Jumat 06 Feb 2015 06:00 WIB

Kekuasaan Bukan Cuma Kewenangan

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

“Socrates, kau tentunya tahu bahwa kita harus mempertimbangkan opini publik juga.” “Ah, Krito, seandainya saja orang banyak dapat menimbulkan keburukan yang seburuk-buruknya. Jika demikian, mereka juga dapat memberikan kebaikan yang sebaik-baiknya; dan, jika itu terjadi, betapa bagusnya! Tetapi, dalam kenyataannya, mereka tidak dapat memberikan kedua-duanya: Mereka, dalam hal apa pun yang mereka lakukan, tidak dapat membuat orang menjadi bijaksana atau tidak dapat membuat orang menjadi bodoh. Apa pun yang mereka lakukan, hasilnya bergantung pada nasib.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) berada dalam kepungan beragam kepentingan dan kelompok. Saat menyusun kabinet, ia memasukkan semua unsur partai penyokongnya. Hal itu berlanjut saat menyusun Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). PPP yang secara formal mendukung Prabowo Subianto-tapi sebagian justru mendukung Jokowi-pun kebagian menteri agama dan satu orang di Wantimpres.

Jokowi bukanlah kader PDIP secara genuine. Namun, ia menjadi wali kota Solo, gubernur DKI Jakarta, dan kemudian presiden berkat dukungan penuh PDIP. Megawati Soekarnoputri pun menyebut Jokowi sebagai petugas partai. Hal itu kemudian ditegaskan lagi oleh Puan Maharani, beberapa hari lalu.

Jokowi memang begitu lemah di hadapan partai-partai koalisi penyokongnya. Susunan kabinetnya tak ideal. Ia hanya bisa menerima apa yang disodorkan partai. Bahkan, sejumlah nama yang coba ia pilih dari PDIP tak didukung Megawati. Maruarar Sirait adalah satu di antara yang terpental seperti itu.

Sesungguhnya penyokong Jokowi bukan hanya partai-partai, melainkan juga relawan, bahkan kawan-kawan lamanya. Karena itu, ia memaksakan pelantikan Luhut Binsar Panjaitan (pensiunan tentara dan kader Golkar) dan Andi Wijayanto (dosen UI dan putra Mayjen TNI Purn Theo Sjafei) sebagai kepala staf kepresidenan dan sekretaris kabinet. Dua nama ini tak cukup direstui Megawati. Tentu saja, itu menyakitkan ketua umum PDIP tersebut.

Untuk menciptakan perimbangan, Jokowi pun mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kepala Polri. Budi adalah ajudan Megawati saat Megawati menjadi presiden. Dari sinilah petaka terjadi: KPK menetapkan Budi sebagai tersangka dan Polri menangkap Bambang Widjojanto (wakil ketua KPK) sebagai tersangka. Terjadi turbulensi politik.

Hingga kini Jokowi terjebak dalam situasi ini. Masa 100 hari kepresidenannya tertutup kabut hitam. Jokowi berusaha keluar dari situasi. Sikapnya terang: biarkan proses hukum berjalan tanpa intervensi dari siapa pun, termasuk dirinya.

Hal ini, misalnya, berbeda ketika dua pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, menjadi tersangka. Kejaksaan Agung melakukan deponeering, sebuah intervensi oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang dibenarkan secara hukum.

Setiap pemimpin tentu memiliki pertimbangan tersendiri dan juga sesuai konteksnya. Kali ini Jokowi membentuk Tim 9 yang terdiri dari unsur masyarakat untuk memberikan masukan. Namun, hingga kini Jokowi belum mengambil keputusan. Ia telah berdialog dengan banyak pihak. Tak hanya dengan Tim 9, tapi juga dengan Prabowo Subianto, rivalnya saat pilpres. Juga dengan BJ Habibie dan pimpinan partai-partai penyokongnya.

Turbulensi politik semacam ini sama sekali tak produktif dan tak semestinya terjadi. Para pemimpin politik belum memiliki kedalaman menghayati kiprahnya dalam bernegara. Presiden, pimpinan partai-partai politik, pimpinan KPK, dan juga para pihak yang terlibat dalam kisruh negeri ini sama saja. Mereka masih di level kulit. Demokrasi hanya diperlakukan pada tingkat prosedur dan di level formalitas belaka. Berpolitik tanpa wacana dan visi.

Padahal, para founding fathers kita, saat menyusun dan mendirikan negeri ini, berada dalam kedalaman yang luar biasa. Hal itu mereka perlihatkan pula dalam keseharian mereka yang amanah dan sahaja.

Saat berdebat menyusun konstitusi, Soepomo berujar, “Presiden tidak boleh mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan kehendak rakyat.” Ia melanjutkan, “Kepala negara dan badan-badan pemerintah lain harus bersifat pemimpin yang sejati, penunjuk jalan ke arah cita-cita luhur, yang diidam-idamkan oleh rakyat.”

Lalu, apa yang dimaksud “diidam-idamkan oleh rakyat”? Socrates, filsuf Yunani, mengingatkan bahwa yang diidamkan itu bukanlah opini publik alias citra publik. Politik citra hanya dijalankan oleh “pemimpin permukaan”, pemimpin yang berselancar di puncak-puncak gelombang.

Pemimpin model demikian hanya mengejar popularitas. Pemimpin semacam ini hanya akan mengikuti prosedur dan formalitas demokrasi. Pemimpin seperti ini akan memperlakukan kekuasaan hanya sebagai kewenangan. Pemimpin demikian bergerak tanpa visi dan wacana. Negara hanya menjadi panggung hiburan. Ibarat menonton film, akan menyenangkan saat masih duduk di gedung bioskop. Kita yang menjadi rakyat tak ingin seperti itu. Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus menyelam, masuk ke politik sejati. Politik yang bersemayam di hati rakyat, bukan semata yang diopinikan. Memang tak mudah. Ia akan menghadapi tekanan dari partai-partai sekelilingnya, bahkan dari relawan.

Setelah menjadi presiden, Jokowi tak lagi milik mereka. Jokowi sudah milik seluruh bangsa. Negara tidak mempersatukan dirinya dengan yang paling kuat, tetapi mengatasi segala golongan dan perseorangan. Negara mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat seluruhnya. Jokowi telah menjadi simbol negara, bukan lagi simbol pengusungnya.

Sebagai presiden dari partai marhaen dan mengusung ajaran Sukarnoisme, kita menunggu lanskap yang berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement