REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Muncul pertanyaan penting di sini: mengapa idealisme seorang Ali bisa kalah berhadapan dengan pragmatisme seorang Muawiyah? Jika logika Alquran dijadikan pegangan yang artinya, “Dan katakan! Kebenaran telah datang, dan kebatilan telah sirna. Sesungguhnya kebatilan itu pasti sirna,” (QS al-Isra: 81), maka yang berlaku harus sebaliknya, dan memang Ali hampir saja menang, seperti tersebut di atas.
Tetapi di ujung permainan mengapa Muawiyah yang tampil sebagai pemenang, sekalipun niat baiknya sangat diragukan banyak pihak? Dalam sengketa politik ini, pihak Suni yang mayoritas kemudian merasa berada di pihak yang benar, sedangkan pihak Syiah dikatakan sebagai faksi yang salah. Sebaliknya, Syiah yang minoritas menuduh pihak Suni yang merasa benar di jalan yang sesat.
Mengapa keduanya tidak mau berhakim kepada Alquran yang menegaskan bahwa perpecahan komunitas Muslim itu haram hukumnya, sedangkan mengukuhkan persaudaraan antara orang-orang beriman adalah sesuatu yang wajib (lihat misalnya QS Ali Imran: 103 dan QS al-Hujurat: 9-10).
Akhirnya, riil politik juga yang berlaku. Di Dawmat al-Jandal yang terletak antara Suriah dan Irak, pada Maret-April 658, terjadi perundingan perdamaian yang sangat merugikan pihak Ali. Amr berhasil menipu Abu Musa al-'Asy'ari, juru runding pihak Ali yang lebih dulu memakzulkan Ali sebagai khalifah. Amr dengan cekatan menaikkan Muawiyah sebagai khalifah untuk Suriah.
Muncullah dua khalifah karena Ali dan pengikutnya tidak mengakui rezim Muawiyah. Di antara bekas pengikut Ali yang dikenal dengan sekte Khawarij tidak lagi percaya kepada mereka yang bertikai, baik Ali, Muawiyah, maupun Amr. Ketiganya harus dibunuh. Ali berhasil dihabisi, sedangkan Mu'awiyah dan 'Amr selamat.
Demikianlah suasana ketidakpastian politik terus berjalan, sampai pada pada 28 Januari 661 (19 Ramadhan 40) saat memasuki Masjid Kufah untuk mengimami shalat Subuh, Ali tewas dipukul di kepalanya dengan pedang beracun oleh Abd al-Rahman bin Muljam al-Muradi, seorang Khawarij yang memang sejak perundingan damai yang sangat merugikan Ali itu telah merencanakan makar, seperti tersebut di atas.
Kematian Ali ini tentu sangat melegakan Muawiyah, sekalipun harus berunding dulu dengan al-Hasan bin Ali yang didaulat untuk menggantikan ayahnya yang baru wafat. Dalam catatan Ayoub berdasarkan sebuah sumber, Ali saat bergumul dengan maut masih sempat mengucapkan ini, “Saya telah berhasil meraih tujuan [mati syahid] karena [kehendak] Tuhan Ka'bah” (hlm 143).
Jika Perang unta hanya melibatkan rakyat Kufah sebagai pendukung Ali dan lawannya penduduk Bashra, Perang Siffin telah melibatkan rakyat Suriah dan rakyat Irak. Radiusnya jauh lebih luas dan sifatnya kompleks sekali, korbannya pun puluhan ribu dari kedua belah pihak.
Dalam bacaan saya, sebelum Perang Siffin ini, kubu Suni, Syiah, dan Khawarij belum dikenal. Dengan demikian, perang inilah yang memicu munculnya sekte-sekte yang merusak seluruh perjalanan sejarah umat Islam selama sekitar 14 abad. Akankah komunitas Muslim di seluruh dunia tidak juga mau belajar dari drama sejarah yang mengingkari pesan Alquran itu? Kapan umat Islam merasa muak dengan peperangan? Tuan dan puan yang perlu memberikan jawaban!