REPUBLIKA.CO.ID, Seorang pejuang suatu saat bisa saja mengalami kejatuhan mental. Dalam situasi kritikal inilah siraman sahabat amat diperlukan dan itulah yang dimainkan Rizzo.
Jawaban Rizzo yang meyakinkan di atas telah memulihkan semangat Atzmon untuk terus bersuara dan bersuara melawan segala bentuk kezaliman dan kekejaman kekuatan Zionis, demi perdamaian dan kemerdekaan Palestina. Amat disesalkan, sebagian negara Arab malah tidak sungguh-sungguh membela Palestina. Dan juga, kita kecewa, antara Fatah dan Hamas masih saja bertikai.
Yang beruntung tentu saja Israel. Inilah dunia yang sedang mengalami kekeringan nurani, tidak terkecuali dunia Islam. Namun, fenomena Atzmon tidak akan redup karena yang disuarakannya adalah pesan inti kemanusiaan. Tentu, Atzmon kecewa karena pada akhir masa jabatan kedua Obama masalah Palestina belum juga tuntas diselesaikan.
Setelah Obama terpilih untuk masa jabatan kedua, Atzmon pada 7 November 2012 menulis, “Dear president, this is your second and last chance to save us all, please don't disappoint us again (Presiden yang terhormat, ini adalah peluang kedua dan terakhir Anda untuk menyelamatkan kami semua, jangan kami dikecewakan lagi).”
Artinya, di mata Atzmon, selama empat tahun dalam jabatan pertama, Obama tidak banyak berbuat untuk perdamaian dunia, khususnya dalam kaitannya dengan masalah Palestina. Oleh sebab itu, pada masa jabatan terakhir, bagi Atzmon, Obama semestinya melakukan terobosan-terobosan penting dan strategis untuk perbaikan kondisi global, tetapi ternyata jauh panggang dari api.
Maka, ungkapan “jangan kami dikecewakan lagi” sampai awal 2016 ini masih tetap berlaku. Dunia kecewa, Obama dalam menjalankan politik luar negerinya setengah lumpuh memenuhi janji-janjinya. Israel semakin mengganas, apalagi dengan munculnya ISIS, masalah Palestina seperti telah terabaikan. Rakyat Amerika yang kabarnya rasional itu ternyata mudah sekali dikibuli kaum Zionis.
Saya sudah menelusuri lewat internet, apakah kira-kira ada pernyataan Atzmon yang lebih keras mengkritik pemerintahan Obama, ternyata belum ditemukan. Memang sulit bagi orang yang simpati kepada seorang tokoh dunia untuk meluncurkan kecaman, sekalipun Atzmon kecewa dengan kepemimpinan Obama yang tak berdaya berhadapan dengan Israel.
Kita tidak tahu berapa lama lagi tanah Palestina dirampok oleh Israel. Sebagaimana pernah dikutip dalam “Resonansi” ini beberapa tahun yang lalu, ungkapan puitis, tetapi sangat tajam dari Atzmon tentang eksistensi Israel di tanah Palestina, saya turunkan lagi di sini, “Hidup di atas waktu pinjaman di sebuah tanah curian.” Bagi Atzmon, cepat atau lambat, Israel harus hengkang dari tanah rampokannya. Tidak ada satu alasan pun bagi Israel untuk tetap tinggal di tanah curian.
Terlalu besar harapan Atzmon semula kepada Obama bagi kepentingan Palestina, tetapi ternyata berujung dengan kekecewaan. Inilah kalimat harapan yang ditulis Atzmon pada 2009 itu, “Tidak seperti boneka Zionis sebelumnya, Presiden Amerika sekarang (Obama) mengerti tentang ide persamaan dan saling menghormati.”
Bagi Atzmon, Presiden George Bush adalah boneka Zionis yang taat dan tunduk kepada titah Tel Aviv. Saya tidak tahu dengan kegagalan Obama memaksa Israel untuk mengakui kemerdekaan Palestina, sebutan apa yang pantas diberikan kepada presiden Amerika yang semula dikaguminya itu. Selama tatanan dunia yang masih berada di bawah pengaruh Zionisme, memang belum banyak yang dapat diharapkan dari seorang presiden Amerika yang kuat sekalipun bagi kemerdekaan Palestina.
Akhirnya, saya masih menunggu komentar Atzmon tentang Obama pada awal 2017 saat meninggalkan Gedung Putih. Ungkapan Atzmon, “Hidup di atas waktu pinjaman di sebuah tanah curian” akan tetap dicatat sebuah sumber ilham yang tak akan pernah basi bagi batin seluruh pejuang kemerdekaan, apa pun bangsa dan agamanya. Tak akan Palestina lenyap dari bumi!