REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Azyumardi Azra
Konperensi Jubile Tahun Emas PISAI Vatikan (22-24/1/2015) berusaha memberikan perspektif tentang umat beragama apakah sebagai mayoritas atau sebaliknya minoritas dalam suatu negara atau wilayah tertentu. Dalam masyarakat di manapun apakah sebagai mayoritas atau minoritas juga hampir selalu terdapat kecenderungan memiliki pandangan stereotipikal, bias dan mispersepsi satu sama lain. Persepsi tidak menguntungkan ini bisa menguat pada masing-masing pihak karena faktor tertentu seperti krisis politik dan ekonomi atau konflik budaya.
Dengan demikian, pola hubungan antara umat mayoritas dengan minoritas sangat dipengaruhi perkembangan internal dan eksternal masyarakat di satu negara atau wilayah tertentu. Karena itu, perbaikan citra dan hubungan antara kedua belah pihak memerlukan introspeksi yang dapat mendorong perubahan cara pandang dan sikap secara internal umat beragama dan eksternal dalam interaksi dengan masyarakat atau umat beragama lain.
Dalam konteks itu, penulis Resonansi ini ketika berbicara tentang ‘Studying and Understanding Islam in the Christian Milieu; An European Context’ menyarankan perlunya bagi kaum Muslim Eropa melakukan introspeksi agar dapat memperbaiki citra Islam dan sekaligus hubungan dengan masyarakat mayoritas Kristen. Secara internal, jelas kaum Muslim Eropa—apakah keturunan imigan atau pribumi lokal—adalah orang-orang yang hanya ingin hidup damai; dapat mencari nafkah, meningkatkan kualitas hidup, dan menjalankan agama dengan baik.
Tetapi pada saat yang sama, terdapat gejala yang terus bertahan—jika tidak meningkat--selama hampir satu setengah dasawarsa terakhir, yaitu radikalisasi segelintir Muslim yang siap melakukan aksi teror di bumi Eropa sendiri, seperti pemboman Madrid 2004, London 2005 dan Charlie Hebdo 2014. Mereka juga siap pergi dalam jumlah besar bergabung dengan aksi kekerasan dan teror ISIS di wilayah Syria, Iraq dan Kurdistan.
Menghadapi gejala ini, perlu pengarusutamaan dan pemberdayaan Islam wasatiyah—jalan tengah yang jauh dari berbagai bentuk ekstrimisme, literalisme dan radikalisme. Pengarusutamaan itu pertama-tama adalah dengan membawa kaum Muslim—khususnya anak muda—keluar dari kehidupan nestapa karena menganggur di ghetto seperti yang mudah dapat ditemukan di pinggiran kota Paris atau Berlin atau kota-kota besar Eropa lain.
Mereka yang hidup dalam kenestapaan terhinggapi perasaan teralienasi dan sekaligus frustrasi. Karenanya mereka kian sulit terintegrasi ke dalam masyarakat lokal. Dalam keadaan semacam itu mereka lebih rawan terekrut ke dalam sel kekerasan yang ada di Eropa sendiri yang memiliki jaringan dengan kelompok radikal dan teroris di Timur Tengah atau Asia Selatan.
Selain itu juga penting pengarusutamaan lembaga Islam sejak dari Islamic Center, masjid, musalla, sekolah dan madrasah. Pengarusutamaan ini bukan hanya bakal memperkuat mereka dari infiltrasi sel radikal, tetapi juga membuatnya lebih fungsional bagi pembinaan masyarakat Muslim.
Hal lain yang tak kurang pentingnya dalam konteks pembinaan umat Muslim minoritas adalah kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam di Eropa. Dengan adanya lembaga pendidikan arus utama untuk menghasilkan imam, muballigh dan fungsionaris Islam lain, maka Islam dan umat Muslim dapat menjadi bagian intergral dari masyarakat Eropa secara keseluruhan.
Percepatan pengarusutamaan itu nampaknya lebih mungkin jika kaum Muslim sendiri lebih mengembangkan sensitivitas sosio-kultural lokal. Sepatutnya kaum Muslim yang beragam tidak berkutat menerapkan di tengah masyarakat Eropa tradisi sosial-budaya yang sebenarnya bukan bersumber dari ajaran Islam semacam burdah atau niqab yang mengundang kecurigaan dan masalah sekuriti. Kaum Muslim Eropa sepantasnya menerapkan kearifan lokal semacam yang ada di Indonesia: “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”, yang dalam bahasa Inggris diekspresikan dengan kalimat: “When you are in Rome, do what the Romans do”—tentu saja tanpa mengorbankan prinsip dan ajaran pokok Islam.
Upaya pengarusutamaan di atas, sebagian besarnya memerlukan kerjasama para pemimpin Muslim dengan pemerintah dan masyarakat lokal. Untuk itu penting pula bagi para pemimpin Muslim membangun hubungan kerja yang fungsional dan workable dengan kepemimpinan dan masyarakat lingkungannya, termasuk dengan kepemimpinan keagamaan mayoritas (Kristiani).
Hal semacam ini juga ditegaskan Paus Francis ketika menerima peserta Konperensi (24/11) lalu di kantornya di Vatikan. Menurut Paus, adalah tugas pedagogis [bagi setiap dan seluruh orang] untuk mengakui nilai-nilai orang lain; [dan pada saat yang sama mencoba] mengerti concerns mereka yang tidak terungkapkan… Dengan begitu kita semua dapat bertumbuh dalam pengetahuan timbal balik”.
Paus Francis mengakui, meski masih ada salah paham dan kesulitan, banyak kemajuan dalam dialog antar-agama Vatikan, khususnya dengan umat Islam. “Untuk itu, sangat esensial [bagi semua orang] melatih diri mendengar orang lain. …Dialog Islam-Kristen khususnya memerlukan kesabaran dan kerendahan hati”.