REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Final Piala Presiden antara Persib Bandung dan Sriwijaya sejatinya bukan sekadar pertandingan olahraga, melainkan lebih dari itu. Peristiwa ini merupakan pengukuhan kembali wibawa pemerintah sebagai pemerintah.
Sebelumnya, sering kali kebijakan olahraga pemerintah pusat, pemerintah daerah, juga aparat keamanan seakan didikte para suporter sepak bola. Misalnya, untuk menghindari kerusuhan antarsuporter-seperti yang sering terjadi-pertandingan final dipindahkan ke luar Jakarta. Dengan alasan sama, izin bertanding tidak diberikan, bahkan pernah pertandingan dihentikan sebelum selesai, semata demi menghindari keributan.
Sebagai langkah jangka pendek, memang kelihatannya bijak, mengantisipasi kerusuhan. Namun, untuk jangka panjang, akan berdampak buruk. Pertama, memindahkan tempat pertandingan hanya agar tidak terjadi kerusuhan sama sekali tidak mendorong masyarakat (baca suporter) menjadi orang yang lebih baik atau lebih menaati hukum dan keteraturan sosial.
Kedua, ketakutan pemerintah dan aparat ini memberikan suporter kekuasaan untuk mendikte kebijakan pemerintah dan olahraga. Ketiga, membuat aparat keamanan seperti tidak mampu mangatasi kericuhan-atau mengesankan aparat mencari jalan mudah. Keempat, menurunkan wibawa pemerintah. Alhamdulillah, tahun ini semua berubah. Pemerintah kembali pada fungsi dirinya, yaitu memerintah. Dimulai dengan langkah Menpora yang menegaskan kekuasaan pemerintah atas asosiasi olahraga yang tidak mau menghormati aturan, pemerintah mulai menyelenggarakan Piala Presiden.
Semua pihak bahu-membahu menyukseskan pergelaran tahun ini. Panitia dengan berani menyatakan akan tetap menyelenggarakan final di Jakarta sekalipun muncul ancaman adanya kerusuhan. Pernyataan ini tentu keluar karena tahu ada dukungan besar dari pemerintah. Gubernur Jakarta dengan tegas mengatakan akan menindak secara hukum mereka yang mengacau. Langkah yang menunjukkan bahwa pemerintah Jakarta tidak mau didikte perusuh. Gubernur juga mengancam akan mencabut fasilitas DKI bagi pelajar yang terlibat kerusuhan.
Aparat keamanan juga bersungguh-sungguh menyiapkan pengamanan dan pencegahan kerusuhan. Polda yang dilewati jalur suporter berkoordinasi untuk mengantisipasi. Tidak kurang melibatkan 10 ribu aparat polisi, 1.500 orang TNI, dan 2.000 orang Satpol PP. Polisi juga melibatkan bagian cyber crime untuk menindak mereka yang menyebarkan kebencian dan ancaman kerusuhan di media sosial. Sekalipun tetap ada masalah, pemerintah sudah membuktikan mereka mampu bertindak dan tidak didikte perusuh.
Biaya besar, harus diakui. Banyak yang protes, tentu saja. Akan tetapi, ini bukan cuma masalah bola, melainkan bagian dari pembentukan karakter bangsa dan karakter pemerintahan yang berwibawa. Seharusnya, hal ini dilakukan sejak dulu, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Saya memberikan apresiasi tinggi atas kembalinya wibawa pemerintah untuk menjadi pemerintah. Kini, saatnya pemerintah, termasuk pemerintah daerah, kembali menjadi pemerintah yang berwibawa dan tidak mau didikte mereka yang melanggar aturan dan hukum.
Satu kota di Jawa Barat telah menetapkan jam malam. Kota yang dulunya hidup hingga malam penuh dengan wisata kuliner, kini membunyikan alarm setiap menjelang tengah malam. Pebisnis dan orang yang biasa beraktivitas pada malam hari harus berhenti melakukan kegiatan setelah tengah malam. Salah satu alasannya, banyak kejahatan dan kegiatan geng motor malam di kota tersebut.
Lalu, siapa yang berkuasa? Apakah pemerintah atau geng motor? Jika pemerintah yang berkuasa, bukan jam malam solusinya, tapi tangkap geng motor yang berkeliaran.
Di kota tempat saya tinggal, minimarket dilarang buka 24 jam. Alasannya, sering ada perampokan setelah dini hari. Kembali kita bertanya, siapa yang sebenarnya berkuasa?
Perampok atau pemerintah. Jika ada perampok di malam hari, tangkap pelakunya, bukan memerintahkan pemilik toko menutup toko lebih dini.
Repot? Ya, repot. Mahal, ya mahal. Tapi, itu biaya kewibawaan negara dan pemerintah. Jangan hanya mengambil jalan mudah, sebaliknya lakukan langkah-langkah yang memang semestinya. Selamanya pemerintah tidak pantas menyerah kepada penjahat dan pembuat onar. Sikap yang sama harus diterapkan terkait bencana asap yang dari tahun ke tahun selalu terjadi. Sebagian besar diakibatkan oleh lahan di perkebunan milik swasta. Saatnya pemerintah kembali menunjukkan kewibawaan.
Pemerintah harus lebih bersungguh-sungguh mengatasi masalah asap dibandingkan menangani suporter bola. Melibatkan lebih banyak tenaga, menyiapkan lebih banyak dana. Karena, pemerintah bisa. Jika tidak, rakyat pasti protes keras.
Pemerintah itu memerintah, maka perintahkan para pengusaha agar menjaga keamanan lingkungan atau jika tidak, maka hukum bicara. Menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Jika ditegakkan dalam koridor yang tepat, sesuai aturan, rakyat siap mendukung sikap tegas pemerintah demi kemaslahatan rakyat.