Jumat 20 Feb 2015 06:00 WIB

No Guts, No Glory

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Turbulensi politik nasional saat ini bukan termasuk gempa, tapi letusan gunung berapi. Gempa hanya mengguncang, yang bisa menimbulkan rekahan, pergeseran, ataupun longsor. Gempa juga menimbulkan gelombang tsunami. Sedangkan letusan gunung memuntahkan isi perut bumi dan melontarkan lava dan batu panas. Letusan gunung juga menimbulkan awan panas yang membuat langit gelap, bahkan memengaruhi perubahan cuaca. Letusan Gunung Krakatau menimbulkan tsunami dan memengaruhi peta politik dunia. Letusan Gunung Tambora membuat Nepoleon kalah perang. Letusan gunung mampu mengubah arah sejarah.

Sampai pada titik tertentu, letusan itu sedang reda. Ibarat Gunung Merapi, letusan itu bisa aktif kapan saja. Setelah Sarpin Rizaldi, hakim tunggal yang menyidang gugatan praperadilan Budi Gunawan (BG), memutuskan penetapan tersangka untuk BG oleh KPK tak sah, Jokowi mengambil langkah. Ia tak melantik BG tapi mengajukan calon baru kepala Polri, Badrodin Haiti. Tak hanya itu. Jokowi juga mengeluarkan Perppu memberhentikan Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW) dari jabatannya di KPK. Selanjutnya Jokowi menunjuk Taufiequrachman Ruki, Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi SP sebagai pimpinan sementara KPK. Polisi telah menetapkan AS dan BW sebagai tersangka, masing-masing untuk kasus pemalsuan dokumen dan kasus kesaksian palsu. Langkah Polri ini tak bisa ditolak sebagai langkah balasan atas sikap KPK yang menetapkan BG sebagai tersangka. Padahal Jokowi baru saja mengusulkan BG sebagai calon tunggal kepala Polri ke DPR, yang kemudian dengan cepat disetujui DPR. Polri juga bersiap mentersangkakan sejumlah penyidik KPK. Ada upaya pembumihangusan KPK oleh Polri.

Ya, ini memang letusan gunung berapi. Apa yang tersimpan di dalam perut termuntahkan. Bisik-bisik tentang dugaan cacat-cacat yang dimiliki sejumlah pimpinan KPK sudah lama terdengar. Namun sikap hitam-putih masyarakat – tentu saja wajar dan sah ketika semua demikian kotor namun dibuat abu-abu – telah membuat KPK sebagai lembaga para dewa. Semua kekotoran itu disimpan saja di bawah karpet, yang penting bisa membersihkan segala yang kotor. Para pendukung Jokowi atau orang-orang yang mencoba bersikap positif dan optimis menilai 'pembiaran' Jokowi terhadap turbulensi politik itu telah memberikan manfaat. Ibarat perut yang keracunan, maka langkah pertama adalah mengeluarkan racun yang ada di perut. Tendensi demikian tentu tak hanya terarah ke KPK, tapi juga ke Polri. Langkah kalap Polri itu juga membuat kita tahu kegilaan yang terjadi pada Polri.

Pertanyaannya adalah apakah Jokowi memang terdesain mengeluarkan kutu atau kebetulan belaka? Inilah yang kita tunggu pada langkah lanjutan Jokowi. Apakah pemerintah akan mengusulkan manusia-manusia setengah dewa untuk menjadi pimpinan KPK mendatang? Apakah Jokowi akan melakukan pembersihan di Polri?

Saya termasuk yang skeptis – sampai Jokowi benar-benar bisa membuktikannya. Turbulensi politik ini terlalu lama dibiarkan, seolah rumit padahal sederhana. Selain itu, terlalu banyak kerusakan yang terjadi akibat 'pembiaran' ini. Pada sisi lain, Jokowi menggunakan strategi bermain catur dalam penyelenggaraan negara. Terlalu memberi hati kepada para shareholdernya. Pendekatannya yang mengutamakan hukum juga layak diberi catatan kaki. Hukum itu hanya koridor, yang utama adalah ide, nilai-nilai, dan moral. Hukum bukanlah pemberi perintah, tapi memberi tapal batas.

Biasanya ada yang mendebat, hukum lebih pasti sedangkan ide, nilai, dan moral itu debatable. Argumen itu pasti terucap dari bangsa atau orang yang tak memiliki basis ide, nilai, dan moral yang kuat. Pada titik inilah gagasan Revolusi Mental yang dijanjikan Jokowi memiliki relevansinya. Mental itu erat dengan ide, nilai, dan moral. Artinya, Jokowi adalah orang yang berangkat dari cita-cita, nilai, dan moral. Sebagai orang yang mengusung janji itu maka semestinya Jokowi memiliki keyakinan dalam mengusung ide, moralitas, dan nilai-nilai. Tanpa dimulai dari diri sendiri maka kita jangan berharap bisa melakukan revolusi. Para pemimpin revolusi adalah orang-orang dengan karakter yang kuat, bukan orang yang lembek dan ragu. Orang-orang yang berani.

Ada pepatah Barat: no guts, no glory. Tak ada keberanian, maka tak ada keagungan. Sebuah idiom atau motto tentang pentingnya keberanian untuk menanggung risiko. Hanya dengan cara itu keagungan dan kemuliaan bisa diraih. Jokowi sudah membuktikan keberaniannya. Untuk mewujudkan idealismenya, ia melangkah dari walikota, kemudian ke gubernur, dan akhirnya presiden. Yang harus kita dorong adalah keyakinannya bahwa kepercayaan rakyat itu jangan disia-siakan. Rakyat – bukan para pengusung – itulah yang membuat Indonesia terus hadir.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement