Selasa 19 Jan 2016 06:00 WIB

Kotak Sunni, Kotak Syi'i, Tinggalkan Kotak (II)

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Dua kekuatan intelektual dan spiritual dalam memahami kitab suci di atas sering benar binasa menghadapi konflik politik dan teologis melanda komunitas Muslim. Tragedi Baghdad pada 1258 saat pasukan Hulagu Khan memorakporandakan ibu kota Kerajaan Abbasiyah patut kita rekamkan kembali sebagai pelajaran moral bagi umat Islam sedunia, jika saja mereka punya hati untuk itu.

Panglima Mongol itu rupanya sudah tahu peta perbelahan Sunni-Syiah di Irak untuk dieksploitasi. Raja Abbasiyah terakhir, Musta'shim, dikenal sebagai penguasa Sunni yang selalu menghina kelompok Syi'i, mempermainkan iman mereka di muka publik. Sebagai raja peminum, Musta'shim lebih suka bergaul dengan pemusik dan para badut tinimbang dengan para penyair dan filosuf.

Karena menyadari raja Sunni ini mau diserang Hulagu, sebagian tokoh Syi'i malah memberi fasilitas kepada pasukan Mongol yang dengan sukarela membantu mereka dalam menguasai beberapa kota dalam perjalanan menuju Baghdad. Dalam situasi kritikal ini, Perdana Menteri a-Alkamzi, seorang penganut Syi'i, mengkhianati sang raja dengan memihak Hulagu. Hulagu berjanji tidak akan menghancurkan tempat-tempat suci kaum Syi'i di Najaf dan Karbala.

Apa yang kemudian berlaku? Serangan atas Baghdad terjadi pada Januari 1258. Saat pasukan Cina sebagai bagian dari tentara Hulagu menerobos dinding luar di bagian timur Baghdad, al-Musta'shim bersama pasukannya keluar sambil memberi tawaran untuk berunding, tetapi ditolak Hulagu.

Selama tujuh hari Baghdad dikepung dan kemudian membunuh sekitar 1 juta penduduknya, baik penganut Sunni maupun penganut Syi'i, karena Hulagu ternyata tidak bisa membedakan mereka. Pemihakan kelompok Syi'i kepada pasukan Mongol menjadi sia-sia. Semuanya binasa di Baghdad. Maka jadilah air Sungai Tigris berubah menjadi merah karena darah Muslim: Sunni dan Syi'i. (Lihat Tarek Fatah, Chasing A Mirage: The Tragic Illusion of An Islamic State. Mississauga, Ontario: John Wiley & Sons, 2008, hlm 232).

Dengan hancurnya Baghdad yang juga diberi nama Madinat al-Salam (Kota Perdamaian), maka Kerajaan Abbasiyah yang renta dalam usia sekitar 500 tahun kini terbenam ke dalam museum sejarah untuk selama-lamanya. Masihkah akan dilanjutkan juga perseteruan Sunni-Syi'i untuk tahun-tahun yang akan datang? Di abad modern, keberingasan pasukan Mongol itu dilanjutkan oleh Amerika dan sekutunya.

Sejarah Syi'i adalah sejarah tragedi demi tragedi. Karena selama berabad-abad dikuyo-kuyo penguasa Sunni, kaum Syi'i lalu mengembangkan doktrin taqiyah (penyamaran identitas) demi kelangsungan hidup di lingkungan kaum Sunni yang memusuhi mereka.

Salah satu tragedi pada periode lebih awal ialah terbunuhnya al-Hussain bin Ali pada 680 di Karbala (Irak) di tangan tentara Yazid bin Muawiyah. Baik golongan Sunni maupun golongan Syi'i sama-sama mengutuk pembunuhan keji atas diri cucu nabi ini.

Bagi kaum Syi'i, Karbala dipercaya sebagai tempat suci sampai hari ini. Pembunuhan al-Hussain ini jelas sebuah kebiadaban yang tidak dapat dimaafkan. Namun menjadikan tragedi yang memicu dendam sejarah ini sebagai pembenar untuk merumuskan doktrin teologi dan politik hanyalah akan membunuh rasionalitas dalam penulisan sejarah.

Perseteruan Sunni-Syi'i ini belum juga padam dalam bilangan abad. Jika kita boleh berandai di abad ke-21 ini, maka kejadian inilah yang bakal berlaku: sekiranya Arab Saudi diserang Israel, tidak mustahil Iran akan membantu negara Zionis itu. Begitu pula sebaliknya: jika Iran diserang Israel, maka Arab Saudi akan berpihak kepada Israel.

Saya sampai kepada kesimpulan ini: baik sunnisme maupun syi'isme, seperti telah disebut terdahulu, tidak ada kaitannya dengan Alquran dan misi kenabian, kecuali jika dipaksakan secara ahistoris. Kotak-kotak ini amat bertanggung jawab bagi lumpuhnya persaudaraan umat beriman.

Maka, jika umat Islam di muka bumi memang mau punya hari depan yang diperhitungkan manusia lain, jalan satu-satunya adalah agar kita keluar dari kotak Sunni dan kotak Syi'i itu karena semuanya itu adalah hasil dari pabrik sejarah sekitar 25 tahun sesudah Nabi wafat.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement