Jumat 20 Nov 2015 06:00 WIB

Freeport, Akhirnya Gempa Juga

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Pada Jumat (16/10) bulan lalu saya menulis di kolom ini tentang kisruh 'rencana perpanjangan' kontrak karya Freeport. Judulnya Berebut Panas dan Nikmatnya Freeport. Konteks tulisan itu adalah seputar kepret-mengepret antara Rizal Ramli dan Sudirman Said, antara Menko Maritim dan Sumberdaya dan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral. Kali ini, Sudirman melaporkan Setya Novanto, ketua DPR, ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Kepada pers, Sudirman tak menyebutkan siapa yang ia laporkan, namun publik akhirnya mengetahui juga. Suratnya ke MKD bocor, demikian juga materi yang diadukan pun bocor.

Pengaduan ini bermula dari pertemuan Setya Novanto dengan Ma'roef Sjamsoeddin, direktur utama PT Freeport Indonesia, di kawasan Pacific Place, Jakarta. Pertemuan terjadi pada 8 Juni 2015. Saat itu Novanto didampingi seorang pengusaha minyak, MR, yang oleh anggota DPR Effendi Simbolon adalah M Reza Chalid. Rupanya pihak Freeport merekam pertemuan tersebut. Ma'roef adalah mantan wakil kepala Badan Intelijen Negara. Dia adalah jenderal berbintang dua dan adik kandung Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, mantan Pangdam Jaya dan sekjen Kemenhan. Pertemuan 8 Juni adalah pertemuan yang ketiga. Berdasarkan transkrip rekaman yang beredar, ada pernyataan untuk meminta saham 20 persen. Saham itu disebut untuk Presiden Jokowi 11 persen dan untuk Wapres Jusuf Kalla 9 persen. Mereka sendiri meminta saham di proyek pembangkit listrik yang akan dibangun Freeport.

Kisah ini sebenarnya sudah didengar para pemimpin redaksi lebih dari sebulan lalu. Yang bercerita adalah Sudirman dan Ma'roef sendiri, dalam dua pertemuan terpisah. Namun mereka meminta off the record. Dalam wawancara dengan Kompas TV, Sudirman bercerita ihwal pencatutan nama presiden dan wapres tersebut. Memang dia tak menyebut nama. Namun kabar ini segera disambar banyak pihak. Sudirman diminta untuk membuka saja informasi tersebut. Di antara yang menyuarakan itu adalah Luhut B Panjaitan, seperti dimuat media massa. Sedangkan Adhie Massardi menyebut Sudirman bisa dikenai pasal ujaran kebencian. Adhie dikenal memiliki kedekatan dengan Rizal, demikian pula Luhut. Nama Luhut memang beberapa kali disebut dalam transkrip tersebut. Saat pertemuan di Pacific Place terjadi, Luhut masih menjadi Kepala Staf Kepresidenan, kini ia sudah menjadi Menko Polhukam.

Tak hanya mengadukan ke MKD, Sudirman juga mengutus Said Didu, staf khusus Menteri ESDM, ke MKD untuk menyerahkan bukti rekaman percakapan, Rabu sore lalu. Pagi harinya di hari yang sama Presiden Jokowi juga sempat membuat lelucon saat memberikan sambutan pada acara perhimpunan humas di Istana. Ia memplesetkan penipuan via SMS “Mama Minta Pulsa” menjadi “Papa Minta Saham”. Plesetan ini sebelumnya sudah beredar dalam bentuk meme di media sosial. Sikap tegas dan dukungan terhadap langkah Sudirman juga sudah dikemukakan Jokowi (via Seskab Pramono Anung Wibowo) dan Kalla. Kamis kemarin, Luhut akhirnya mengadakan jumpa pers untuk menanggapi hal ini. Ia menyatakan bahwa Presiden tak pernah memberi izin pada Sudirman untuk mengadukan soal ini ke MKD. Bahkan Luhut menyebutkan bahwa Presiden sudah mengetahui siapa orang yang berada di belakang Sudirman.

Dari sisi politik, akhir kisah ini masih belum diketahui. Rizal Ramli bahkan berkomentar bahwa ini hanya “Sinetron antar gang. Kadang konflik, kadang damai”. Effendi Simbolon juga menyebut bahwa Sudirman adalah orangnya Rini Soemarno. Sudirman memang pernah menjadi direkrut dan sekretaris perusahaan di masa Ari Soemarno menjadi direktur utama Pertamina. Ari adalah kakak kandung Rini. Jika disambung-sambungkan, Novanto juga memiliki kaitan dengan Luhut. Mereka sama-sama politisi Golkar. Sejumlah pihak memang menilai ini dari sudut pertarungan kepentingan. Kepentingan antarkelompok politik dan bisnis. Mereka dinilai hanya perang pengaruh di kabinet dan juga berebut kueh Freeport. Sudut pandang ini ada kesan untuk mengabaikan substansi kekisruhan ini.

Menghubung-hubungkan sisi politik bisa saja benar, namun bisa juga salah. Yang lebih objektif adalah fokus pada permasalahannya. Pertarungan politik akan selalu ada. Sampai akhir zaman selalu seperti itu: berebut tahta dan harta. Karena itu yang lebih substansial adalah mengetahui mengapa mereka berperang dan untuk apa. Apa makna kebaikannya bagi bangsa dan negara ini. Dalam konteks ini sebaiknya fokus pada substansinya, yakni ada upaya yang mengarah pada kolusi dan korupsi yang dilakukan pejabat negara. Kita berharap MKD bisa bekerja secara profesional dan objektif. Namun kita juga paham bahwa MKD adalah lembaga politik, bukan lembaga hukum seperti kejaksaan, kepolisian, atau KPK.

Sudirman secara sadar masuk dalam pusaran politik ini. Hal itu tentu di luar kendali dan jangkauan dirinya. Rekam jejak Sudirman bukanlah seorang politisi atau orang yang terlibat dalam gerakan politik praktis. Walau dia adalah aktivis mahasiswa saat kuliah, tapi setelah itu ia praktis hanya berkecimpung di dunia profesional. Kendati pun ia aktif dalam LSM antikorupsi. Toh tetap saja dia tak memiliki kekuatan politik yang bisa menopang dirinya. Kekuatan Sudirman satu-satunya adalah rekam jejaknya dan orang yang dipercaya Presiden untuk menjadi menteri. Lalu mengapa ia berani melakukan itu? Dalam wawancara dengan Republika, Sudirman menjawab, “Saya hanya merasa perlu membersihkan lapangan yang sedang saya urus. Itu kerikil-kerikil yang akan mengganggu penataan sektor ini.”

Ia menyadari bahwa di balik ini ada game. Di publik menekan Freeport, misalnya soal tak memperpanjang kontrak, tapi di bawah meja mengirim pesan bahwa dirinya bisa menyelesaikan soal perpanjangan kontrak. “Itu game primitif. Kita harus membedakan antara negosiasi dan pemerasan. Ini memalukan Republik.”

Pernyataan-pernyataan Sudirman demikian gagah. Apakah dia tidak sedang bersandiwara? Sejarah yang akan membuktikannya. Dalam konteks ini, yang bisa kita lakukan adalah mencermati proses penataan energi dan pertambangan yang berada dalam lingkup tugas dan tanggung jawab Sudirman. Walau bagaimana pun publik sudah muak dengan praktik percaloan dan korupsi oleh pejabat negara. Rakyat juga sudah lama menanti kedaulatan di bidang pertambangan: kembalikan tambang Grasberg ke pangkuan Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement