Senin 25 May 2015 06:00 WIB

‘Tsunami’ Vatikan Menghantam Israel

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Kabar gembira datang dari Vatikan pada pertengahan Mei ini. Negara terkecil di dunia itu telah menambah daftar panjang negara-negara Eropa yang mengakui Negara Palestina. Tahun lalu, Parlemen Eropa, Inggris, Irlandia, Spanyol, dan Prancis telah menyetujui mosi untuk mendukung Negara Palestina. Sebelumnya, langkah lebih tegas telah diambil Swedia, ketika secara resmi mengakui Palestina sebagai negara merdeka.

Lalu apa makna di balik pengakuan Vatikan terhadap negara Palestina?  Pertama, kemerdekaan bangsa Palestina bukan hanya masalah umat agama tertentu. Sebut misalnya umat Islam. Karena, pada hakikatnya, setiap umat beragama menolak atau bahkan menentang penjajahan sebuah bangsa terhadap bangsa lain. Setiap agama juga mengajarkan kepada para pemeluknya untuk membela orang-orang yang terzalimi.

Karena itu, bisa dipahami apabila masyarakat internasional marah terhadap kezaliman yang yang kini diderita suku Rohingya dan  Yazidi. Suku Rohingya yang sudah bertahun-tahun tinggal di Myanmar dianggap sebagai bukan warga negara setempat. Banyak di antara mereka yang kini melarikan diri dan menjadi pengungsi di Indonesia dan Malaysia. Sedang suku Yazidi telah menderita luar biasa lantaran diperlakukan di luar kemanusiaan oleh mereka yang mengklaim diri sebagai ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Karena itu para pelaku kebiadaban seperti Israel, Myanmar, dan ISIS layak disebut sebagai Bar-bar.

Kedua, pengakuan Vatikan terhadap negara Palestina telah memberikan harapan baru terhadap kemerdekaan bangsa yang telah puluhan tahun dijajah Zionis Israel itu. Harapan baru, karena di kalangan negara-negara Arab sendiri perjuangan  kemerdekaan bangsa Palestina kini sudah mulai terlupakan. Para pemimpin negara-negara Arab lebih disibukkan dengan persoalan dalam negeri masing-masing.

Ketiga,  pengakuan tersebut akan semakin mengucilkan Zionis Israel dalam pergaulan antar-bangsa. Sebab, meskipun Vatikan merupakan negara terkecil di dunia, namun secara spiritual pengaruhnya melampaui batas-batas negara. Karena itu, tidak mengherankan apabila Zionis Israel, sebagaimana dikutip pengamat Timur Tengah, Imil Amin, menganggap pengakuan Vatikan terhadap negara Palestina sebagai al Tsunami al Vatikany alias Tsunami Vatikan.

Disebut tsunami, karena pengakuan ini akan merusak image Israel sebagai negara yang selama ini memang sudah buruk.  Di antara image buruk itu adalah Israel dianggap sebagai negara rasis. Yang terakhir ini akan semakin kuat lagi manakala parlemen mengesahkan rancangan undang-undang yang telah diajukan pemerintah bahwa ‘Israel sebagai tanah air warga Yahudi’.

Atau dengan kata lain,  mereka yang berdarah Yahudi merupakan warga negara kelas satu, sementara keturunan Arab adalah warga negara kelas kambing. Ini terbukti dengan keluarganya peraturan yang melarang warga Arab berada dalam satu kendaraan dengan warga Yahudi. Karena diprotes masyarakat internasional, peraturan ini akhirnya dibatalkan PM Israel Benjamin Netanyahu.

Dalam catatan sejarah, hubungan Vatikan dengan Israel sebenarnya tidak pernah berjalan mesra. Tercatat, Vatikan pernah menolak permintaan tokoh utama gerakan Zionisme internasional, Theodor Herzl (1860-1904), untuk mendirikan negara Israel di atas tanah air Palestina.

Penolakan ini diulang kembali pada masa Paus Pius XII (1939-1958), ketika ia melihat membanjirnya imigran Yahudi dari berbagai negara ke tanah air Palestina. Dalam pandangannya, nasib buruk akan menimpa Madinatul al Quds (Yerusalem) apabila dikuasai oleh bangsa Yahudi.  Sebagai catatan, di Madinatu al Quds terdapat tempat suci tiga agama: Islam, Kristen, dan Yahudi.

Lantas mengapa pengakuan Vatikan terhadap negara Palestina sekarang ini dianggap sebagai tsunami? Para pemimpin Zionis Israel tampaknya tahu betul tentang pengaruh Vatikan. Meskipun negara ini kecil saja, namun pengaruh spiritualnya (baca: agama) bisa mendunia. Terdapat sekitar 2,3 miliar pemeluk Kristen di seluruh dunia dan 1,3 miliar di antaranya penganut Katolik yang langsung berkiblat ke Roma (Vatikan).

Para penganut Katolik ini tersebar di lima benua. Mereka ini telah dan akan terus mempengaruhi dan membentuk opini publik -- langsung atau tidak langsung – di banyak negara, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Pendiri dan sekaligus PM pertama Israel, David Ben-Gurion, pernah merasa khawatir dengan sikap Vatikan ini. ‘‘Vatikan memang kecil, tapi berapa juta orang yang bisa dipengaruhinya,’’ katanya suatu waktu.

 

Kekhawatiran Ben-Gurion ini bukan tanpa dasar. Sikap tegas pro-Palestina dari pemimpin spiritual di kalangan penganut Katolik ini terbukti telah mendorong negara-negara di Eropa dan parlemennya untuk mengakui kemerdekaan Negara Palestina. Di Prancis misalnya. Meskipun sistem ketatanegaraannya sekuler, namun secara spriritual mayoritas masyarakat di negara yang terkenal dengan menara Eiffelnya ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Katolik. Oleh sebab itu tidak ada yang aneh ketika Parlemen Prancis meminta agar  Presiden Francois Hollande segera mengajukan pengakuan terhadap Negara Palestina ini ke Dewan Keamanan PBB.

Bersamaan dengan itu, Ketua Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherini, juga telah menyatakan ingin ambil peran penting proses pernjanjian Palestina-Israel, menggantikan peran Amerika Serikat (AS) selama ini. Selama pemerintahan Presiden Barack Obama, AS telah dinilai gagal menfasilitasi proses perundingan Palestina-Israel karena terlalu condong pada kepentingan negara Zionis itu.

Bukan hanya di Eropa. Pengaruh Vatikan juga kuat di sejumlah negara di Amerika Latin dan Afrika Tengah. Di Argentina misalnya. Pengaruh Katolik di negara Evita Peron itu sangat kuat. Karena itu, Argentina yang menjadi anggota tidak tetap DK PBB selalu mendukung kepentingan bangsa Palestina.

Hubungan Vatikan dengan Palestina selama ini pun berlangsung baik. Hubungan baik itu sudah dimulai sejak Yasir Arafat menjadi ketua PLO (Palestine Leberation Organisation) pada 1970-an dan kemudian Presiden Palestina. Hubungan itu semakin baik pada Masa Paus Yohanes Paulus II (1978-2005).

Kedua tokoh itu sudah beberapa kali mengadakan pertemuan bilateral di Vatikan. Setiap kali pertemuan, Paus Paulus II selalu berjanji akan membantu dan mendukung lahirnya Negara Palestina Merdeka.

Pertanyaannya, bagaimana memanfaatkan pengakuan Vatikan ini untuk mempercepat lahirnya negara Palestina merdeka yang berdaulat penuh di tanah airnya sendiri? Di sinilah negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dituntut untuk bergerak cepat. OKI harus ambil inisiatif untuk segera menyelenggarakan pertemuan dengan para pemimpin Vatikan dan organisasi atau lembaga keagamaan dunia lainnya, baik dalam bentuk KTT (konferensi tingkat tinggi),  seminar, pernyataan bersama, atau dalam bentuk lain. Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia harus mengambil prakarsa ini.

Intinya, umat beragama di seluruh dunia menolak penjajahan dalam bentuk apa pun. Karena itu, penjajahan dan kejahatan Zionis Israel terhadap bangsa Palestina yang telah berlangsung selama puluhan tahun harus dilawan. Pandangan para pemimpin umat beragama di seluruh dunia ini harus menjadi kekuatan penekan buat Israel dan pendukungnya (baca: AS). Bila mereka membandel, mereka, terutama Zionis Israel, harus dikucilkan dari pergaulan dunia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement