Jumat 04 Dec 2015 06:00 WIB

Adu Bagong Sudirman Vs Novanto

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Sudirman Said melawan Setya Novanto sudah adu bagong, tabrakan secara berhadap-hadapan. Ujungnya bisa zero sum game.

Pertarungan keduanya ibarat adu tahta dan harta. Novanto memang ketua DPR, lembaga tinggi negara. Jabatan ini secara kenegaraan setara dengan jabatan lembaga tinggi negara yang lain seperti ketua MPR, ketua DPD, ketua MA, bahkan presiden. Mengikuti diktum trias politica, cabang-cabang kekuasaan dibagi oleh eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Novanto adalah pimpinan lembaga legislatif. Pada sisi lain ia juga mempunyai posisi penting dalam Koalisi Merah Putih, koalisi yang dibentuk saat pemilihan presiden yang lalu.

Sudirman hanyalah seorang menteri, bawahan presiden. Namun dalam konteks pertarungan kali ini, setidaknya hingga saat ini, Sudirman didukung oleh lebih banyak partai dan juga oleh presiden.

Di kabinet sempat terjadi kegaduhan. Ini karena Menko Polhukam Luhut B Panjaitan ada tendensi tak mendukung langkah Sudirman. Sedangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla justru terang-terangan mendukung menteri ESDM tersebut. Kegaduhan terhenti semenjak Seskab Pramono Anung Wibowo membuat pernyataan. Atas nama presiden, Anung menyatakan agar menteri tak boleh lagi mengumbar perbedaan pendapat ihwal kasus ini di publik. Bahkan secara tegas presiden menyatakan agar menyerahkan soal ini ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Esoknya, langsung ada perombakan keanggotaan di MKD. PDIP, Nasdem, dan PAN menarik sebagian atau seluruh anggota sebelumnya dan digantikan dengan orang-orang baru. Beberapa hari kemudian, giliran Golkar yang melakukan rotasi di MKD.

Hasil perombakan itu langsung terlihat pada sidang MKD hari itu: skornya 11-6 untuk kemenangan Sudirman. Kasus pengaduan Sudirman ke MKD diterima untuk disidangkan, bahkan dilakukan secara terbuka. PDIP, Nasdem, Hanura, dan PKB yang ada dalam Koalisi Indonesia Hebat – lawan KMP saat pemilu – mendukung Sudirman. Bahkan PAN, PKS, dan PD yang saat pilpres ada di KMP pun mendukung Sudirman. Hanya Golkar, Gerindra, dan PPP yang menyokong Novanto. Dukungan kuat juga diperlihatkan media arus utama serta netizen. Sebelum ada perombakan anggota MKD, sempat muncul rumor yang dikemukakan anggota MKD bahwa ada upaya penyuapan ke anggota MKD hingga angka Rp 20 miliar. Itulah yang saya sebut pertarungan tahta dan harta, antara kekuatan kekuasaan dan kekuatan uang.

Pada persidangan pertama, yang disiarkan secara langsung oleh Metro TV dan TV One, peta 11-6 itu sangat terlihat. Persidangan ini tak mencerminkan persidangan etik. Ini lebih mencerminkan persidangan politik dan pidana. Warnanya menjadi campur aduk. Sesama hakim – yang beranggotakan 17 orang – saling interupsi dan memotong. Mereka menjadi hakim, jaksa, dan advokat sekaligus. Pengadu dijadikan objek bulan-bulanan. Namun pada persidangan pertama hanya menghadirkan pengadu ini, Sudirman mampu menunjukkan kualitasnya: dingin, fokus, efektif, dan mampu bersikap tegas dan jelas. Tak heran jika reaksi netizen makin mendukungnya.

Apakah persidangan pertama ini bisa menjadi cermin kemenangan Sudirman di akhir persidangan nanti? Masih belum jelas. Walau bagai mana pun, MKD adalah lembaga politik. Semua tergantung pada kesepakatan. Golkar dan PDIP adalah yang menjadi penentu siapa yang menang. Jika skornya tipis, PD juga akan ikut menentukan. Mengapa Golkar dan PDIP?

Novanto adalah kader Golkar, karena itu partai ini akan bertarung habis-habisan untuk tak kehilangan segalanya. PDIP adalah partai terbesar dan sebagai the rulling party sehingga memiliki kepentingan untuk mengamankan parlemen. PDIP tak cukup hanya mengendalikan eksekutif. Kini kalkulator politik mereka sedang bekerja. Golkar atau PDIP yang menang, rasanya sulit bagi Novanto untuk mempertahankan kursi empuknya sebagai ketua DPR. Jika PDIP mengambil alih jabatan ketua DPR, maka perjalanan politik ke depan akan terus panas. Jika ada kompromi maka Golkar tetap memegang posisi ketua DPR kendati bukan Novanto lagi dan dengan posisi politik yang lebih lemah. Juga ada kemungkinan perombakan kepemimpinan di DPR. Hampir mustahil pertarungan ini tanpa tumbangnya salah satu dari mereka – Sudirman atau Novanto.

Secara substansial publik akan lebih memenangkan Sudirman, namun pertarungan politik bukan soal benar atau salah tapi soal kuat atau lemah. Pertarungan ini juga akan berpengaruh terhadap lanskap politik ke depan. Terlalu banyak nama besar yang disebut, dan ada figur-figur kuat yang terlibat. Tak hanya menyangkut Novanto dan M Reza Chalid saja. Soal ini disadari benar oleh Sudirman. Menteri ESDM ini secara sadar masuk pusaran politik yang jauh berada di luar jangkauan dan pengaruhnya. Namun kecerdikan, kalkulasi, dan kejernihannya membuat dirinya bisa melompat di antara batu-batu pijak yang tepat. “Setidaknya saya sudah membuat sesuatu menjadi transparan, tidak lagi berada di ruang gelap dan bisik-bisik,” katanya kepada wartawan. Ia siap untuk tumbang.

Transparansi dan akuntabilitas adalah kunci-kunci bagi kukuhnya budaya demokrasi. Demokrasi tak lagi berada di ruang seolah-olah dan di bilik prosedural belaka. Kita sedang memasuki fase substantif. Semoga publik tak mudah melupakannya pada saat pemilu nanti.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement