REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Berbanding lurus dengan fenomena sepinya kehadiran negarawan di Indonesia, sikap ketidaksungguhan bernegara telah lama ditunjukkan oleh mereka yang menduduki posisi-posisi strategis pada hampir semua tingkat pemerintahan.
Parpol telah gagal mendidik kadernya agar punya komitmen dan kejujuran dalam berpolitik untuk membela kepentingan bangsa dan negara, jauh melampaui kepentingan pribadi dan partai. Ungkapan yang terdengar belum lama ini bahwa presiden adalah “petugas partai” dengan sendirinya telah menempatkan partai di atas kepentingan bangsa dan negara. Sesuatu yang semestinya tidak layak diucapkan, jika saja memang ada niat baik untuk memperbaiki kondisi Indonesia yang secara moral dan wawasan ke depan masih kelabu.
Sebagai bangsa yang dikenal heroik, semestinya kita sadar bahwa perjalanan untuk meraih kemerdekaan hampir 70 tahun yang silam sungguh panjang dan berliku. Arsip sejarah pergerakan kebangsaan yang embrionya dimulai sejak awal abad ke-20 sungguh kaya dengan cita-cita mulia dan kesediaan untuk berkorban tanpa pamrih.
Sebagian para pejuang itu tidak sempat menyaksikan kibaran Bendera Merah Putih sebagai lambang kemerdekaan bangsa menggantikan bendera tiga warna sebagai simbol penjajahan karena mereka telah dipanggil Allah sebelum tanggal 17 Agustus 1945.
Darah yang tertumpah, air mata yang telah kering, dan harta rakyat yang diserahkan untuk merebut kemerdekaan semestinya tidak disia-siakan oleh generasi yang datang kemudian setelah tujuan mulia itu tergenggam di tangan bangsa sendiri.
Inilah kesaksian sendu Ali Sastroamidjojo saat mendengar siaran proklamasi kemerdekaan itu, "Reaksi kami sukar saya gambarkan di sini. Istri saya yang tidak sering saya lihat menangis, waktu itu tiba-tiba duduk diam-diam seperti orang termenung dan air mata bertetesan dari matanya. Saya pun merasa sangat terharu. Bermacam-macam kenangan dari zaman yang lampau timbul di pikiran saya. Indonesia merdeka! Kata-kata yang melambangkan cita-cita bangsa kita dan yang sudah begitu lama kita perjuangkan dengan penuh penderitaan dan pengorbanan sudah menjadi kenyataan! Bangsa kita, negara kita sudah merdeka! Bermacam emosi timbul di hati saya. Rasa gembira bercampur dengan sedih. Gembira karena saya masih diperkenankan Tuhan untuk mengalami cita-cita bangsa itu tercapai, dan sedih karena ingat pada kawan-kawan seperjuangan yang telah tidak ada lagi di antara kita dan tidak bisa menikmati hasil perjuangan dan pengorbanan mereka. (Lihat Ali Sastroamidjojo, Tonggak-Tonggak Di Perjalananku. Jakarta: Kinta 1974, halaman 140).
Di antara pejuang nasionalis yang tidak sempat menyaksikan Proklamasi Kemerdekaan itu adalah Wahidin Soedirohoesodo (wafat 1917), Ahmad Dahlan (wafat 1923), HOS Tjokroaminoto (wafat 1934), Tjipto Mangunkusumo (wafat 1943), dan masih banyak yang lain yang makamnya mungkin tidak bertanda. Tan Malaka, seorang nasionalis-marxis, malah dibunuh oleh anak bangsa sendiri pada 1949, sebuah tragedi berdarah dan keji yang terjadi di ujung era revolusi kemerdekaan.
Di era revolusi kemerdekaan (1945-1949), rakyat kita terlalu banyak yang mati terbunuh. Hampir di seluruh nusantara, makam para pejuang itu telah menjadi saksi hidup bagi kita yang masih bernapas sampai sekarang. Penyair Chairil Anwar dalam lirik sadurannya di bawah judul “Krawang-Bekasi”, dengan sangat menghunjam hulu hati, antara lain, seperti terbaca di bawah ini.
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami
(Lihat HB Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Gunung Agung, 1959, halaman 66. Ejaan disesuaikan).
Dengan membaca kembali autobiografi para pejuang dan puisi para penyair tentang makna kemerdekaan, siapa tahu jiwa kita akan tersentak dan bersedia mengkritik kelakuan masing-masing yang mungkin sudah menyimpang jauh dari jalan yang benar dan lurus sehingga sikap kesungguhan dalam mengurus negara akan pulih kembali. Jalan untuk pemulihan kesadaran masih terbuka lebar, dengan syarat orang bersedia keluar dari kubangan dosa dan dusta!