REPUBLIKA.CO.ID, Mengamati profil para teroris yang melancarkan serangan di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1) lalu, sebenarnya menimbulkan rasa pilu. Bukan apa-apa, dari empat teroris yang tewas, diketahui seorang adalah sopir angkot, seorang mekanik, seorang penjual kebab turki, dan seorang lagi residivis.
Adalah Muhammad Ali yang berprofesi sebagai sopir angkot. Ia merupakan salah seorang teroris yang tewas dalam penyergapan polisi usai melancarkan serangan yang mematikan itu. Menurut istrinya, Siti Maesaroh (31 tahun), selama setahun ini, suaminya bekerja sebagai sopir angkot KWK 14 jurusan Citraland, Jakarta Barat. Sebelumnya, Muhammad Ali bekerja sebagai satpam di sebuah restoran. Keluarga ini tinggal di rumahnya di Kampung Sanggrahan, Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat.
Berikutnya adalah Dian Juni Kurniadi, warga asal Tegal, Jawa Tengah. Ia tewas di pos polantas, depan gedung Sarinah, Jalan MH Thamrin. Selama dua tahun hingga September 2015 lalu, ia bekerja sebagai mekanik di perusahaan peternakan ayam PT Charoen Pokphand Jaya Farm di Sampit, Kalimantan Tengah. Menurut manajer unit di perusahaan itu, Kristiyono, pemuda yang dikenal ramah itu berhenti bekerja karena ingin mencari pekerjaan yang lebih baik.
Belum diketahui apa pekerjaan Dian hingga ia terlibat sebagai pelaku teror pada Kamis lalu. Selama di Jakarta, dikabarkan ia tinggal berdekatan dengan teroris lain, Muhammad Ali, di Kampung Sanggrahan, Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat.
Teroris ketiga bernama Ahmad Muhazan bin Saroni (25). Ia berasal dari Desa Kedungwungu, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Ia tewas karena bom bunuh diri di dalam Starbucks. Lima tahun lalu, ia ikut kakak iparnya yang memiliki usaha ban vulkanisir di Jakarta. Setelah menikah pada 2012 lalu, Ahmad Muhazan berjualan kebab turki di Cikampek, Jawa Barat.
Teroris keempat adalah Afif dengan nama alias Sunakim. Fotografer memotretnya berkaus hitam, bercelana jins, membawa ransel dan bertopi sedang menodongkan senjata dan siap menembak. Afif tewas karena ledakan bom.
Tidak seperti Muhammad Ali, Dian, dan Ahmad Muhazan, Afif adalah residivis. Ia pernah ditangkap dalam kasus pelatihan militer di Aceh. Ia kemudian dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara. Afif dan keluarganya tinggal di Subang, Jawa Barat.
Bila berita tentang identitas keempat teroris yang disampaikan media massa itu betul adanya, muncul pertanyaan adakah orang-orang yang berprofesi sebagai sopir angkot, mekanik, dan penjual kebab itu sadar benar dengan apa yang sedang mereka lakukan? Apakah mereka paham tentang apa itu jihad? Adakah mereka benar-benar ingin mendirikan negara Islam?
Kalau pertanyaan itu saya kemukakan, bukan berarti saya sedang merendahkan profesi atau pekerjaan mereka. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa strata mereka secara sosial-ekonomi masih tergolong kelas menengah bawah atau bahkan rendah--baik ekonomi, intelektual, maupun pemahaman agama sekalipun.
Lalu, apakah orang-orang dengan latar belakang dan kondisi sosial semacam ini benar-benar ingin mendirikan negara Islam? Lantas, negara Islam seperti apa yang ingin mereka perjuangkan? Bukankah negara ini juga didirikan oleh tetesan keringat dan darah para syuhada dari para pejuang Islam?
Bukankah negara ini didirikan oleh para ulama dan kiai? Saya khawatir mereka sebenarnya hanyalah korban atau hanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengacaukan negeri ini.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyebut teror bom di Jalan MH Thamrin ini diduga didalangi kelompok pimpinan Bahrun Naim, residivis yang kini berada di Suriah. Bahkan, menurut Kapolri, kelompok ini berkali-kali telah menerima kiriman (transfer) dana dari Bahrun antara Rp 40 juta hingga Rp 70 juta. Transfer dana ini untuk membiayai operasional serangan teror di Indonesia.
Hal ini yang juga diakui oleh sebuah kelompok di Timur Tengah yang menamakan diri sebagai ad-Daulah al-Islamiyah fi al-Iraq wa as-Suriyah alias ISIS. Kelompok militan ini mengatakan, serangan di kafe Starbucks dan pos polisi di Jakarta Pusat dilakukan oleh apa yang mereka sebut 'tentara khalifah'.
Artinya, negara Islam di Indonesia yang ingin mereka dirikan adalah seperti Negara Islam di Irak dan Suriah. Atau mungkin hanyalah sebagai perpanjangan tangan alias bagian dari ISIS. Bukankah ISIS telah mendeklarasikan negaranya dengan bentuk kekhalifahan dengan khalifahnya Abu Bakar al-Baghdadi? Bukankah al-Baghdadi telah mengumumkan gelar dirinya sebagai amirul mukminin?
Atau dengan kata lain, sang khalifah Abu Bakar al-Baghdadi adalah penguasa yang harus ditaati oleh umat Islam di seluruh dunia. Dan, siapa pun yang tidak mau tunduk atau menolak untuk berbaiat kepada ISIS dan sang khalifah Abu Bakar al-Baghdadi, mereka harus diperangi.
Kalau ini yang terjadi, para pelaku serangan bom di Thamrin--Muhammad Ali, Dian Juni Kurniadi, Ahmad Muhazan, dan Afif--tidak ada bedanya dengan mereka yang telah direkrut oleh ISIS untuk berperang di Irak dan Suriah. Yaitu, anak-anak muda dari berbagai negara dengan latar belakang yang berbeda-beda. Dari rocker, gelandangan, pengangguran, pecandu narkoba, mahasiswa, anak sekolah, hingga karyawan.
Intinya, para pemuda yang telah berhasil direkrut ISIS, terutama dari Eropa, adalah orang-orang yang pengetahuan dan wawasan agamanya sangat cetek. Mereka ini kemudian terpincut (baca: tertipu) dengan definisi jihad yang ditawarkan ISIS. Jihad yang menawarkan kesyahidan, yaitu surga apabila mati dan bahagia dunia akhirat, kalau selamat atau masih hidup.
Karena itulah, kemudian para pemuda itu, termasuk para pelaku serangan bom di Thamrin, 'rela dan ikhlas' untuk menjadi martir pelaku bom bunuh diri. Mereka menyebutnya sebagai 'pengantin', merujuk pada janji-janji surgawi bahwa mereka yang bersedia mati dengan meledakkan diri sendiri akan langsung dijemput bidadari dan menjadi suami istri yang kekal bahagia di surga. Demi bidadari di surga, mereka kemudian rela meninggalkan anak-anak dan istri untuk menjadi pelaku bom bunuh diri. Padahal, sejatinya mereka hanya diperalat pimpinan ISIS untuk memperoleh kekuasaan.
Untuk itu, semua pihak harus memiliki perhatian kepada anak-anak muda yang kemudian berubah menjadi radikal ini. Aparat keamanan harus bisa menemukan hingga ke akar-akarnya kelompok militan ini, misalnya, bagaimana cara perekrutan, pembinaan, pendanaan, hingga pelatihan mereka.
Para tokoh agama, ulama, kiai, para ustaz, dan ormas-ormas keagamaan harus mampu memberi pemahaman yang benar tentang Islam yang rahmatan lil 'alamin ini. Yang terakhir, ini perlu digarisbawahi karena belajar agama sekarang ini sudah sangat mahal alias komersial.
Sudah jarang ada kelompok-kelompok pengajian yang gratisan, termasuk di masjid-masjid dan mushala sekalipun. Sebab, ketika mereka sulit atau tidak mendapatkan jawaban tentang berbagai persoalan hidup ini dari para tokoh dan pemimpin agama serta ormas-ormas Islam, bisa dipastikan mereka akan lari kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti ISIS.