REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Nasihin Masha
Masyarakat tanpa cinta akan kehilangan kelembutan dan empati. Masyarakat tanpa rasionalitas akan kehilangan tujuan dan pegangan.
Kementerian Dalam Negeri melakukan mediasi antara DPRD dan Gubernur DKI Jakarta. Namun, upaya yang dipimpin sekjen kementerian tersebut terpaksa dihentikan karena suasana sangat panas.
Pertemuan tertutup itu kemudian bisa diketahui publik lewat rekaman video yang diunggah di Youtube. Saat bubar, ada teriakan “Cina anjing” dari salah satu anggota DPRD. Kata-kata rasialis dan kasar itulah yang kemudian lebih banyak menghiasi perdebatan di ruang publik.
Selama beberapa pekan ini kisruh antara DPRD DKI dan Gubernur DKI menghiasi perdebatan publik. Sebagian mencoba masuk ke isu utama, tetapi lebih banyak lagi yang membicarakan tentang bunga-bunganya. Perdebatan “santun tapi korup versus kasar tapi bersih” lebih menghiasi ruang publik. Simplifikasi “Ahok versus Lulung” juga lebih ramai.
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengukuhi gayanya yang meledak-ledak, emosional, dan reaktif. Ia juga murah menyemburkan tuduhan ''maling, rampok” kepada birokrat maupun anggota DPRD. Namun, tuduhan itu anonim dan tak tampak diikuti dengan upaya mengadukannya ke penegak hukum.
Pada sisi lain, birokrat dan anggota DPRD belum menunjukkan kemauan untuk melakukan perbaikan, business as usual. Birokrasi dan parlemen bercitrakan lekat dengan budaya korupsi.
Perseteruan Ahok dengan anggota DPRD bermula dari munculnya anggaran pengadaan uninterruptible power supply (UPS) untuk sekolah-sekolah dalam RAPBD 2015. Nilainya gila-gilaan: Rp 12,1 triliun. Pengadaan baterai itu sudah berlangsung sejak 2013. Ahok menyebut pengadaan UPS ini sebagai siluman. Ia merasa tak pernah memasukkannya. Di tengah situasi itu, DPRD akan mengadakan hak angket. Tentu saja itu langkah politik. Ujungnya bisa sampai pada pemakzulan Ahok dari kursi gubernur.
Sejak sebelum Pemilihan Presiden 2014, suasana tak sehat begitu terasa dalam kehidupan publik. Kita dipaksa untuk berdiri di belakang seseorang sebagai pengikut dan pendukung atau berada di seberangnya sebagai lawan. Suasana itu masih dianggap wajar dalam pilpres-walaupun pada pilpres lalu sudah pada tahap yang berlebihan. Namun setelah itu, semestinya semua kembali ke posisi awam. Namun, nyatanya tidak. Kita seolah masih dalam suasana kampanye terus. Ini tentu tak sehat.
Mengapa bisa terjadi? Pertama, oligarki politik melahirkan jenggo-jenggo politik. Tentu saja secara otomatis membentuk struktur informal para jagoan. Lahirnya oligarki politik ini juga seiring dengan kehadiran konglomerasi ekonomi. Hal ini tecermin jelas pada makin menganganya jurang kaya-miskin.
Kedua, lahirnya media sosial melahirkan makelar yang membentuk pasukan bayaran di ruang siber (cyber army). Mereka tak berbentuk tapi efektif memengaruhi opini. Indonesia adalah surganya Facebook dan Twitter.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang bagus selama 10 tahun terakhir ini melahirkan kelas ekonomi dan politik baru. Sedang terjadi proses regrouping karena munculnya pemain-pemain baru. Membengkaknya APBN dari Rp 300 triliun ke Rp 1.700 triliun dalam 17 tahun tentu saja sangat cepat. Proses distribusi yang terbatas di level atas saja ini-distribusi ekonomi tak banyak nyiprat ke bawah-menimbulkan gesekan yang panas di antara mereka. Dan jalan termudah untuk mendapat kue ekonomi itu adalah lewat politik.
Karena itu, kita mendapati pengusaha dan preman menyerbu masuk politik. Elemen civil society yang kritis, terkonsolidasi, dan independen untuk mengkritisi situasi hanyalah LSM, tapi mereka tak bisa bersuara. Ilmu dan dana mereka hanya dibekali untuk mengkritisi isu agama, terorisme, diskriminasi, dan hak asasi manusia. Mereka gagap terhadap isu oligarki, konglomerasi, dan plutokrasi.
Keempat, masyarakat sudah lelah dengan pencitraan dan korupsi yang menjadi langgam politik selama 10 tahun terakhir ini. Mereka muak terhadap perilaku politisi yang hipokrit, sejak reformasi. Karena itu mereka mengidamkan hadirnya pemimpin yang genuine dan jujur. Rindu yang terlalu lama itu membuat mereka melankolik dan romantik. Di lain sisi, kerinduan yang lama terpendam juga melahirkan masyarakat yang skeptik.
Pada titik-titik seperti itulah wacana publik menjadi konfrontatif dan hanya menyangkut aspek yang artifisial. Lupa pada substansi masalahnya. Jika kita cermati, dalam APBD banyak mencantumkan hal-hal yang tak dibutuhkan atau berlebihan. UPS itu sama sekali tak relevan dengan kebutuhan sekolah.
APBD DKI yang akan mencapai lebih dari Rp 70 triliun itu sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan persoalan di Ibu Kota dengan lebih cepat. Kisruh di DKI itu juga mencerminkan lemahnya leadership, manajemen, dan visi. Pembangunan pulau dan reklamasi merupakan kesalahan yang parah. Menghentikan banjir bukan sekadar mengalirkan air ke laut, tapi justru bagaimana “mengistirahatkan” air dengan membangun banyak situ. Belum ada ide-ide brilian yang terdengar. Yang ada hanyalah kegaduhan.
Kita sedang terjebak pada dekade masyarakat yang melankolik dan skeptik. Kita butuh pemimpin yang jernih, rasional, dan visioner, bukan malah larut dalam jebakan kegaduhan semacam itu.