Jumat 18 Sep 2015 06:00 WIB

Semua Tombol Kekuasaan di Ujung Jari Jokowi

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

“Situ bisa jadi Presiden karena kita-kita yang duduk di sini.” Demikian kira-kira kata-kata yang disemburkan ke Jokowi tak lama setelah dia memenangkan pemilihan presiden pada 2014. Yang menyemburkan bukan orang sembarangan. Tentu kita sulit mengklarifikasinya untuk hal yang sesensitif itu. Namun secara substansial benar belaka. Jokowi adalah orang yang didudukkan. Modal Jokowi 'hanyalah' peluang menang dan dukungan publik yang besar. Dia tak punya partai, bukan petinggi partai, tak punya duit banyak, dan bukan figur yang sudah malang melintang di blantika nasional.

Boleh dikata, Jokowi hanyalah penumpang – lebih tepatnya petugas partai. Namun itu dulu, bahkan bukan dulu sekali. Setelah 10 bulan berkuasa, Jokowi mengatakan, “Mungkin sedikit ingin saya jelaskan mengenai terutama situasi ekonomi. Karena menurut saya situasi politik alhamdulillah sudah selesai.” Hal itu ia ungkapkan saat bertemu para rektor, Jumat, 11 September lalu. Itu hanya sehari setelah ia mengeluarkan paket kebijakan ekonominya. Paket kebijakan itu dikeluarkan sebulan setelah Jokowi melakukan perombakan [pertama] kabinetnya, yakni pada 12 Agustus 2015. Ya, Jokowi sudah berhasil melakukan konsolidasi politik, menata lini kekuasaannya. Ia bukan lagi penumpang maupun petugas partai.

Kini, seluruh tombol kekuasaan berada di ujung jarinya. Salah besar bagi sesiapapun yang meremehkan keterampilan politik Jokowi. Para pemimpin partai yang mengusungnya tak lagi bisa mendiktenya begitu saja. Dia bebas melakukan reshuffle menteri. Jokowi pandai berselancar meniti ombak. Jokowi sangat terampil berpolitik. Dia mampu memainkan dukungan publik, keriuhan para relawan, sikap pers yang tetap mendukungnya, dan netizen.

Padahal, saat menyusun kabinet, boleh dikata ia banyak berkompromi. Ia harus nrimo pada pimpinan partai pengusungnya. Namun apapun Jokowi adalah seorang presiden dengan segala kekuasaan yang dimilikinya. Ia memulai dengan melantik Luhut Binsar Panjaitan sebagai kepala staf kepresidenan. Luhut adalah kartu pertama yang dikeluarkan Jokowi. Jenderal Kopassus ini dikenal jago kontraintelijen dan menjadi menteri perdagangan di era Gus Dur. Setelah itu ia melakukan deal dengan TNI AD. Kesepakatan pergiliran tiga matra tentara untuk jabatan panglima TNI pun berhasil ia ubah. Ia menaikkan KSAD menjadi panglima TNI, yang berarti melepas 'jatah' TNI AU. Manuver Jokowi yang menyodorkan Budi Gunawan (BG) – mantan ajudan Megawati saat menjadi presiden -- sebagai kepala Polri ke DPR justru menghasilkan kepala Polri Badrodin Haiti. Saat itu muncul kontroversi, yang disusul penetapan tersangka oleh KPK terhadap BG. Naiknya Badrodin tentu secara politik menguntungkan Jokowi.

Pergulatan berikutnya adalah pengangkatan kepala BIN. Ada banyak nama yang dijagokan untuk menjadi kepala intelijen tersebut. As'ad Said Ali (mantan wakil kepala BIN di masa AM Hendropriyono dan mantan wakil ketua umum PB NU), Fachrul Razi (mantan wakil panglima TNI di masa Wiranto), dan Sjafrie Sjamsoeddin (mantan wakil menhan yang berasal dari Makassar). Tiga kandidat ini diasosiasikan memiliki kedekatan dengan figur-figur partai/politik yang mengusung Jokowi dalam pilpres lalu. Ternyata Jokowi justru mengangkat Sutiyoso, jenderal Kopassus yang cukup sukses sebagai gubernur DKI Jakarta dan juga ketua umum PKPI.

Pada saat bersamaan, melalui sedikit celah di undang-undang, pemerintahan Jokowi diuntungkan oleh perpecahan di Partai Golkar dan PPP – dua partai yang mengusung Prabowo dalam pilpres. Dua partai ini juga dikenal lihai dalam bersiasat. Partai ini berisi politisi yang terlatih sejak masa Orde Baru. Sikap Menkumham dalam mendendang pertarungan perpecahan dua partai ini memberikan keuntungan politik besar bagi pemerintah. Oposisi di parlemen tak bisa solid dan tak bisa efektif. Bandingkan dengan keriuhan yang berhasil diciptakan PDIP saat beroposisi terhadap pemerintahan SBY melalui isu buruh, pendidikan, kesehatan, harga BBM, kemiskinan, dan seterusnya. Demokrat dan Gerindra belum bisa berpolitik secara canggih karena ketergantungan yang kuat pada figur SBY dan Prabowo, apalagi Demokrat baru selesai menghadapi prahara hebat dan banyak kehilangan kader berkualitas. Dua partai ini juga belum memiliki jam terbang yang tinggi. PAN yang makin solid di kepengurusan baru hanya melihat satu peluang: lompat untuk masuk kabinet Jokowi. Sedangkan PKS yang terpuruk pada pemilu lalu sibuk berkonsolidasi dan berbenah diri.

Pada perombakan kabinet pertama, Jokowi mendapat dua peluru kuat, yaitu Rizal Ramli dan Luhut. Rizal bahkan mengeluarkan jurus “rajawali ngepret”. Mantan aktivis mahasiswa ITB yang kemudian menjadi ekonom ini juga pernah menjadi kompatriot Luhut saat di kabinet Gus Dur. Melalui manuver dewa mabuknya, Rizal kepret kanan kepret kiri. Dari semua itu, yang selalu kena tembak adalah Jusuf Kalla (JK), wakil presiden. Jika terjadi eskalasi politik, JK adalah satu-satunya ancaman bagi Jokowi. Saat pengumuman perombakan kabinet yang kedua -- saat PAN benar-benar masuk kabinet – maka konsolidasi politik Jokowi sudah benar-benar tuntas. Pemerintahannya aman di parlemen, di pemerintahan, dan di lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk KPK.

Pada saat seperti itu, Jokowi sudah berubah dari seorang petugas partai menjadi 'pengendali angin'. Tantangannya adalah kapan ia menekan tombol apa. Angin bisa menciptakan topan, bisa pula menggelorakan badai, atau menghadirkan cuaca yang basah yang membuat bangsa ini bisa bercocok tanam. Keterampilan politik saja tak cukup. Politik hanyalah alat, sedangkan substansinya adalah visi dan nurani. Visi bisa kita pinjam, namun nurani melekat di dasar jiwa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement