REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha
Politik Indonesia mirip dengan letak geologis Indonesia. Kepulauan Indonesia terletak di ring of fire, gugusan gunung berapi. Indonesia juga berada di lempeng bumi yang labil. Gunung berapi meletus pertanda pelepasan energi yang terakumulasi akibat dorongan magma. Gempa tektonik juga terjadi akibat pelepasan energi di garis subduksi.
Karena itu, ancaman letusan gunung berapi dan gempa bumi merupakan gejala 'rutin dan periodik'. Rupanya, fenomena alam itu juga tecermin pada perilaku manusianya. Gemar menghimpun energi untuk dilepas sebagai ledakan di suatu masa. Setidaknya kita telah mengalami dua kali, pada 1965 dan 1998.
Setiap kali terjadi ledakan pasti menimbulkan kerusakan. Energi yang kita himpun selama ini hilang begitu saja. Budi G Sadikin, dirut Bank Mandiri, mengilustrasikan, produk domestik bruto (PDB) yang dicapai Indonesia hingga 1998 baru bisa dicapai lagi pada 2004. Butuh waktu enam tahun.
Kita menjadi lebih miskin, kehilangan waktu, dan makin tertinggal dari negara lain. Bahkan pajak kita, melalui APBN, hingga kini masih terus dibayarkan untuk membayar cicilan rekapitalisasi perbankan. Perusahaan-perusahaan besar kita dijual ke asing. Sumber daya manusia top kita di IPTN (kini PT DI) berdiaspora di perusahaan penerbangan asing. Belum lagi korban manusia yang tewas saat rusuh, kehancuran infrastruktur ekonomi, dan kerusakan sosial lainnya.
Kini, kita sedang mencicil energi lagi yang suatu saat dilepas menjadi ledakan. Salah satunya adalah berbentuk dana aspirasi yang baru saja disetujui DPR. Setiap anggota dewan berhak mendapat dana aspirasi sebesar Rp 20 miliar per tahun. Dana ini dititipkan di kementerian ataupun pemda untuk menjadi program pembangunan fisik maupun nonfisik. Tentu, mereka selalu punya alasan bahwa hal itu legal dan tak menabrak aturan hukum dan administrasi pemerintahan. Wuih. Itulah 'hebatnya' orang berkuasa. Serasa punya tongkat ajaib dan mantra abrakadabra. Kun faya kun. Jadilah maka jadilah.
Sesuai konstitusi, tugas DPR adalah legislasi, pengawasan, dan budgeting. Tidak ada tugas membuat jembatan, membangun gorong-gorong, memperbaiki jalan dan irigasi, maupun melakukan pemberdayaan masyarakat di basis daerah pemilihannya. Karena, semua itu menjadi tugas pemerintah selaku eksekutif.
Kehadiran dana aspirasi merusak sistem ketatanegaraan kita. Hal itu juga pasti akan diikuti oleh beragam implikasi di tingkat teknis, seperti siapa pelaksananya, pengawasan, proses administrasi, tata kelola, dan seterusnya. Kehadiran dana aspirasi-yang namanya bisa diubah apa saja untuk pengelabuan-merupakan bagian dari puncak kerusakan negeri ini.
Kehadiran dana aspirasi ini merupakan kelanjutan dari kerusakan proses rekrutmen politik. Sistem dan praktik rekrutmen politik kita demikian mengandalkan pada kekuatan uang dan sangat individual. Ini menyangkut kepartaian dan kepemiluan. Akibatnya, bukan orang terbaik yang terpilih, melainkan orang yang bisa memobilisasi dana, mengelabui sistem, dan segala jenis perilaku pecundang lainnya.
Makin banyak pengusaha yang terjun ke politik, makin banyak politisi yang merangkap menjadi pengusaha. Cara tercepat menjadi pengusaha besar memang dengan menyedot dana APBN. Karena itu, politik menjadi transaksional.
Untuk bisa melenggang ke parlemen, seorang politisi harus mempunyai tim sukses yang besar, yang kini bernama relawan. Mereka bertugas memobilisasi massa, membangun citra, dan mengawal suara. Semua butuh biaya. Biaya itu bisa lebih besar dari seluruh gaji yang diterimanya selaku anggota dewan.
Pada sisi lain, konstituen dan tim sukses itu juga terus menganga: menuntut biaya selama tuannya berada di parlemen. Jika tidak dipenuhi, namanya akan dirusak, bahkan bisa berimplikasi ke ranah hukum. Merepotkan dan menakutkan, bahkan bisa tak terpilih lagi pada periode berikutnya.
Kini, negara harus menanggung semua itu. Negara itu adalah kita, duit kita. Inilah energi yang sedang dihimpun negeri ini yang suatu saat akan dilepas menjadi ledakan. Ledakan pertama butuh waktu 20 tahun, ledakan kedua butuh waktu 32 tahun.
Fenomena relawan itu makin terlembagakan, termasuk dalam pemilihan presiden. Apa yang menimpa anggota DPR secara demonstratif dipraktikkan relawan presiden. Mereka berdemonstrasi menuntut masuk tim transisi kepresidenan, lalu masuk menjadi komisaris BUMN, ada jambore relawan, dan mereka juga berkantor di kawasan istana. Inilah potret Indonesia terkini. Semua tentu ada biaya.
Kita tentu tak ingin ada ledakan yang memorakporandakan lagi. Hal yang kita inginkan adalah ada akselerasi kemajuan seperti yang sudah diraih Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Cina, India, Turki, Brasil, bahkan Afrika Selatan. Namun, tanda-tanda ke arah itu belum terang benar.
Presiden Joko Widodo harus berani bertindak. Palang pintu untuk menggagalkan dana aspirasi itu hanya menyisakan di tangan Presiden. Presiden bisa menolak menandatangani anggaran ini. Pertanyaannya, beranikah Presiden melakukan itu? Mari kita saksikan bersama episode berikutnya.
Zaman Reformasi telah berlangsung 17 tahun. Tanda-tanda kemajuan tatanan baru tak begitu menggembirakan. Yang terjadi adalah rekonsolidasi konservatisme, kembalinya politik elite, politik oligarkik dan plutokratik, dan berlakunya politik kartel. Karena itu, penjarahan kekayaan negara-sumber daya alam, BUMN, dan APBN-makin menjadi-jadi.
Jalan reformasi Indonesia ibarat mendayung sampan di danau yang dipenuhi eceng gondok. Kita bisa menyibak, tapi dengan berlalunya sampan, air yang terbuka itu perlahan tertutup eceng gondok lagi.
Kita membutuhkan pemimpin yang mumpuni dalam mewujudkan cita-cita keadilan ekonomi dan mampu mengonsolidasi kekuasaan dengan stabil.