesepakatan bersama tentang gagasan besar ke depannya. Tak ada lagi rujukan dari atas tapi diserahkan ke bawah dan sektoral untuk kemudian diintegrasikan dalam Musrenbang. Tujuan demokratisasi perencanaan pembangunan ini mulia: akuntabilitas, transparansi, dan bottom up. Namu sistem menjadi sia-sia karena mentalitasnya belum mendukung. Kita jadi ingat kata-kata Adam Malik: semua bisa diatur. Yang penting tahu sama tahu, yang penting bagi-bagi.

Semua menjadi musnah karena kehidupan politik yang masih tak karuan. Ada korupsi terstruktur, sistematis, dan massif. Ada nepotisme dan dinasti politik. Dan yang tak kalah pentingnya adalah politik yang oligarkis, yang dikendalikan pemilik uang. Ide Jembatan Selat Sunda dan Giant See Wall tak lagi jelas tingkat kemendesakannya. Siapa yang sesungguhnya paling diuntungkan proyek-proyek raksasa itu.

Ide besar bukan saja monumen dan data kuantitatif. Bukan sekadar berapa pelabuhan yang dibangun, berapa kilometer jalan yang dihadirkan, berapa jumlah kapal yang hilir mudik di laut. Tapi nilai tambah apa yang bisa dikukuhkan pada manusia dan masyarakat Indonesia: keterampilan, nilai-nilai, kehormatan, dan kesejahteraan bersama. Ujungnya adalah kemajuan kualitatif bangsa ini. Kita boleh menghadirkan investor asing untuk membangun pelabuhan, tapi itu hanya untuk kebutuhan transfer teknologi, pengetahuan, dan keterampilan. Juga untuk stimulus modal. Bukan semuanya untuk asing. Demikian juga penyediaan kapal-kapal. Apalagi kita sudah memiliki galangan kapal yang mampu memproduksi beragam jenis kapal, kecuali yang berukuran raksasa.

Dalam pidatonya di depan MPRS, yang berujudul Berdikari, Bung Karno mengatakan, “Kita harus benar-benar berdiri teguh dan berpegang erat-erat pada prinsip 'berdiri di atas kaki sendiri, percaya pada kekuatan sendiri'.” Lebih lanjut Bung Karno menyebutkan, untuk mewujudkan Trisakti dibutuhkan “ekonomi perjuangan”, salah satu wujudnya adalah prasarana infrastruktur. “Prasarana yang fundamental adalah pembangunan mental rakyat. Kalau tidak demikian, orang akan mudah menyeleweng,” katanya.

Tentu kita tak ingin kita terus-menerus melenceng. Waktu berjalan, tapi sebetulnya kita jalan di tempat: rakyat tetap miskin serta negeri tak berdaulat dan tak mandiri.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement