Senin 11 Apr 2016 06:00 WIB

Era Ulama dengan Santri Followers di Medsos

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Siapakah kiai atau ulama panutan yang kini menjadi rujukan Anda dan keluarga dalam kehidupan sehari-hari? Coba pertanyaan ini Anda tanyakan pula kepada orang-orang di sekitar Anda, bisa jadi jawabannya adalah diam, geleng-geleng kepala, atau berterus terang ‘tidak punya’.

Namun, bila Anda bertanya tentang sumber informasi yang mereka butuhkan sehari-hari, termasuk masalah-masalah agama, jawabannya sudah bisa ditebak: ‘Kiai Google’ dan ‘Ustad Yahoo’! Ya, Google dan Yahoo tentu bukan ulama beneran. Keduanya hanyalah mesin pencari informasi di internet. Tapi, Anda bisa bertanya apa saja. Dari bagaimana shalat, menghitung zakat, tata cara haji dan umrah, hingga nama-nama baik dalam Islam, fatwa, dan seterusnya. Bahkan Anda juga bisa belajar ngaji lewat internet.

Pendek kata, Anda bertanya, internet menjawab. Dan, semuanya dalam satu genggaman tangan. Terlepas apakah jawabannya memuaskan atau tidak. Telepas apakah penjelasannya valid atau asal-asalan. Namun, yang tidak bisa disangkal, kemajuan IT (Information and Technology) telah ikut menggerus ketokohan para ulama, kiai, ustad, ajengan, tuan guru, dan istilah-istilah lain dari para alim-ulama. Kemajuan IT sedikit banyak telah menggantikan peran yang dulu merupakan domain mereka.

Di dunia seperti ini tidak mengherankan apabila mereka yang pandai memanfaatkan kemajuan IT, maka merekalah yang berhasil. Termasuk di dalam dunia dakwah sekalipun. Lihatlah di Arab Saudi misalnya. Sejumlah ulama yang mahir menggunakan medsos (media sosial) telah berhasil menggaet puluhan juta santri di dunia maya.  Mereka antara lain Sheikh Mohammad al Arifi, Sheikh Ahmad al Shugairi, Sheikh Salman al Odah, dan Sheikhah Nawal al Eid.

Mohammad al Arifi mempunyai 21 juta santri (baca: followers) di Facebook dan 14 juta santri di Twitter. Ahmad al Shugairi memiliki 13 juta santri di Facebook dan jumlah yang sama di Twitter. Sedangkan di Instagram terdapat sekitar lima juta yang selalu menyimak postingannya. Sementara itu, Salman al Odah mempunyai  8 juta santri di Twitter, 5 juta di Facebook, dan 1 juta di Instagram. 

Yang menarik, ternyata yang menjadi superstar di media sosial di Saudi bukan hanya ulama laki-laki saja. Adalah Nawal al Eid yang merupakan pendakwah perempuan paling terkenal di Saudi. Sebuah majalah perempuan pan-Arab, Sayidati, mentahbiskan al Eid sebagai perempuan Saudi paling berpengaruh. Santrinya di Twitter mencapai 1 juta orang, Facebook 45 ribu orang, dan di Instagram menyentuh angka 150 ribu.

Dengan jumlah santri di medsos yang jutaan orang seperti itu, maka akan sangat mudah bagi al Shugairi, al Arifi, al Odah, dan Nawal al Eid untuk menyampaikan dakwahnya. Tiap waktu yang diinginkan mereka bisa menyapa, menanggapi, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para jutaan pengikutnya. Bisa lewat tweet, update status, postingan atau bahkan melalui video. 

Boleh jadi pengaruh tokoh-tokoh seperti ini lebih dahsyat dari para ulama mainstream. Para ulama yang secara kapasitas keilmuannya lebih canggih dari para ulama media sosial.

Di Indonesia tampaknya para ulama belum ngeh dengan pengaruh dahsyat dari dunia internet ini, terutama media sosial. Minimal mereka belum masuk sepuluh besar yang mempunyai followers terbanyak di Twitter. Kesepuluh besar itu kebanyakan masih ditempati oleh para artis pop, media online, dan politikus. 

Yang terdepan adalah artis Agnes Monica (15.137.635), lalu Raditya Dika (13.313.989), detik.com (12.405.907), Ramalan Indonesia (11.684.369), Luna Maya (10.735.935), Sherina Sinna (10.573.313), Afghansyah Reza (9.072.952), Susilo Bambang Yudhoyono (8.813.475), Metro TV (8.680.497), dan Vidi Aldiano (8.532.329). Ustad Yusuf Mansur yang dikenal aktif berdakwah di media sosial hanya mempunyai pengikut di Twitter sebanyak 2,69 juta orang.

Minimnya respon para ulama untuk memanfaatkan internet -- dari Web, Blog, Twitter, Facebook, Instagram, hingga Youtube dan aplikasi online lainnya -- sebagai media dakwah tentu sangat memprihatinkan. Sebab, inilah dunia baru kita. Dunia online. Dunia informasi tak terbatas yang hanya dalam genggaman. Dunia baru yang tidak bisa kita tolak kehadirannya. Dunia anak-anak muda. 

Lihatlah anak-anak muda kita. Bisa dipastikan ke mana pun mereka pergi, smartphone atau gadget lainnya akan selalu berada di genggamannya. Dari benda segenggaman itu mereka bisa mengakses segala informasi, termasuk masalah-masalah keagamaan. Positif maupun negatif. 

Beberapa kali mengikuti tablig akbar dan pengajian terbuka, termasuk majelis taklim kaum perempuan, saya merasa prihatin. Coba saksikan ketika ada gelaran Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj, Tahun Baru Islam, dan lainnya. Yang hadir memang masih banyak. Namun, kebanyakan mereka adalah kaum tua. Tepatnya mereka yang sudah berusia di atas 40 tahun.  

Lalu bagaimana ‘nasib’ tablig akbar dan pengajian-pengajian seperti itu pada 10 atau 20 tahun ke depan? Ke mana pula anak-anak muda kita? Dunia sudah berubah. Dunia mereka adalah smartphone yang hanya dalam genggaman. Dengan kondisi seperti itu, pola dakwah yang harus menyesuaikan dengan kemajuan IT. Jangan paksa mereka yang justru mengikuti dunia para orang tua. Barangkali sekarang ini merupakan era ulama dengan santri para followers di media sosial.

Dan, celakanya, yang banyak memanfaatkan kemajuan IT itu adalah justru kelompok-kelompok radikal yang malah merusak citra Islam. Sebuah kelompok teroris yang menamakan diri Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS, misalnya, mempunyai tim IT yang sangat besar. Tim ini diisi oleh para ahli. Baik untuk konten maupun IT-nya sendiri. Didukung dengan dana yang besar dan menggunakan puluhan bahasa asing pula.  

Hal inilah yang juga menjadi kekhawatiran Presiden AS Barack Obama. Katanya, tim IT ISIS sangat pandai memanfaatkan internet, terutama media sosial, untuk merekut ‘tentara-tentara’ baru dari Eropa, Amerika, Australia, dan kawasan lain. Kini lebih dari 15 ribu orang asing dari 81 negara telah bergabung dengan ISIS. Sekitar 60 hingga 80 persen dari mereka berhasil direkrut melalui internet. Tepatnya media sosial.

Ada tiga pola yang mereka lakukan ketika berkampanye lewat internet. Pertama, lewat video yang menggambarkan kekejaman ISIS. Hal ini dimaksudkan untuk membuat gemetar pihak-pihak yang mereka anggap sebagai musuh. Kedua, untuk menarik solidaritas umat Islam di seluruh dunia bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk membela kepentingan Islam dan umat Islam. Ketiga, untuk merayu pada pemuda Muslim di seluruh dunia agar bergabung dengan mereka. Ini terutama ditujukan kepada orang-orang Islam yang cetek wawasan keagamaannya.

Dengan aktivitas seperti itu tidak aneh bila kampanye ISIS memenuhi jagat maya di internet. Lihatlah, berbagai kampanye ISIS dapat diakses dengan cepat dan dengan bahasa apa pun. Begitu pemimpin ISIS, Abu Bakar al Baghdadi, berpidato, beberapa jam kemudian telah muncul terjemahan dalam bahasa Indonesia di internet.

Inilah dunia baru yang sedang kita hadapi. Dunia baru yang hanya segenggaman tangan. Ia menghadirkan segala informasi, baik positif maupun negatif. Tergantung pihak-pihak yang mengisi konten atau memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi ini. Karena itu, di era kemajuan teknologi informasi seperti ini para ulama kita harus canggih berkomunikasi dengan para santri di dunia maya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement