Sabtu 08 Aug 2015 06:00 WIB

MOS, Ospek, dan Maha-nya Siswa

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh:Asma Nadia

Bukan kebetulan jika pemuda dan pemudi yang kuliah disebut mahasiswa. Gabungan dua kata, maha dan siswa. Ini adalah bentuk penghargaan karena mereka berada di strata paling tinggi,  jauh di atas siswa SD,  SMP, dan  SMA.

Berbeda dengan siswa yang masih perlu diberi dorongan untuk belajar, maha-nya siswa sudah mampu belajar dengan kesadaran sendiri.Mereka bukanlah pemuda pemudi sembarangan. Para mahasiswa sudah lebih dewasa, mandiri, matang, dan lebih segalanya dari siswa lain. Karena berbagai alasan itulah mereka diberi tambahan kata 'maha'.

Akan tetapi, apakah saat ini predikat maha layak dilekatkan pada kata siswa untuk mereka yang berada di jenjang kuliah? Hasil pelaksanaan OSPEK di 2015 ini, rasanya bisa menjadi salah satu jawaban.

Walau pun belum semua, tetapi di tahun ini sebagian besar siswa SMP-SMA mulai menyadari betapa banyak dari atribut  MOS yang merupakan bentuk pelecehan, perpeloncoan, dan pembebanan biaya. Berbagai aksesoris seperti balon, rambut kuncir, atau pun potongan rambut cepak, papan nama besar diikat tali rafia, topi dari ember atau keranjang, tas dari karung atau plastik sampah, tidak lagi menjadi tradisi keren yang perlu diwariskan ke adik-adik pelajar baru.

Perintah yang tidak masuk akal, tugas yang berlebihan, bentakan, dan marah tanpa alasan juga mulai ditinggalkan di MOS tingkat SMP atau SMA. Jika akhirnya pelajar  SMP dan SMA sudah meninggalkan banyak hal-hal tak baik dari tradisi turun temurun MOS,  karena dianggap tidak mendidik, dan cenderung melecehkan,  bagaimana dengan mereka yang berpredikat maha-nya siswa? 

 

Jika mahasiswa masih melakukan keburukan yang sudah ditinggalkan  anak SMP dan anak SMA, maka apakah predikat maha masih layak disandang?

Jika mahasiswa lebih tertinggal pemikirannya, lebih terbelakang cara penyambutan terhadap  mahasiswa baru dibanding anak SMP dan SMA, apakah tetap layak disebut maha-nya siwa?

Tentu  tidak,  seharusnya yang lahir justru rasa malu menyandang status yang tidak mencerminkan kebesaran jiwa.

Sayang, pada kenyataannya  di kelompok siswa berlabel maha ini justru banyak rekam praktik tindak kekerasan dan tugas tidak masuk akal.

Bahkan kerap kali di acara penyambutan, siswa yang berpredikat maha ini masih terjadi kegiatan  yang  tidak edukatif, lebih bernuansa kekerasan, dan kental perpeloncoannya.

Karena itu saya memberi dukungan besar kepada Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Natsir yang menerbitkan buku pedoman tentang pelarangan orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek) mahasiswa baru perguruan tinggi yang menggunakan cara kekerasan atau perpeloncoan.

Sang menteri bahkan memerintahkan agar ketua panitia OSPEK dipegang oleh dosen, bukan mahasiswa. Hal ini dimaksudkan untuk memutus mata rantai penyalahgunaan wewenang sebagaimana yang sering terjadi.

Beliau juga memastikan  adanya sanksi jika kekerasan atau perpeloncoan tetap terjadi. Jika penyimpangan  dilakukan mahasiswa senior maka akan ada sanksi akademik. Sedangkan bila tindakannya mengarah ke kriminal maka  universitas bisa mengeluarkan mahasiswa tersebut.  

“Kalau perpeloncoan ini diizinkan secara institusi, maka kami panggil rektornya. Kami juga menurunkan inspektorat untuk mengecek bukti-bukti kasus ini,” ujar sang menteri dalam suatu kesempatan. 

Jika terbukti ada agenda tidak mendidik dilakukan pihak kampus, pihaknya akan memberikan sanksi indisipliner pada rektor, lanjut Muhammad Natsir lagi. Pihak kementerian juga membuka link laporan online jika ada panitia Ospek yang masih melakukan tindak kekerasan dan melanggar.

Semoga langkah-langkah di atas, implementasinya dikawal dengan benar dan diikuti tindakan tegas bagi yang melanggar.

Selain kebijakan dari atas tersebut, hal lain yang menyejukkan, dan  perlu diapresiasi adalah sikap para mahasiswa senior yang mulai menyesuaikan penyambutan mahasiswa baru dengan spirit perubahan.Tidak hanya satu dua kabar yang menggembirakan. Upaya perubahan yang diambil anak-anak muda kita dan sampai ke telinga saya, mungkin juga banyak pihak,

"Teman-teman jika dulu kita paksa anak baru harus tersenyum dan menyapa, kini kita juga harus melakukan apa yang kita wajibkan pada mereka,"  jelas seorang ketua  panitia dalam  rapat OSPEK sebuah perguruan tinggi.

Di saat lain seorang mahasiswa senior mengajak peserta  yang mengikuti rapat untuk mengoreksi diri, "Teman-teman, kini saatnya kita tidak mengedepankan ego!" 

Sungguh mahasiswa seperti mereka sangat layak menyandang predikat maha.

Mereka yang tidak menyelewengkan kekuasaan sekalipun punya wewenang dan  bisa melakukannya.

Mereka yang sadar untuk mengubah diri sekalipun tidak ada tekanan yang mengharuskan.

Mereka yang menginginkan perubahan  sekalipun masih banyak yang bersikeras mempertahankan tradisi.

Semoga arus perubahan  di OSPEK tahun ini lebih besar dari keinginan mempertahankan tradisi yang telah cukup banyak membawa tragedi.

Kepada seluruh mahasiswa di tanah air, selamat menyambut  adik-adik yang baru menginjak perguruan tinggi dengan cinta, bukan rasa takut. Dengan damai dan bermartabat.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement